Beranda / Opini / Pilkada 2024: Pertaruhan Pemilu Demokratis Vs Monopolis

Pilkada 2024: Pertaruhan Pemilu Demokratis Vs Monopolis

Sabtu, 24 Agustus 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Fawazul Alwi

Muhammad Fawazul Alwi, Founder Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM). [Foto: dokumen untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Pilkada 2024 akan dilaksanakan pada akhir November nanti. Pilkada ini bukan sekadar pertarungan politik untuk memilih kepala daerah, tetapi juga menjadi arena pertarungan ideologis dan konstitusional berbagai aktor politik, termasuk institusi negara yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Berbagai manuver politik dilakukan oleh koalisi gemuk, yaitu Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM-Plus), menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik-praktik otoritarianisme seperti yang pernah terjadi era Orde Baru. 

Dalam tulisan ini, saya, Muhammad Fawazul Alwi, akan mengupas tuntas isu-isu penting yang berkaitan dengan Pilkada 2024, mulai dari putusan MK tentang Threshold atau ambang batas calon kepala daerah, kekuatan putusan MK terhadap konstitusi, hingga sejarah DPR di era Orde Baru dan korelasinya dengan otoritarianisme Soeharto.

Putusan MK tentang Ambang Batas Calon Kepala Daerah

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia yang memiliki tugas dan wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam beberapa tahun kebelakang, MK sering menjadi penentu arah politic policy di Indonesia melalui berbagai putusannya. 

Salah satunya yang menjadi titik perhatian ialah putusan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah. Ambang batas ini mengatur persyaratan mengenai jumlah minimal dukungan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dalam Pilkada.

Pada hari Selasa, 20 Agustus 2024, MK menurunkan ambang batas yang semula sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD atau 20 persen kursi DPRD. Untuk Pilgub Jakarta, ambang batas pencalonan gubernur turun menjadi 7,5 persen suara hasil pileg sebelumnya dan berlaku untuk daerah dengan 6-12 Juta Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa ambang batas pencalonan harus sesuai dan sejalan prinsip-prinsip demokrasi. Putusan ini sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi daerah dan mencegah dominasi politik oleh kelompok-kelompok politik tertentu. 

Namun, putusan ini juga menuai banyak penolakan, terutama dari koalisi partai politik besar yang merasa terancam dengan adanya putusan ini.  Dampak keputusan MK tidak hanya mengubah strategi pilkada, tetapi juga koalisi politik di tingkat nasional.

Kekuatan Putusan MK terhadap Konstitusi

Sebagai lembaga yudikasi yang memiliki fungsi konstitusional, putusan MK memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat. Menurut Mahfud MD, mantan Ketua MK, setiap putusan MK harus segera dilaksanakan dan tidak dapat dianulir oleh lembaga legislatif atau eksekutif. Putusan MK memiliki sifat "erga omnes," yang berarti berlaku untuk semua orang dan harus dihormati oleh setiap elemen negara, termasuk DPR dan pemerintah.

Namun, dalam praktiknya, kekuatan putusan MK sering kali diuji oleh kepentingan politik. DPR, sering kali mencoba untuk melemahkan putusan MK melalui revisi undang-undang yang berseberangan dengan putusan MK tersebut. Hal ini menimbulkan polemik di kalangan pakar hukum dan masyarakat sipil, karena dianggap sebagai bentuk pelemahan terhadap supremasi hukum dan konstitusi. Kasus terkait ambang batas cakada (calon kepala daerah) dalam Pilkada 2024 menjadi salah satu contoh nyata di mana putusan MK berhadapan dengan kekuatan politik yang berusaha untuk menganulirnya.

Sejarah DPR di Era Orde Baru

Untuk memahami dinamika politik saat ini, penting untuk kita flashback ke sejarah DPR di era Orde Baru. Pada masa pemerintahan Soeharto, DPR tidak lebih dari sekadar alat legitimasi pemerintah. DPR di era Orde Baru dikenal sebagai "tukang stempel" karena perannya yang sangat dibatasi dalam mengawasi kebijakan dan jalannya pemerintahan. 

Pada masa itu, fungsi legislatif DPR berada di bawah bayang-bayang kekuasaan eksekutif yang sangat mendominasi seluruh lembaga negara. Soeharto berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya dengan dukungan penuh dari DPR, yang pada waktu itu dikuasai oleh Golongan Karya (Golkar). 

Keberadaan DPR lebih banyak digunakan untuk melegitimasi dan menjadi pembenaran atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Soeharto, termasuk kebijakan-kebijakan yang bersifat otoriter dan represif. Praktikpraktik seperti ini mencerminkan hubungan antara eksekutif dan legislatif yang tidak balance, di mana DPR tidak berfungsi sebagai lembaga pengawasan, melainkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif.

Sejarah Tirani dan Otoritarianisme Soeharto yang Didukung DPR

Soeharto, sebagai pemimpin 'tangan besi' Orde Baru, berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang sangat otoriter. Sistem ini didukung oleh berbagai kebijakan yang dirancang untuk mengamankan kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. 

DPR, dalam pelaksanaannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, melainkan justru mendukung penuh kebijakan-kebijakan tirani yang diterapkan oleh Soeharto. Salah satu contoh nyata dari tirani Soeharto yang didukung oleh DPR yaitu pengesahan berbagai undang-undang yang memberikan kekuasaan mutlak kepada presiden. 

Soeharto menggunakan DPR untuk memperpanjang masa jabatannya melalui mekanisme-mekanisme politik yang jauh dari kata demokratis. Selain itu, DPR juga berperan dalam memperkuat kontrol pemerintah terhadap media (pers) dan kebebasan berpendapat, sehingga suara oposisi nyaris tidak terdengar pada masa itu.

"Neo-Orba": Kesewenangan Politik di Era Reformasi

Pasca jatuhnya Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru, Indonesia memasuki era baru Reformasi yang membawa harapan baru bagi demokrasi dan kebebasan berpolitik. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kekhawatiran akan semangat Orde Baru yang mulai bangkit kembali dalam bentuk yang baru, yang sering disebut sebagai "Neo-Orba." Istilah ini merujuk pada upaya-upaya dari kalangan tertentu untuk mengembalikan praktik-praktik otoritarianisme yang pernah eksis di masa lalu.

Salah satu indikasi dari "Neo-Orba" ini adalah langkah-langkah politik yang diambil oleh partai politik Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM-Plus) dalam Pilkada 2024. KIM-Plus merupakan koalisi politik yang terdiri dari beberapa partai politik besar yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan Jokowi. 

Dalam konteks Putusan MK dan Pilkada 2024, DPR mencoba untuk menganulir putusan MK mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah. Langkah ini dianggap sebagai bentuk kesewenangan politik yang bertujuan untuk melanggengkan dominasi partai-partai besar dan menghambat munculnya calon independen atau calon dari partai-partai kecil dan non KIM-Plus.

Upaya DPR untuk menganulir putusan MK tidak hanya memperlihatkan ambisi politik, tetapi mencerminkan juga kembalinya pola-pola otoritarianisme yang pernah mendominasi era Orde Baru. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa demokrasi yang telah diperjuangkan sejak era transisi Orde Baru menuju Reformasi akan kembali terkikis oleh kepentingan politik kelompok tertentu. 

Apalagi, langkah-langkah yang diambil oleh KIM-Plus ini didukung oleh DPR yang didominasi juga oleh Partai KIM-Plus, yang berperan sebagai alat legitimasi kekuasaan, seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru.

Usaha Pembungkaman Demokrasi dan Kebebasan Berpolitik

Pembungkaman demokrasi dan kebebasan berpolitik merupakan isu utama yang muncul dalam Pilkada 2024. Langkah DPR untuk menganulir putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dipandang sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi. 

Jika RUU Pilkada yang diusulkan oleh DPR disahkan, maka akan terbuka jalan bagi terciptanya sistem politik yang tidak demokratis, di mana hanya partai-partai besar yang memiliki kekuatan finansial dan politik yang bisa mendominasi perpolitikan dan pemerintahan.

Banyak pakar hukum dan aktivis demokrasi yang telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap langkah DPR. Mereka menilai bahwa jika upaya ini berhasil, maka Indonesia akan kembali ke masa kelam demokrasi era Orde Baru, di mana kebebasan politik dan demokrasi berada di bawah kendali kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan penguasa dan memiliki kekuatan besar di parlemen. 

Pembatasan terhadap calon independen dan partai-partai kecil melalui ambang batas pencalonan yang tinggi akan menghilangkan peluang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang masyarakat inginkan.

Usaha pembungkaman demokrasi ini tidak hanya berdampak pada Pilkada, tetapi juga pada masa depan politik Indonesia. Jika DPR dan KIM-Plus berhasil menganulir putusan MK dan menggantinya dengan UU yang baru, akan menciptakan preseden buruk bagi supremasi hukum dan konstitusi.

Putusan MK yang seharusnya final dan mengikat akan kehilangan kekuatan hukumnya, dan akan membuka jalan bagi lembaga legislatif untuk terus-menerus melakukan intervensi terhadap putusan-putusan MK ke depan.

Usaha pembungkaman demokrasi ini juga berkaitan dengan kekhawatiran akan dinasti politik yang semakin kuat. Pada Pemilu 2024, isu dinasti politik bukanlah sesuatu yang baru. Sejak era Reformasi, kita telah melihat semakin banyak keluarga politisi yang berupaya mempertahankan kekuasaan melalui anggota keluarga mereka yang terjun di politik dan pemerintahan.

Fenomena ini memicu kekhawatiran akan terkonsolidasinya kekuasaan politik di tangan segelintir keluarga, yang berpotensi mengancam prinsipprinsip demokrasi dan kebebasan politik. Dinasti politik dapat mendominasi kekuasaan dengan cara tidak sehat, di mana kebijakan-kebijakan publik dipengaruhi oleh kepentingan keluarga daripada oleh kepentingan rakyat secara umum. 

Selain itu, dinasti politik juga berpotensi menghambat regenerasi politik, menghalangi munculnya pemimpin-pemimpin baru yang memiliki visi dan program yang lebih inovatif dan pro-rakyat. Prof. JimlyAsshidiqie, dalam pidatonya di acara dialog nasional bertajuk 'Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial', mengatakan "Indonesia Bentuknya Republik tapi Kelakuannya Kerajaan".

Langkah DPR dan KIM-Plus untuk menganulir putusan MK dan mengusulkan RUU Pilkada yang baru, yang diduga akan mempermudah jalan bagi dinasti politik, hanya akan memperburuk situasi ini. Jika revisi undang-undang tersebut disahkan, maka akan semakin sulit bagi calon-calon dari luar lingkaran kekuasaan untuk bersaing secara adil dalam Pilkada.

Ambang batas yang tinggi akan membuat partai-partai kecil dan calon independen semakin terpinggirkan, sehingga dinasti politik yang sudah ada akan semakin kokoh.

Situasi ini menjadi lebih rumit ketika kita melihat bagaimana oligarki politik dan ekonomi bekerja sama untuk mempertahankan status quo. Para konglomerat yang mempunyai kepentingan ekonomi di wilayah tersebut seringkali memberikan dukungan keuangan kepada keluarga politikus yang berkuasa dengan harapan mendapatkan akses terhadap proyek-proyek pemerintah dan konsesi sumber daya alam sebagai imbalannya.

Kaitan antara oligarki dan dinasti politik sulit diputuskan, sehingga menciptakan rantai kekuasaan di mana kepentingan segelintir elit terus menentukan arah pembangunan dan kebijakan publik.

Di sisi lain, penindasan terhadap demokrasi juga dapat terjadi melalui penguasaan media massa dan ruang publik. Seperti pada era Orde Baru, penguasaan terhadap media massa menjadi sarana pengendalian wacana publik dan pembatasan kebebasan berekspresi. Beberapa pemangku kepentingan percaya bahwa tren serupa akan muncul kembali dalam kondisi iklim saat ini.

Idenya bahwa media-media besar yang dimiliki oleh konglomerat yang dekat dengan kekuasaan cenderung mendukung narasi yang menguntungkan kelompok politik tertentu. Hal ini berdampak pada kualitas demokrasi karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang obyektif dan berimbang yang seharusnya menjadi landasan partisipasi politik yang sehat. 

Tindakan DPR dan KIM-Plus yang membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi dan menggantinya dengan undang-undang pemilukada yang baru juga dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mengendalikan proses politik melalui peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu. Jika hal ini dibiarkan, maka demokrasi yang telah diraih dengan susah payah di Indonesia akan menghadapi ancaman serius pada masa Reformasi.

Mekanisme checks and balances yang dirancang untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara telah terdistorsi, sehingga mengakibatkan semakin lemahnya kontrol atas kekuasaan. Ketakutan akan munculnya dinasti politik yang semakin kuat juga mempengaruhi legitimasi pemerintahan terpilih. 

Ketika masyarakat merasa bahwa proses politik dicurangi untuk menguntungkan kelompok tertentu, kepercayaan mereka terhadap institusi politik dan hasil pemilu menurun. Hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan meningkatkan apatisme politik di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi di masa depan.

Selain itu, langkah-langkah ini juga dapat melemahkan partisipasi politik di tingkat lokal. Pilkada harus menjadi wahana bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar memahami kebutuhan mereka dan berkomitmen memperjuangkan kesejahteraan umum. 

Namun, ketika proses politik ini dikuasai oleh sekelompok elit berkuasa, aspirasi masyarakat lokal semakin teralienasi. Hal ini dapat menimbulkan perpecahan antara pemerintah pusat dan daerah dan pada akhirnya melemahkan persatuan nasional.

Tidak hanya itu, usaha untuk menganulir putusan MK dan menggantinya dengan undang-undang yang baru juga dapat dilihat sebagai bentuk pelemahan terhadap independensi lembaga yudikatif. MK, sebagai penjaga konstitusi, seharusnya memiliki otoritas yang tidak dapat diganggu gugat oleh kekuatan politik manapun. 

Namun, intervensi yang dilakukan oleh DPR dan KIM-Plus menunjukkan adanya upaya untuk mengkooptasi kekuasaan yudikatif dan menggunakannya sebagai alat politik. Jika hal ini terus berlanjut, maka independensi peradilan yang merupakan pilar penting dalam negara hukum akan semakin terancam. [**]

Penulis: Muhammad Fawazul Alwi (Founder Aceh Sumatra Youth Movement - ASYM)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda