Beranda / Opini / Politik Anggaran 2025 dan PILKADA 2024

Politik Anggaran 2025 dan PILKADA 2024

Sabtu, 19 Oktober 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aryos Nivada

Dosen FISIP USK dan Pendiri Lingkar Sindikasi, Aryos Nivada. Foto: dok dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Anggaran daerah (baca: APBD atau APBK) adalah dokumen terpenting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah. Semua tugas dan fungsi organ pemerintahan daerah, baik kepala daerah dan perangkat di bawahnya, maupun anggota dewan (DPRD atau DPRA/DPRK), dilaksanakan berdasarkan rencana kegiatan dan anggaran yang telah ditetapkan dalam anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan patokan apa yang boleh dikerjakan dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Dalam praktiknya, proses penyusunan dan penetapan anggaran daerah tidak lah mudah. Adanya konflik kepentingan dalam pengalokasian sumberdaya pada para pihak, terutama anggota DPRD dan kepala daerah, membuat penganggaran di daerah sangat dinamis dan alot. Secara politik, kepala daerah harus membuat usulan anggaran sesuai dengan visi dan misi dalam dokumen perencanaan jangka menengah daerah (RPJMD) sesuai masa jabatan kepala daerah (5 tahun) dan mempertanggungjawabkan anggaran tersebut kepada DPRD. Di sisi lain, kepala daerah dan anggota DPRD memiliki konstituen masing-masing yang perlu diperhatikan dan diberi balas budi dalam bentuk pelayanan atau barang yang dibiayai dari anggaran daerah. Oleh karena itu, kepala daerah dan anggota dewan “bertarung” memperebutkan alokasi sumberdaya dalam anggaran daerah agar dapat mengakomodir kepentingan masing-masing.

Ada tiga faktor penting yang menjadi penyebabnya, yakni: pertama, adanya kesenjangan informasi (asymmetric information) antara kepala daerah dan jajarannya selaku pengusul sekaligus eksekutor anggaran daerah dengan anggota dewan selaku pemberi persetujuan dan pengawas anggaran daerah. Kesenjangan informasi ini muncul karena pengusul anggaran memiliki informasi yang jauh lebih lengkap dan niat (intention) yang kemungkinan berbeda dengan preferensi anggota dewan. Secara singkat, kepala daerah dan jajarannya “lebih pintar” daripada anggota dewan, sehingga memiliki posisi lebih kuat dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran daerah. Oleh karena itu, biasanya anggota dewan meminta konsesi terhadap alokasi anggaran yang menjadi “jatah” mereka.

Faktor kedua adalah keberpihakan kepala daerah. Sebagian kepala daerah didukung oleh partai politik yang memiliki suara dan anggota terbanyak di DPRD. Artinya, kemungkinan besar tidak terjadi perbedaan pandangan dalam kebijakan anggaran antara kepala daerah dengan DPRD. Prioritas kepala daerah cenderung sejalan dengan DPRD. Sebaliknya, jika kepala daerah “berbeda partai” dengan ketua DPRD, maka kemungkinan dinamika pembahasan anggaran menjadi lebih tinggi. Bahkan pada beberapa kasus, sebagian anggota DPRD tidak menghadiri sidang paripurna perubahan APBD yang menyebabkan tidak tercukupinya quorum, sehingga tidak dapat mengambil Keputusan. Misalnya, Keputusan dalam perubahan APBD. Beberapa daerah batal menetapkan APBD-P.

Terakhir, fakta bahwa pemerintah pusat semakin menarik pengelolaan keuangan daerah ke pusat, sehingga semakin sentralistis. Hal ini ditandai dengan semakin terpusatnya penentuan alokasi belanja di daerah yang sumber pembiayaannya dari dana transfer, terutama dari DAU. Artinya, Pemda tidak leluasa lagi untuk mengatur keuangannya dan politik anggaran akan semakin sederhana karena POKIR Dewan tidak lagi berupa usulan baru dari anggota DPRD yang dikatakan “sesuai dengan kebutuhan konstituen”, tapi tinggal memilih nama kegiatan atau proyek yang sudah ada dalam RKPD. Oleh karena itu, “balik modal” dari proyek-proyek Pemda, baik bagi kepala daerah mau pun anggota DPRD yang terpilih melalui money politik (karena menghabiskanbanyak uang saat kampanye dan menjelang pencoblosan dalam pemilu untuk pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah.

Politik Anggaran Daerah 2025

Politik anggaran untuk penyusunan APBD tahun 2025 berbeda dengan tahun-tahun sbeelumnya. Proses penyusunan APBD tahun anggaran 2025 diawali dari ditetapkannya peraturan kepala daerah tentang RKPD, yang menjadi pedoman dalam penyusunan KUA dan PPAS tahun anggaran 2024. Cakupan RKPD lebih luas dari APBD, sebab memuat juga rencana kerja yang akan didanai dari luar APBD. Oleh karena itu, KUA dan PPAS adalah pedoman untuk penyusunan APBD saja, tidak mencakup anggaran yang berasal dari luar APBD. Artinya, keterlibatan DPRD dalam penganggaran lebih banyak pada pembahasan rancangan KUA dan PPAS, serta rancangan Perda tentang APBD.

Untuk penganggaran daerah tahun 2025, RKPD sudah harus ditetapkan dengan peraturan kepala daerah paling lambat pada minggu ketiga bulan Mei 2024, karena menjadi pedoman dalam penyusunan APBD tahun anggaran 2025. Ada beberapa hal penting yang berhubungan dan persoalan politik anggaran tahun 2025 ini, yakni: pertama, pembahasan KUA dan PPAS yang dilakukan oleh anggota DPRD lama. Hal ini berimplikasi pada finalisasi program dan kegiatan yang berasal dari usulan anggota DPRD dalam bentuk POKIR. Artinya, anggota DPRD baru tinggal mengklaim usulan POKIR anggota DPRD sebelumnya yang sudah tidak terpilih kembali.

Kedua, pemerintah pusat “mengawal” pengalokasian sumberdaya dalam belanja daerah tahun 2025 dengan menerbitkan beberapa regulasi yang membuat Daerah “terikat erat dan tak bisa melepaskan diri” dari keterbatasannya dalam mengakomodir “kebutuhan lokal”, khususnya terhadap penggunaan dana transfer berupa DBH dan DAU. Hal ini diatur secara khusus dalam Permendagri Nomor 15 tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2024 Tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 22/KM.7/2024 Tentang Penandaan Rincian Belanja Daerah dari Hasil Penerimaan Pajak Daerah yang Telah Ditentukan Penggunaannya untuk Evaluasi Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Ketiga, pengalokasian POKIR anggota DPRD ke depan kemungkinan besar tidak lagi dapat diusulkan dalam bentuk program atau kegiatan baru, sebab tidak ada lagi sumber dana untuk membiayainya. Jika pun ada PAD, maka kemungkinan hanya cukup untuk menutup selisih minus DAU dan DBH untuk memenuhi kebutuhan yang harus dibiayai, namun tidak masuk dalam tagging Pusat untuk didanai dari dana perimbangan (transfer). Oleh karena itu, anggota DPRD harus memasukkan usulan POKIR-nya di saat proses penyusunan RKPD, sehingga bisa terakomodir dalam KUA dan PPAS tahun dimaksud.

Keempat, dinamika perubahan APBD tahun 2025 sebagai tahun pertama pelaksanaan APBD oleh anggota DPRD baru dan kepala daerah baru. Oleh karena proses penyusunan APBD tahun 2025 bukan lah buah tangan dari kepala daerah dan anggota DPRD tahun berjalan, makan penyesuaian atau revisi anggaran yang dilakukan kemungkinan besar akan lebih cepat terlaksana, misalnya di bulan Juli atau Agustus, dengan besaran angka perubahan yang signifikan, baik untuk pendapatan mau pun belanja. Namun, hal ini juga tergantung pada hasil Pemilu kepala daerah: apakah berjalan lancer sehingga pelantikan kepala daerah baru sesuai dengan rencana, atau harus ditunda pelantikannya karena adanya sengketa Pilkada.

Pada akhirnya harus dipahami bahwa tahun anggaran 2025 memiliki dinamika yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Proses penyusunan anggaran yang semakin diintervensi oleh Pusat dalam hal pengalokasian dana transfer akan menyulitkan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya. 

Semakin banyak aturan yang dibuat akan memunculkan semakin banyak pelanggaran, namun sesungguhnya di negara yang terlalu banyak aturan, tercermin ketidakmakmuran yang nyata dalam kehidupan masyarakatnya. Pemimpin dan rakyat yang saling percaya tidak membutuhkan banyak aturan yang kompleks dan teknis, tapi mendorong semakin tingginya rasa kebersamaan dan kesadaran untuk saling memahami dalam suatu bingkai yang disebut kebijaksanaan dalam pembagunan. Pejabat pemerintah seharusnya memiliki kebijaksanaan (wisdom), bukan hanya cakap dalam membuat kebijakan (policy).[]

Penulis: Dosen FISIP USK dan Pendiri Lingkar Sindikasi, Aryos Nivada

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda