Polemik Etika dan Kewenangan Rekrutmen Penyelenggara Pemilu di Aceh
Font: Ukuran: - +
Penulis : Khairil Akbar
Khairil Akbar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan merupakan Tim Asistensi Panwaslih Provinsi Aceh 2018 - 2019. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Opini - Tulisan ini akan mengurai polemik etika penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) di Aceh sebagai akibat dari sistem rekrutmen yang berbeda antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih).
Sebagai bagian dari wilayah yang ikut dalam kontestasi Pemilu serentak 2024, rekrutmen ini jangan dianggap enteng. Sistem rekrutmen yang berbeda sudah barang tentu akan menghasilkan kualitas penyelenggara Pemilu yang berbeda. Lantas, apa maksud dari sistem rekrutmen yang berbeda itu? Pertanyaan inilah yang akan diurai terlebih dahulu untuk menjawab tujuan dari tulisan ini.
Aceh berdasarkan MoU Helsinki mengamanatkan Pemilu dan pemilihan kepada daerah (Pilkada) diatur dalam Undang-undang (UU) tentang pemerintahan Aceh, tapi hanya untuk Pilkada 2006 dan Pemilu 2009. Ada konteks dan maksud tertentu yang hendak dijawab dalam waktu yang relatif singkat saat itu, yakni masalah pengisian jabatan publik (eksekutif dan legislatif) yang mesti melibatkan partisipasi penuh rakyat Aceh, termasuk mantan kombatan.
Salah satu caranya dengan mengatur pula cara rekrutmen penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Independen Pemilihan dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). Perbedaan cara rekrutmen dan kewenangan kedua lembaga tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa UUPA memang tidak didesain untuk menjadikan KIP dan Panwaslih sebagai kekhususan Aceh.
Singkatnya, Panwaslih yang direkrut di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) hanyalah untuk Pilkada, sedangkan KIP direkrut untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada sekalian. Perbedaan ini tidak lain karena kelembagaan KIP kala itu relatif telah memadai meski awalnya pengaturan KIP di dalam UU punya alasan yang sama dengan pengaturan Panwaslih di dalam UUPA. Penegasan ini semestinya dapat dipahami secara mudah karena UUPA sendiri menyebutkan bahwa KIP dan Panwaslih adalah lembaga yang bersifat hierarkis kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Hal ini sejalan dengan UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Terlepas dari perdebatan yang menyertai kelembagaan pemilu di Aceh, KIP Aceh kini sedang dalam masa rekrutmen untuk menggantikan KIP periode 2018-2023. Sedangkan seleksi anggota Panwaslih Provinsi Aceh telah menghasilkan lima komisioner terpilih. Ke depan akan ada seleksi Panwaslih Kabupaten/Kota dan KIP Kabupaten/Kota.
Sekadar informasi, Panwaslih yang telah terpilih merupakan bentukan Bawaslu, bukan DPRA. Sebaliknya, KIP yang sedang dalam masa rekrutmen adalah bentukannya DPRA, bukan KPU. Sepertinya, untuk konteks Pilkada yang juga dilakukan tahun 2024, DPRA tidak mungkin merekrut lagi Panwaslih Provinsi karena Bawaslu telah melantik lima komisioner pilihan mereka. Meski tidak terima, gugatan DPRA diabaikan begitu saja oleh Bawaslu.
Sebenarnya, secara hukum Bawaslu telah tepat dalam hal ini karena sebelum penormaan Panwaslih diatur sama dengan KIP dalam UUPA (selevel UU), maka Panwaslih tidak mungkin dibentuk oleh DPRA. Hambatannya terletak pada perubahan kelembagaan Bawaslu secara nasional yang kini telah permanen hingga pada level Kabupaten/Kota dan kewenangannya yang juga mengawasi Pilkada. Sedangkan menurut UUPA, DPRA hanya akan mungkin merekrut Panwaslih yang bekerja sementara dan terbatas dalam masalah Pilkada. Jika DPRA bersikukuh merekrut anggota Panwaslih dengan dalih Qanun sebagai dasar hukumnya, maka DPRA telah menyimpangi UUPA yang dijunjung tinggi olehnya sekaligus menciptakan dualisme lembaga.
Perbedaan cara rekrutmen antara Panwaslih dan KIP sangat memengaruhi etika penyelenggara di dua lembaga tersebut. Di lapangan, polemik rekrutmen KIP jauh lebih terasa “tidak independennya” yang terlihat dari banyaknya aduan dari masyarakat. Bahkan, DPRA pernah meminta agar sistem Computer Asisted Test (CAT) tidak perlu diberlakukan dalam seleksi PPK/PPS (AJNN, November 2022).
Selain suatu bentuk kemunduran, jika rekrutmen tidak dibantu dengan CAT, sudah barang pasti sistem tersebut lebih mudah diintervensi dan dicurangi. Polemik semacam ini tidak terlalu terlihat dalam seleksi Panwaslih, baik di tingkat kecamatan, desa, terlebih di level Provinsi (Panwaslih Provinsi Aceh). Masalah ini sedikit banyaknya bermuara pada keterlibatan DPRA/DPRK dalam seleksi KIP.
Merujuk pada laman web dkpp.go.id/putusan/, sejak 2018 hingga 2023 terdapat 31 putusan pelanggaran kode etik yang telah diputus oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menariknya, 24 putusan menyangkut anggota KIP dan hanya 8 putusan untuk pelanggaran kode etik anggota Panwaslih. Perbedaan angka ini karena terkadang di dalam satu putusan terdapat dua penyelenggara (KIP dan Panwaslih) yang diadukan seperti terlihat pada Putusan Nomor 307/DKPP-PKE-VII/2018. Artinya, sekitar 77,1% pelanggaran etik dilakukan oleh KIP di Aceh dan sisanya sekitar 12,9% dilakukan Panwaslih.
Atas dasar itu, agar lebih independen dan berintegritas, sejumlah penelitian mengusulkan rekrutmen penyelenggara Pemilu di Aceh dibentuk oleh lembaga di atasnya. Hal ini juga dianggap sebagai bentuk pelaksanaan dari Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945, Pasal 1 angka 12, Pasal 7 Ayat (2), dan Pasal 60 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Namun, watak kekuasaan rasanya tidak bisa diminimalisir dari UUPA. Pasalnya, dalam naskah perubahan yang beredar, alih-alih dibentuk oleh penyelenggara pemilu di atasnya, KIP dan Panwaslih malah diusulkan sepenuhnya menjadi kewenangan DPRA/DPRK. Hal ini sebenarnya telah terlebih dahulu diatur melalui qanun yang karenanya UUPA dibuat mengikuti qanun, suatu cara kerja hukum yang terbalik dan menyesatkan. Jika rekrutmen semacam ini benar-benar diserahkan ke DPRA/DPRK, rasanya akan sulit bagi orang-orang yang tidak punya koneksi ke anggota DPRA/DPRK atau partai untuk masuk ke lembaga penyelenggara Pemilu di Aceh. Tegasnya, yang paling netral dan independen justru akan tersisih dalam model rekrutmen semacam itu. Tentu banyaknya pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu di Aceh akan turut menyebar di lembaga pengawasnya.
Terakhir, sebagai bentuk optimisme, terkhusus di masa-masa sekarang, kita hanya bisa berharap kepada tim seleksi yang dibentuk untuk benar-benar ketat dalam tugasnya. Setidaknya, mantan anggota KIP dan Panwaslih yang sudah beberapa kali diputus melakukan pelanggaran kode etik, bahkan ada yang sudah mendapat peringatan keras karenanya untuk benar-benar dievaluasi.
Tulisan ini mengusulkan agar jumlah putusan DKPP dan amar putusannya menjadi nilai pengurang terhadap calon anggota KIP dan Panwaslih. Pada level tertentu, tidak hanya mengurangi nilai, putusan pelanggaran kode etik itu kiranya juga menjadi faktor untuk menggagalkan kelulusan calon. Sebab jamak diketahui, ada sejumlah nama petahana yang kembali muncul, dan di antara mereka ada yang berkali-kali diputus melanggar kode etik penyelenggara Pemilu oleh DKPP.
Bagi rekrutmen KIP, integritas tim seleksi sekurang-kurangnya akan menyeimbangi kepentingan partai atau anggota legislatif dalam Pemilu 2024 mendatang. Semoga!
Penulis: Khairil Akbar (Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan merupakan Tim Asistensi Panwaslih Provinsi Aceh 2018 - 2019)