kip lhok
Beranda / Opini / Politik Adalah Penyakit Yang Membutakan

Politik Adalah Penyakit Yang Membutakan

Kamis, 07 Maret 2019 17:06 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Andika Mulia Desky
Andika Mulia Desky

Perlu kita ketahui bahwa keadaan politik saat ini sungguh kacau balau, keadaan menjadi tidak karuan, berantakan, karena saat ini banyak calon anggota legislatif negara sibuk untuk berkampanye, sibuk untuk mendapatkan kekuasaan yang hanya bertahan lima tahun, mengapa? Karena sistem politik di Indonesia saat ini sudah berubah menjadi hukum rimba, siapa yang kuat dia yang berkuasa, siapa yang punya kekuasaan lebih besar dialah yang bisa mengatur semuanya. 

Salah satu definisi politik yang paling diingat adalah politik merupakan bentuk cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sejarah politik sendiri sudah ada sejak lama dan banyak sekali pencetus dan pemikir ilmu politik, diantaranya adalah Aristoteles (384 SM), Adam Smith (1723), Karl Marx (1818), dan Max Weber (1864). Mereka merupakan aktor politik pada masanya yang sampai sekarang masih dipelajari semua ilmu peninggalan mereka. 

Di Indonesia juga ada tokoh dan penulis materi ilmu politik yaitu Miriam Budiharjo, Salim Said, dan Ramlan Subakti. Hingga saat ini, mereka masih membawa dan terus mengembangkan ilmu politik. Bagi mereka politik merupakan keadilan yang dapat membuat seluruh masyarakat dan negara menjadi aman dan damai, namun nyatanya dalam politik ada sebuah pengaruh yang sangat besar, lebih besar dari godaan setan sekalipun yaitu kekuasaan. Kekuasaan inilah yang akhirnya membutakan semua orang yang memegangnya, kekuasaan inilah yang menjadi rebutan bagi mereka yang sedang bertarung dalam setiap ajang kontestasi politik. 

Banyak cara yang mereka lakukan agar mendapatkan penyakit yang membutakan itu. Entah hasrat apa yang membuat mereka mengejar hal yang hanya bertahan lima tahun itu, entahlah. Kemudian setelah mereka mendapatkan semua itu, apakah mereka akan bisa mengendalikannya?atau malah mereka yang dikendalikan oleh kekuasaan tersebut? 

Fakta yang terjadi di Indonesia, mereka yang telah terpilih dan diamanahkan oleh rakyat untuk mengemban kekuasaan, lebih mementingkan kekuasaannya dan memproteksi kekuasaannya agar tetap langgeng. Segala cara dikerjakan. Jika lawan politik sudah menjadi kewajaran untuk dijegal, menyikut teman pun seolah menjadi halal untuk dilakukan. Ungkapan "tidak ada teman abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi" 

Inilah yang terjadi saat ini di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Itu karena mereka telah terbutakan oleh uang yang menyelimuti kekuasaan. 

Diluar sana, orang mengatakan Indonesia adalah kepingan tanah surga yang diturunkan tuhan. Indonesia begitu kaya dengan sumber daya alam yang dimiliki. Namun mengapa Indonesia kalah dengan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam? Itu karena kelalaian pemimpinnya dalam mengembangkan bidang pendidikan dan memakan hak-hak masyarakat yang seharusnya mereka dapatkan dengan cara KORUPSI. Korupsi saat ini sudah menjadi budaya dikalangan para-para anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif serta anggota pemerintahan yang lain, bahkan mungkin sebentar lagi korupsi akan menjadi adat-isiadat yang akan diwariskan untuk generasi selanjutnya. Bagi mereka, kesempatan lima tahun tersebut merupakan saat-saat dimana harta dikumpulkan sebanyak-banyaknya. 

Bagi mereka yang jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak perduli dengan kekuasaan dan harta. Orientasi mereka hanya satu, bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Tapi, adakah orang orang yang seperti itu? Ada, namun tidak nampak karena mereka ditutupi oleh keadaan yang membuat mereka tak bersuara. Menjelang pemilu 2019 nanti, merupakan masa-masa peperangan dalam istilah politik baru yaitu "peperangan dalam letupan pena". Saat ini tanpa kita sadari bahwa kita telah memasuki medan peperangan di Indonesia yang dimana kita adalah amunisi atau peluru didalam medan perang, siapa yang memiliki banyak amunisi maka dialah yang dapat mejatuhkan semua lawannya. Perlu kita putuskan kepada pihak siapa kita mendukung dan kepada pihak siapa kita melawan karena saat ini kita sedang diambang-ambang kebingungan, dimasa-masa keraguan, pikiran dipenuhi oleh kebimbangan ibarat timbangan yang setiap sisinya memiliki berat yang sama. Kita tentunya ingin punya pemimpin yang bertanggung jawab dan amanah dalam menjalankan kepemimpinannya, yang mampu mensejahterakan rakyatnya, namun adakah orang seperti itu? Saat ini terdapat 7.698 daftar caleg ditambah dua calon presiden, begitu banyak orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kepemerintahan yang saat ini sedang kosong, apa sebenarnya tujuan mereka? apakah mereka berlomba-lomba memperebutkannya hanya untuk memuaskan diri saja, atau mereka memang benar-benar berminat ingin mensejahterakan masyarakatnya? Ingin memperbaiki negaranya? 

Sebagai masyarakat Indonesia yang baik kita harus cerdas dalam mengambil keputusan harus benar-benar teliti tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun yang kita buat karena dampak dari melalaikan hal kecil adalah masalah besar. Sebenarnya tidak ada yang salah jika mereka berlomba-lomba demi memperbaiki negara kita yang saat ini sedang kacau-balau, bahkan itu sangat dianjurkan, wajib bahkan, namun yang kita takutkan adalah sifat mereka itu apakah benar-benar tulus atau hanya sekedar topeng plastik yang dicat menggunakan tinta emas? Sungguh tidak dapat dibayangkan. Ketahuilah wahai masyarakat sekalian, nasib negara ini ditentukan oleh kita karena terpilihnya mereka nanti oleh suara kita, oleh pilihan kita sehingga keputusan negara ini ada ditangan kita, bukan ditangan mereka. Mereka hanya menjalankan apa yang kita perintahkan selebihnya kitalah yang menentukan, mengapa demikian? 

Karena Indonesia menganut sistem demokrasi yang dimana arti dari demokrasi adalah kepemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat jadi, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi didalam suatu negara, rakyatlah yang memiliki kekuasaan didalam suatu negara, jika rakyat sudah bersuara maka para pemimpin hanya bisa diam dan mendengarkan. 

Sangat disayangkan jika masih ada masyarakat Indonesia yang takut untuk bersuara. Sekedar untuk diingat bersama, masa diktator orde baru sudah tumbang oleh perlawanan semangat reformasi. Jadi, tidak ada alasan untuk takut bersuara.

Ketahuilah, masa masa tersebut sudah lama ditinggalkan, sudah lama hilang, walaupun masih menyisakan sisi traumatik akibat sejarah kelam bangsa Indonesia. Sebagai manusia, itu wajar. 

Maka dari itu, sekarang saatnya bagi mereka untuk bangkit, untuk mulai memberanikan diri bersuara. Mengambil filosofi seekor semut, walaupun fisiknya kecil, namun karena mereka bersatu dapat menjatuhkan bahkan membunuh seekor gajah yang ukurannya jauh lebih besar darinya.

Untuk itu, kita harus berani, dan bersatu seperti semut. Harus berani menurunkan mereka-mereka yang tidak becus dalam mengatur negara, dan tidak telaten dalam mengurus masyarakat. 

Dalam tahun politik ini, banyak pihak yang datang menawarkan program dan visi misi mensejahterakan rakyat. Untuk hal ini, kita harus hati-hati. Mereka bisa datang dengan label Caleg, atau status sebagai timses salah satu capres.

Ingatlah bisa jadi mereka memakai topeng plastik yang diwarnai oleh tinta emas yang begitu mewah dimata orang yang melihatnya tanpa disadari bahwa itu hanya topeng plastik biasa yang banyak dijual di pasar-pasar ikan. Kita berharap 2019 ini Indonesia bisa sejahtera dan terbebaskan dari masalah yang sebelumnya belum terselesaikan, khususnya di Aceh, karena saat ini di Aceh juga sedang dilanda banyak masalah yang serupa dengan daerah-daerah lain.

Kasihanilah generasi-generasi kita selanjutnya, adik kita, anak kita, cucu kita, agar mereka tidak merasakan rasa sakit yang kita rasakan akibat ulah tangan mereka yang tidak bertanggung jawab, dimana setelah suara kita berikan, mereka menyia-nyiakan amanah yang kita berikan. Jika bagi mereka menjaga amanah merupakan suatu hal berat dan sangat susah untuk dilakukan, mundur merupakan tindakan terhormat yang bisa dilakukan. Mempersiapkan diri terlebih dahulu, karena sejatinya berbuat itu tidak semudah mulut berbicara.

Beri kesempatan kepada mereka yang memiliki integritas dan rekam jejak bersih untuk memimpin. Cukup sudah Indonesia ini tersakiti dan menangis dengan air mata yang telah lama habis, lepaskan beban masyarakat yang menghantui pikiran dan perasaan mereka akibat korupsi yang terang-terangan dilakukan didepan masyarakat. Kini saatnya pemimpin dan masyarakat saling bekerja sama dalam mengembangkan negaranya agar tercipta negara yang diimpikan oleh generasi sebelum kita. 

Siapapun yang menjadi pemimpin negara ini nanti haruslah mementingkan mereka yang berada didalam kekuasaannya bukan kekuasaannya. Keberhasilan pemimpin suatu negara bisa digapai karena dukungan dari masyarakatnya, jika masyarakat dan pemimpin saling bertolak-belakang maka apa yang terjadi dengan negara tersebut? Apa dampak dari sifat acuh-tak acuh dari pemimpin dan masyarakatnya? Bisa kita bayangkan kehancuran negara tersebut hanya dalam hitungan waktu. Semoga setelah pemilu berdarah dingin ini keadaan menjadi berubah total dari yang rusak menjadi bagus karena inilah masa satu-satunya penentu kehancuran dan keberhasilan indonesia.


Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda