Peta Jalan Mualem-Dek Fadh "Konsolidasi Birokrasi"
Font: Ukuran: - +
Penulis : Masri Amin
Masri Amin SE MSi, Pemerhati Politik Lokal dan Otonomi Daerah serta menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pengucapan sumpah/janji Muzakir Manaf - Fadhlullah (Mualem - Dek Fadh) di gedung utama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Rabu, 12 Februari 2025 merupakan peristiwa resmi perubahan dari status Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih menjadi rezim Kepala Pemerintah Aceh. Dengan demikian, Mualem dan Dek Fadh menjadi pemimpin dan milik seluruh rakyat Aceh tanpa terkecuali dan juga menjadi pengendali utama birokrat dan birokrasi Pemerintah Aceh.
Rakyat Aceh memberikan mandat dan kepercayaan kepada Mualem dan Dek Fadh sebagai pejabat publik yang dipilih untuk mengurusi kepentingan dan aspirasi mereka lewat penyelenggaraan pelayanan oleh birokrat yang bertugas digarda terdepan. Visi Mualem-Dek Fadh “Terwujudnya Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan” yang diurai dalam misi - merupakan janji politik terbuka dengan rakyat Aceh pada kampanye Pilkada 2024 yang lalu dan akan dituangkan dalam RPJM Aceh 2025-2030.
Menunaikankan janji politik merupakan sebuah keniscayaan bagi Mualem-Dek Fadh sebagai wujud pertanggungjawaban moral dan politik memimpin Aceh lima tahun mendatang. Tidak ada pemerintahan yang demokratis tanpa adanya tanggung jawab kepada rakyat sebagaimana yang telah dijanjikan.
Implentasi Visi-Misi Mualem-Dek Fadh yang ditunggu rakyat Aceh akan berjalan mulus, turut dipengaruhi dalam gerak “konsolidasi politik dan birokrasi” pasca resmi menjabat. Konsolidasi politik diperlukan untuk mendukung rumusan kebijakan publik sebagai terjemahan visi-misi yang memerlukan energi legitimasi politik, baik didalam maupun diluar “parlemen”.
Sementara itu, konsolidasi birokrasi di internal Pemerintah Aceh yang menjadi tulang punggung menjalankan kebijakan publik merupakan langkah strategis. Konsolidasi birokrasi ini justru menjadi sangat urgent diawal memerintah sebagai fondasi, guna memastikan implementasi visi-misi Mualem-Dek Fadh sesuai dan senafas dengan yang telah dirumuskan.
Patologi birokrasi kerap menjadi mimpi buruk yang membayangi dan menjadi faktor utama gagalnya implementasi visi-misi kepala daerah yang baru dilantik akibat perilaku birokrat yang gagal beradaptasi. Patologi birokrasi merupakan penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan dan pelayanan publik (Miftah Toha:2003).
Patologi birokrasi menjelma lewat perilaku disfungsional atau negatif yang dilakukan oleh birokrasi. Sebab itu, Mualem-Dek Fadh harus menyingkirkan penyakit birokrasi dalam Pemerintah Aceh dan memastikan birokrasi dalam satu gerak langkah serta memahami secara utuh visi-misi yang sejatinya harus dijalankan.
Dalam upaya menjawab harapan rakyat Aceh, pemetaan terhadap birokrat yang layak dan patut sebagai “mesin” Pemerintahan Mualem-Dek Fadh sangat diperlukan. Pemetaan inimenjadi bagian dari langkah konsolidasi birokrasi yang dibutuhkan dalam rangka membangun iklim birokrasi yang tertata secara administrasi serta berorientasi pada sikap melayani dan bukan untuk dilayani. Lebih dari itu, langkah ini akan menuntun pada pemetaan dan solusi atas persoalan-persoalan yang memasung pelayanan publik yang kerap dikeluhkan rakyat.
Kita berharap, wujud Mualem-Dek Fadh senantiasa selalu hadir lewat layanan dan kebijakannya di tengah-tengah rakyat Aceh sebagaimana harapan dan “spirit suci” implementasi butir-butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Substansi akhir dari konsolidasi birokrasi ini adalah untuk memastikan bahwa setiap rakyat Aceh mendapatkan perlakuan dan layanan yang sama secara konsisten dari Pemerintah Aceh.
***
Dinamika politik pemerintahan di Aceh sejak periode Gubernur Irwandi Yusuf yang dilanjutkan Nova Iriansyah (2017-2022) hingga tiga Penjabat Gubernur Aceh dari Achmad Marzuki, Bustami dan hingga terakhir Safrizal ZA (2022-2025) sangat mempengaruhi “psikologis, perilaku dan moralitas” birokrasi Pemerintah Aceh. Birokrasi terlihat jenuh dan lamban, akibat dinamika yang mengitarinya. Tidak kalah penting, kondisi dan dinamika tersebut juga berpengaruh pada sikap dan loyalitas para birokrat tersebut akibat jeda hadirnya Kepala Pemerintah Aceh yang definitif begitu lama.
Politik birokrasi dan politik jabatan menjadi suguhan telanjang selama kurun waktu tujuh tahun terakhir. Semestinya dinamika tersebut melahirkan birokrasi yang kuat untuk menopang pelayanan umum, tapi yang terjadi justru sebaliknya, kerap tergelincir pada kubangan birokrasi yang sibuk mengurusi “dirinya” sendiri, menjadikan rakyat teraleanasi dan minim layanan. Belum lagi perilaku birokrat yang gagal menempatkan dirinya bermitra dengan kolega serumpunnya di DPRA secara proporsional dan mengormati para “wakil rakyat” dalam kerja-kerja membangun rumusan kebijakan publik untuk rakyat Aceh.
Fenomena ini kerap menjadi tambahan penyebab runtuhnya relasi hubungan eksekutif-legislatif yang berakibat pada kebijakan yang lahir lemah pada basis serapan aspirasi dari salah satu saluran rakyat Aceh. Akibatnya, pada tataran implementasi, kebijakan kerap gagal dan jauh dari kemanfaatan dan keberlanjutannya.
***
Peta jalan untuk konsolidasi birokrasi Pemerintahan Mualem-Dek Fadh diharapkan dapat dilakukan pada kesempatan pertama setelah pelantikan dengan berpedoman pada regulasi yang berlaku. Sinyal dari Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu yang memberi ruang kepada Kepala Daerah yang baru dilantik untuk melakukan mutasi tanpa perlu terikat enam bulan setelah pelantikan adalah lampu hijau untuk menyelaraskan derap langkah kepala daerah yang baru dengan mesin birokrasinya.
Hal ini untuk memastikan percepatan terealisasinya visi-misi kepala daerah yang baru dilantik. Pembenahan organisasi di awal pemerintahan disamping bertujuan memberikan penyegaran, juga bagian konsolidasi birokrasi berjalan lebih efektif guna memaksimalkan pelayanan publik bagian dari akselerasi implentasi misi-visi kepala daerah yang bari.
Harapannya pasca pelantikan, Mualem-Dek Fadh dapat melakukan gerak cepat dengan menyingsingkan lengan baju. Mualem-Dek Fadh semoga tidak terperangkap dalam “peusijuk dan khauri” untuk pemberkatan pelantikan yang marathon dan panjang. Tradisi kultural tersebut cukup dilakukan secara singkat, khidmat dan secara sederhana tanpa mengurangi nilai sakralitasnya. Rentetan “peusijuk dan khauri” yang panjang kerap membawa “suasana” yang kurang baik bagi langkah Pemerintahan yang baru.
Jangan biarkan para birokrat “gelap” dengan segala macam cara untuk melakukan langkah “senyap” guna mempertahankan cengkeramannya tetap bertahan dilintas birokrasi Pemerintah Aceh. Bila ini terjadi, dikhawatirkan visi Mualem dan Dek Fadh “Terwujudnya Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan” menjadi visi yang utopis dan tidak dapat diwujudkan, layu sebelum berkembang akibat birokrasi yang tidak sejalan.
Muzakir Manaf-Fadhlullah sebagai Kepala Pemerintah Aceh menjadi harapan dan tumpuan rakyat Aceh untuk mendapatkan kesejahteraan, setelah sekian lama tertunda sejak awal “Damai Aceh” dan “Dana Otonomi Khusus” dikucurkan. Panglima, selamat berkiprah. [**]
Penulis: Masri Amin SE MSi ( Pemerhati Politik Lokal dan Otonomi Daerah serta menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh)
Berita Populer

.jpg)