Polemik Debat Kandidat Pilkada Aceh 2024
Font: Ukuran: - +
Penulis : Firdaus Mirza
DIALEKSIS.COM | Opini - Polemik yang mengiringi debat kandidat Pilkada Aceh 2024, khususnya dalam perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur, mencerminkan kompleksitas dinamika sosial-politik yang terjadi di Aceh. Fenomena ini tidak hanya berhubungan dengan proses demokrasi formal, tetapi juga menyentuh relasi kekuasaan, solidaritas sosial, serta potensi fragmentasi sosial di masyarakat Aceh.
Relasi Kekuasaan dan Kompetisi Politik
Debat kandidat dapat dilihat sebagai arena simbolis perebutan legitimasi kekuasaan. Ketegangan yang muncul, baik melalui isu kebijakan, personalisasi kandidat, hingga afiliasi politik, menunjukkan bahwa politik lokal di Aceh sarat dengan upaya memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. Politisasi debat sering kali bukan hanya tentang siapa yang memiliki visi terbaik untuk Aceh, tetapi juga tentang bagaimana setiap paslon merepresentasikan kepentingan berbagai lapisan sosial, baik elite maupun masyarakat akar rumput.
Ketika debat kandidat menjadi ajang saling serang alih-alih menyampaikan program substantif, hal ini dapat memperkuat polarisasi di masyarakat. Dalam konteks Aceh, dengan latar belakang sejarah konflik dan dinamika kultural yang khas, polarisasi ini berpotensi menciptakan ketegangan sosial yang dapat merusak kohesi sosial, terutama di wilayah yang terpecah oleh loyalitas politik kepada kandidat tertentu.
Solidaritas dan Fragmentasi Sosial
Aceh dikenal memiliki ikatan sosial yang kuat berbasis adat, agama, dan komunitas lokal. Namun, dalam konteks Pilkada, afiliasi politik sering kali menjadi pemicu fragmentasi sosial, terutama ketika retorika debat menyentuh isu-isu sensitif seperti agama, etnisitas, dan kepentingan daerah. Dalam hal tersebut bahwa sistem politik idealnya menjaga keseimbangan sosial, tetapi jika perdebatan kandidat justru menimbulkan sentimen permusuhan antarkelompok, maka stabilitas sosial dapat terganggu.
Hal ini menjadi lebih signifikan mengingat keterkaitan politik antara kandidat gubernur-wakil gubernur dengan kandidat di tingkat kabupaten/kota. Ketegangan politik di tingkat provinsi cenderung beresonansi ke tingkat lokal, memengaruhi cara masyarakat di kabupaten/kota memandang proses politik. Fenomena ini berpotensi memperkuat rivalitas di tingkat bawah, yang dapat berujung pada konflik horizontal jika tidak dikelola dengan baik.
Dampak pada Pilkada di Kabupaten/Kota
Dinamika politik di tingkat provinsi sering kali menjadi model bagi politik di tingkat lokal. Ketika kedua paslon kandidat gubernur terafiliasi dengan kelompok politik di kabupaten/kota, efeknya bisa berupa pembelahan politik yang tajam. Dalam banyak kasus, loyalitas politik terhadap pasangan calon di tingkat provinsi dapat menciptakan efek domino, di mana para kandidat di tingkat kabupaten/kota lebih fokus pada aliansi politik ketimbang isu lokal yang relevan bagi masyarakat setempat.
Sebagai contoh, jika debat kandidat diwarnai oleh isu-isu sektarian atau retorika populis, kandidat di kabupaten/kota kemungkinan akan meniru gaya kampanye serupa untuk menarik perhatian massa. Hal ini dapat memarginalkan diskusi substantif tentang isu-isu lokal, seperti pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan mendesak masyarakat Aceh.
Rekomendasi dan Harapan
Perlu dipahami bahwa penting untuk menjadikan debat kandidat sebagai ruang deliberasi yang sehat dan inklusif. Para kandidat harus didorong untuk mengedepankan program yang konkret dan berbasis data, serta menjauhkan diri dari politik identitas yang memecah belah. Media massa dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menciptakan budaya politik yang lebih sehat, dengan memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik bersifat edukatif dan mendorong partisipasi kritis masyarakat.
Selain itu, mekanisme mediasi harus diperkuat untuk mengelola konflik yang mungkin muncul akibat polarisasi politik. Dalam konteks Aceh, yang memiliki pengalaman panjang dengan konflik sosial-politik, upaya rekonsiliasi dan penguatan kohesi sosial harus menjadi prioritas, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Pilkada Aceh 2024 seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat Aceh untuk memperkuat demokrasi, bukan merusak harmoni sosial. Dengan menjadikan polemik sebagai pelajaran kolektif, Aceh dapat menunjukkan kepada dunia bahwa politik yang berbasis nilai-nilai lokal, keadilan, dan inklusivitas adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik. [**]
Penulis: Firdaus Mirza (Dosen FISIP USK)