Pilkada di Aceh dalam Perspektif Diin Islam
Font: Ukuran: - +
Penulis : Ghazali Abbas Adan
Ghazali Abbas Adan, Abang Jakarta 1979; Politisi PPP; Mantan Anggota Parlemen DPR/DPD/MPR-RI. [Foto: net]
DIALEKSIS.COM | Opini - Adalah Allah swt memerintahkan kepada semua orang-orang beriman untuk menjadi muslim kaffah, yakni dalam segala ruang dan waktu apapun aktifitas, tugas dan profesinya harus sesuai dengan diin (aturan/syariat) Islam, karena siapa saja mencari selain diin (aturan) Islam sebagai aturan hidup (berkaitan dengan tugas, aktifitas, profesi) nya, maka tidak akan diterima, dan di akhirat kelak termasuk orang-orang rugi, sesungguhnya diin (aturan hidup) yang Allah ridhai adalah Islam, dan Allah juga telah menegaskan, pada hari ini Aku sempurnakan bagimu (Muhammad saw) aturan hidupmu dan Aku cukupkan bagimu nikmatku dan Aku rela (ridha) Islam sebagai aturan hidupmu itu, serta dalam waktu yang bersamaan Allah swt malarang orang-orang beriman/muslim ikut aturan syaitan, karena siapa saja yang ikut aturan syaitan, sesungguhnya syaitan itu menyuruh untuk berperilaku tercela, keji dan munkar (bertentangan dengan diin Islam).
Wabil khusus orang-orang beriman/muslim yang hidup dan tinggal di bumi (daerah) Aceh, dimana Aceh salah satu bagian dari teritori NKRI dengan kekhususannya berdasarkan undang-undang negara RI (UUPA) berlaku syariat Islam.
Dengan ini jelas belaka, bahwa umat Islam yang hidup dan tinggal di Aceh apapun aktifitas, tugas dan profesinya harus sesuai dengan syariat Islam selain berdasarkan doktrin aqidah (keimanan), juga dianjurkan oleh konstitusi negara RI, dan ini adalah bentuk nyata perlawanan terhadap pikiran sesat dan menyesatkan Jokowi yang tercermin dari narasi si Raja Jawa dan antek-anteknya selama ini tentang politik identitas yang dimaksudkan tidak boleh membawa-bawa agama (Islam) dalam aktifitas/profesi politik, tidak ada etika, halal-halal, haq-batil, ma'ruf-munkar dalam politik.
Pilkada di Aceh
Adalah pilkada tahun 2024 yang tahapan-tahapannya sedang berlansung saat ini merupakan bagian dari aktifitas politik warga negara/umat Islam di Aceh, maka berkaitan dengan aktifitas ini pula selain berdasarkan regulasi yang telah diatur negara, juga harus sesuai dengan diin Islam dan mengikat semua entitas yang terlibat dalam pilkada itu, yakni pelaksana/pengawas, peserta pilkada (para calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Walikota) dan rakyat pemilih.
Dengan bahasa yang lebih tegas bahwa aktifitas/pelaksanaan pilkada di Aceh bagi semua entitas tersebut, salain terikat berdasarkan kontitusi negara RI, juga harus sesuai dengan diin Islam.
A. Pertama, pelaksana/pengawas
Entitas ini apapun nomenklaturnya saya tamsilkan sebagai wasit dalam kompetisi olah raga, maka tantu harus berlaku adil dan menjaga netralitas terhadap para kontestan kompetitor, sebagaimana sudah menjadi ketentuan konstitusi dan menjadi pegangan serta pemahaman peserta kompetisi dan masyarkat umum. Apabila melenceng dari prinsip ini, baik secara tertutup apalagi terbuka, maka si pelaksana/pengawas sudah melakukan pelanggaran kontitusi dengan sanksi yang jelas, juga mendapat hujatan dan cacian dari khalayak.
Sementara Islam melihatnya sebagai perbuatan tercela, keji dan munkar yang mengandung dosa, dan kalaupun lepas dari sanksi di dunia, namun tidak akan lolos dari resiko sengsara di akhirat, apabila tidak meminta maaf dan para korban ketidaknetralan dan ketidakadilannya belum dan/atau tidak memaafkannya.
Dengan keyakinan dan pemahaman seperti ini, maka pelaksana/pengawas pilkada akan berlaku adil dan bersikap netral terhadap semua kompetitor ketika menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya, dan dengan demikian sekaligus merupakan wujud nyata usaha menjaga kehalalan rizki yang didapatkan dari tugas-tugas dan kawajibannya itu.
B. Kedua, peserta pilkada
Terhadap entitas ini tentu, pertama berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat sebagai modal untuk menjadi peserta pilkada, yakni berdasarkan konstitusi negara RI, seperti yang utama harus jelas kewarganegaraannya, yakni warga negara Indonesia (WNI). Dan Aceh sebagai bagian dari teritori NKRI yang barlaku syariat Islam, di mana para pemimpin itu apapun nomenklaturnya mendapat tugas dari Allah memakmurkan/mensejahterakan kehidupan umat di bumi ini, wabil khusus di bumi Aceh, maka kriteria dan syarat-syarat menjadi calon pemimpin di Aceh, Cagub/Cawagub, Cabup/Cawabup, Cawal/Cawawal sebagai pejabat publik juga harus sesuai dengan diin Islam, yakni yang utama dan pertama firman Allah swt ada empat ciri pokok yang wajib dimiliki setiap pemimpin, ialah beriman kepada Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tunduk serta patuh terhadap peraturan dan ketentuan Allah. Rasulullah Muhammad saw juga pernah bersabda, sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, mereka yang mendoamu, dan kamu mendoakan mereka. Demikian pula dalam doa yang kerap kita dengar dan bacakan, ya Allah Tuhan kami janganlah engkau barikan kepada kami pemimpin orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami. Ada lagi kriteria dan syarat-syarat yang popeler, aktual serta aplikatif dalam segala ruang dan waktu serta berlaku sepanjang masa sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad, ialah:
Pertama, shidq, yakni memiliki integritas, berkata benar dan jujur, seiring antara perkataan dan perbuatan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, adil, tidak diskrimatif, sesuai syariat Islam dan regulasi negara yang tidak bertentangan dengan dengan diin Islam.
Kedua, amanah, yakni pejabat publik harus terpercaya dengan bekerja profesional sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta janji-janji yang telah disampaikan kepada masyarakat, melaksanakannya dengan sungguh-sungguh berdasarkan e-planning, e-budgeting, e-controling dan e-reporting. Untuk kinerja dan keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dan paling utama tanggungjawab kepada Allah, karena amanah itu akar katanya iman, maka pejabat publik yakin bahwa dalam segala ruang dan waktu Allah swt selalu bersamanya dan melihat perilakunya. Dapat bersembunyi dari pandangan/kontrol manusia, tetapi tidak dapat bersembunyi dari pandangan dan krontrol Allah swt, dapat selamat dari sanksi hukuman manusia di dunia, tetapi tidak bisa lolos dari hukuman Allah di akhirat.
Seperti inilah sosok dan rekam jejak pejabat publik yang memiliki sifat amanah.
Ketiga, tabligh, yakni transparan, komunikatif, horizontal dan vertikal, lokal, nasional, bahkan internasional, pro dan dekat dengan rakyat tanpa pilah pilih, artikulatif, tutur kata yang santun dengan narasi yang jelas serta gampang dipahami, ramah, simpatik dan memiliki pergaulan luas dengan berbagai kalangan dan status sosial.
Keempat, fathanah, yakni memiliki kecerdasan dan ilmu, baik ilmu fardhu 'ain yang wajib dimiliki dan dipahami oleh setiap muslim, ialah ilmu-ilmu tentang aqidah dan pelaksanaan ibadah wajib ritual rutin (ibadah mahdhah), maupun ilmu fardhu kifayah seperti ilmu menegemen dan ilmu terapan yang berhubungan dengan profesi dan tupoksi, memiliki kompetensi, konsepsional, kreatif, inovatif dan visioner.
C. Ketiga, cara-cara berkontestasi
Setelah ditetapkan sebagai peserta (kontestan) dalam pilkada, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota semua kontestan tentu berusaha untuk mendapatkan kemenangan, namun untuk mencapai tujuan ini harus sesuai dengan konstitusi negara, dan Aceh sabagai nanggroe syariat Islam, kemenangan itu juga harus didapatkan dengan cara-cara yang mulia, terhormat, bermartabat, halal sesuai dengan diin (syariat) Islam. Tidak boleh ada pendapat dan sikap, yang penting harus menang, tidak ada urusan dengan halal-haram dalam kontestasi politik dan kekuasaan.
Terhadap siapa saja yang mungkin masih memiliki pendapat dan sikap demikian, melalui tulisan ini kembali saya ingatkan hadis Rasulullah Muhammad saw, bahwa siapa saja yang mendapatkan harta/jabatan/kekuasaan dengan cara-cara haram, kemudian (hasil dari jabatan/kekuasaan itu) dia sedeqah atau infak di jalan Allah, semua itu dikumpulkan dan bersamanya dilemparkan ke dalam neraka jahannam. Semua daging yang tumbuh dari harta/makanan haram, maka neraka paling utama baginya.
Berikut ini kembali saya sebut beberapa perilaku jahat dan haram, yakni 5-P ketika memburu jabatan/kekuasaan, ialah:
1. Peu-yo, melakukan/menyetujui ancaman, intimidasi dan teror, baik terhadap sesama kontestan maupun terhadap rakyat niscaya memilihnya.
2. Peureuloh, merusak alat peraga kampanye (APK) sesama kontestan, kantor, kendaraan dan lainnya.
3. Peungeut, manipulasi, penggelembungan suara dan lainnya.
4. Peng, politik uang, sogok menyogok dengan berbagai dalih dan modus operandinya.
5. Poh-mupoh, menumpah darah manusia, sampai melakukan pembunuhan.
Terhadap praktik politik yang demikian ketika memburu jabatan/kekuasaan sengat banyak dalil-dalil naqli tentang keharamannya. Dan kalau ada yang bertanya apakah dapat dibuktikan praktik politik haram itu terjadi dalam kontestasi politik di Aceh. Jawabannya, hanya Allah swt, para pelaku, dan rakyat yang mengalami yang tahu dan dapat membuktikannya.
D. Keempat, tupoksi pasca mendapatkan jabatan/kekuasaan
Pemenuhan kriteria dan syarat-syarat bagi seorang pemimpin yang menduduki jabatan publik sebagaimana saya urai di atas adalah sesuatu yang mutlak niscaya berhasil melaksanakan tugas dan kewajibannya, dan dalam konteks Aceh yang bergelar Aceh Darussalam yang berarti negeri yang aman, rukun dan damai, laa dzulama walaa makruuh, maka di Aceh tidak boleh ada kezhaliman dan kebencian. Seluruh rakyat yang tinggal dan hidup di Aceh, apapun suku dan agamanya, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan serta berakhlaq karimah (akhlak mulia). Dalam segala ruang dan waktu, inilah wujud kemerdekaan yang hakiki bagi kehidupan hamba Allah yang dikehendaki oleh diin Islam.
Demikianlah tupoksi yang harus dilaksanakan oleh para pemimpin di Aceh terpilih, yakni Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Waklil Wali Kota di mana pasangan para pemimpin ini dalam dialektika zaman yang dinamis, harus harmonis, saling mengisi dan melengkapi ketika melaksanakan tupoksinya. Misalnya di nanggroe syariat Islam Aceh, selain melaksanakan tuga-tugas rutin, pasangan pemimpin itu keduanya atau salah seorang ada yang mampu manjadi khatib dan menjadi imam shalat jumat, taushiyah kolaborsi tentang keislaman dan isu-isu aktual, atau dalam upaya meningkatkan kecintaan rakyat kepada Al-Quran, maka di antara pasangan pemimpin itu juga kerap tampil didepan rakyat memperdengarkan bacaan ayat-ayat Al-Quran dengan fasih.
Hal ini tidak akan terjadi apabila pasangan itu keluaran satu pabrik dan/atau satu toke.
Satu hal lagi yang tidak boleh diabaikan, bahwa de jure dan dan facto Aceh adalah bagian dari NKRI yang harus berinteraksi dengan alam dan orang-orang, apapun status dan posisinya di luar Aceh, dan pemimpin Aceh adalah representasi nanggroe dan bangsa Aceh yang kerap disebut nanggroe dan bangsa mulia serta meusyeuhu ban sigom donya, maka dalam interaksi itu para pemimpin Aceh harus tampil intelek dan elegan. Sekaitan dengan hal ini ada ungkapan dalam bahasa Arab "libaasukum yukrimukum qablas juluus, wa'ilmukum yukrimukum ba'dal juluus", pakaian/penampilanmu memuliakan kamu sebelum duduk, dan ilmu/kecerdasan/ intelektualitasmu memuliakan kamu setelah duduk.
Paket ini semestinya dimiliki dan menjadi modal bagi setiap pejabat publik apabila ingin tampil intelek dan elegan kapan saja dan di mana saja. Tentu tidak boleh angkuh dan sombong, karena sifat buruk dan tercela ini adalah antitesis terhadap akhlaq mulia, intelektualitas dan eleganitas.
Adalah pengalaman saya ketika sebagai anggota parlemen di Senayan representasi daerah/rakyat Aceh, bahwa dengan berusaha menunjukkan paket ini dalam interaksi dan dialektika politik, baik di kantor maupun dalam kunjungan kerja ke daerah-daerah, kendati tidak hebat-habat amat, namun tidak diremehkan dan tidak dilihat sebelah mata oleh anggota parlemen dari daerah lain dan pejabat negara mitra kerja, juga pejabat-pejabat di daerah yang saya kunjungi.
Sekaitan dengan hal ini pula, kita mengenang kembali sosok-sosok almukarramun wal muhtaramun pemimpin Aceh pada masanya, seperti Bapak Prof Ali Hasymi, Prof A Madjid Ibrahim, Prof Ibrahim Hasan dan Prof Syamsuddin Mahmud. Sosok almukkaramun walmuhtaramun itu pada masanya itu telah sukses memimpin dan menjaga marwah Aceh, dimana saja dan kapan saja tampil intelek dan elegan. Kita sangat mendambakan pemimpin Aceh zaman now dan ke depan, kalaupun misalnya belum setara dengan beliau-beliau itu, namun jangan jauh-jauh sekali kualitas, integritas, profesionalitas dan intelektualitasnya.
E. Ketiga, rakyat pemilih
Dalam kinstitusi negara bahwa keikusertaan rakyat pemilih dalam pemilu pesta demokrasi limatahunan bukanlah kewajiban, tetapi adalah hak, didasari oleh kesadaran dan tujuan, bahwa pemimpin yang dipilih itu dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan dalam kehidupan mereka dan tentu telah memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagaimana uraian di atas, karena Rasulullah Muhammad saw juga sudah mengingatkan, apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, karena tidak memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagai pemimpin, maka tunggulah kehancuran.
Dalam konteks Aceh, hendaklah dari hasil pilkada di Aceh tahun 2024 ini, niscaya Aceh benar-benar menjadi Darussalam, nanggroe yang aman, rukun dan damai, tidak ada kezhaliman dan kebencian, seluruh rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh apapun suku dan agamanya, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan, dan aman dari ketajutan serta berakhlak karimah, baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, maka ketika melakukan pemilihan pada hari H tidak asal coblos karena kepentingan dan pertimbangan pragmatis subyektif, tetapi pemimpin yang dipilih harus benar-benar sosok-sosok yang sudah layak dan pantas sebagai pemimpin. Ini bukan semata-mata karena faktor visi dan misinya, sebab visi dan misi itu boleh saja dibuat muluk-muluk, wah dan menggiurkan, namun melakukan pilihan setelah melihat dan mengetahui personaliti, rekam jejak dan prestasinya yang sudah sesuai dengan kriteria dan syarat-syarat sebagaimana telah saya deskripsikan di atas.
Allaahumma innii qad ballaghtu, allaahumma fasyhad. [**]
Penulis: Ghazali Abbas Adan (Abang Jakarta 1979; Politisi PPP; Mantan Anggota Parlemen DPR/DPD/MPR-RI)