kip lhok
Beranda / Opini / Politek Tumpok

Politek Tumpok

Jum`at, 26 Januari 2018 17:36 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Otto Syamsuddin Ishak


Apa sajakah yang telah publik ketahui tentang APBA?

Pertama sekali, sudah barang tentu bahwa publik sudah mengetahui APBA belum disahkan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan. APBA, baik oleh DPRA, menjadi Qanun, atau belum disahkan oleh Gubernur, sebagai Peraturan Gubernur.

Dari semua informasi yang beredar di publik bahwa APBA bak tali tambang yang di satu ujung ditarik oleh DPRA; dan di ujung lainnya, ditarik oleh Gubernur. Persis sebuah gelanggang tarik-menarik kekuasaan. Tragisnya, kekuatan mereka masih seimbang, sehingga belum ada pihak yang menang. Publik pun terus menonton, dengan tangan menekan perutya masing-masing karena sudah mulai lapar.

Selanjutnya, DPRA melayangkan surat kepada pihak Pemerintah Aceh mengajak untuk duduk bersama membahas rincian-rincian uang yang dirancang untuk dibelanjakan. Namun, jajaran pemerintah tidak bisa duduk. Ada tugas lain, dan tidak ada pendelegasian. Bahasan pun nihil.

Berikutnya, Gubernur melayangkan surat jawaban bahwa rancangan APBA yang berada di tangan DPRA tidak sesuai dengan Permendagri 13/2006, khususnya merujuk pada Pasal 87, tentang a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan; b. menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.

Agaknya, informasi yang sampai ke publik hanyalah perihal yang bersifat teknis, tarik tambang politik anggaran. Masing-masing jaga tumpok. Pihak DPRA, jaga tumpok aspirasinya. Pihak Gubernur, jaga tumpok pembelian pesawat. Suara mereka tentang kebijakan pembangunan untuk kesejahteraan tidak terdengar oleh publik. Seakan mereka membisu untuk membincangkan bagaimana strategi untuk mengatasi kemiskinan.

Politik anggaran disederhanakan menjadi politek tumpok. Publik pun bisa bergeser cara berpikirnya. Publik bisa berkata: kalau masalah APBA yang paling santing adalah jaga tumpok, maka mari duduk bersama untuk buka tumpok masing-masing, lalu perbaiki besarnya antara tumpok DPRA dan Pemerintah Aceh.

Cara berpikir demikian, jelas toleransi yang salah dan menyesatkan. Publik seharusnya bertanya: lalu sebesar apakah tumpok untuk kami sebagai rakyat Aceh?

Dalam bahasa Permendagri, publik bisa bertanya: Apakah skala prioritas untuk pembangunan tahun ini? Apakah DPRA dan Gubernur sudah mempertimbangkan skala prioritas program pembangunan untuk kesejahteraan rakyat? Apakah penyusunan platfon anggaran untuk masing-masing program sudah mempertimbangkan untuk mengatasi ketidaksejahteraan rakyat?

Masing-masing duduk di kursi politiknya sendiri. Mereka bukan duduk bersama seperti sebuah panitia mak meugang yang duduk di meunasah untuk  membahas bagaimana caranya membagi besaran tumpok agar semua warga mendapatkan tumpok mak meugang, sekalipun lembunya semakin besar.

Itu semua, sungguh merupakan sebuah gelanggang politik -yang mempertunjukkan bahwa politik anggaran adalah politek tumpok-- yang sama sekali tidak keacehan.


Penulis : Otto Syamsuddin Ishak


Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda