kip lhok
Beranda / Opini / Perubahan Iklim dan Stunting

Perubahan Iklim dan Stunting

Rabu, 21 Juni 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Husaini Yusuf, S.P., M.Si kini berkhidmat di Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP) Aceh. Alumnus IPB University dan Pengurus BPW PISPI Aceh 



DIALEKSIS.COM | Tepat pada tanggal 21 Juni setiap tahun berjalan, dunia terus memperingati Hari Krida Pertanian (HKP). Tanggal ini dipilih sebagai penghargaan terhadap pentingnya peran petani dan sektor pertanian dalam kehidupan manusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan 21 Juni sebagai Hari Krida Pertanian yang dimulai sejak tahun 1979.

Keputusan ini diambil dalam upaya untuk menghargai posisi petani dan memotivasi mereka dalam meningkatkan peran sektor pertanian dalam mengatasi isu pangan dan mengurangi kemiskinan di seluruh dunia. Dunia sedang diresahkan oleh kondisi perubahan iklim (climate change) yang menjadi momok sangat menakutkan terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan global dan beberapa dampak lainnya akibat perubahan iklim.

Para ahli pertanian dan pemimpin dunia kini bersatu dalam menyelamatkan alam dengan mempromosi teknologi pertanian modern yang ramah lingkungan dan praktik berkelanjutan dalam menghasilkan produksi pangan.

Andy Haines, dalam artikel penelitian terbarunya di New England Journal of Medicine (2019), menyebutkan bahwa jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah mencapai sekitar 410 PPM (part per million). Gas rumah kaca tersebut bisa bertahan di atmosfer selama 1.000 tahun dan mempercepat proses pemanasan global. Akibatnya, bisa terlihat di berbagai aktivitas manusia di belahan dunia. Di Australia, misalnya, pada Januari 2019 ini sudah memasuki musim panas dan suhunya naik hingga mencapai 40 derajat Celsius.

Selain Haines, para pakar perubahan iklim dunia juga mengatakan bahwa menjelang akhir abad ini, beberapa belahan dunia akan menghadapi enam bencana alam sekaligus, yang disebabkan perubahan iklim. Keenam bencana dimaksud antara lain gelombang panas dan kebakaran, sampai hujan lebat dan ombak besar yang akan menghantam kawasan pantai. Manusia akan menghadapi bencana besar yang disebabkan oleh interaksi berbagai peristiwa alam yang disebabkan peningkatan suhu bumi (Franklin, 2018).

Pada 2018, misalnya, Negara bagian Florida mengalami musim kering panjang, suhu panas yang mencapai rekor, lebih dari 100 kebakaran hutan, dan badai (badai Michael) yang paling kuat yang pernah menghantam kawasan itu. Selain itu, perubahan iklim juga berpeluang meningatkan risiko masalah kesehatan pada manusia.

Dampak Bagi Manusia

Beberapa risiko bagi kesehatan manusia akibat perubahan iklim antara lain adalah serangan panas atau heat stroke. Penyakit ini disebabkan kondisi di mana suhu tubuh seseorang naik hingga melebihi 40 derajat Celsius dikarenakan kenaikan suhu lingkungan secara ekstrem, dan bisa menyebabkan gangguan seperti mual-mual, kejang, hilang kesadaran, bahkan kematian.

Kasus heat stroke massal pernah terjadi di India pada 2015, ada sekitar 2.000 warga India yang meninggal akibat serangan panas. Bahkan di tahun-tahun berikutnya heat stroke juga menelan korban jiwa sekitar 1.000 sampai 1.500 warga India per tahunnya.

Disamping itu juga penyakit yang tak kalah bahaya yakni diare dan malaria. Kondisi ini terjadi akibat cuaca panas, sehingga sumber-sumber air mulai berkurang dan kerap menjadi konsentrasi kuman di air yang berpotensi menyebabkan diare. Penyakit tersebut sering terjadi pada musim kemarau.

Lalu, akibat perubahan iklim juga mengakibatkan terjadinya stunting pada anak-anak. Stunting adalah kondisi dimana seorang bayi atau anak-anak mengalami hambatan pertumbuhan yang menjadikan badannya lebih pendek dari rata-rata anak normal. Menurut Kementerian Kesehatan RI stunting ini bukanlah kelainan genetik, melainkan akibat dari kekurangan gizi kronis. Penderita stunting umumnya mengalami kekurangan nutrisi penting seperti lemak, karbohidrat dan protein.

Stunting termasuk dampak tidak langsung dari perubahan iklim. Andy Haines menyebutkan, bahwa perubahan iklim sangat berpeluang mengakibatkan gagal panen dan mengganggu persediaan pangan dunia. Di tengah kondisi krisis pangan, masyarakat berpenghasilan rendah bisa kesulitan mendapat bahan makanan yang baik, mengalami malnutrisi, hingga anak-anaknya beresiko menderita stunting.

Dalam sebuah artikel jurnal yang dipublish oleh Fanzo and Downs menjelaskan, bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan kandungan gizi beberapa komoditas tanaman menurun drastis. Padi, misalnya. Jika ditanam dalam kondisi dengan konsentrasi karbon dioksida stadium tinggi maka nilai kandungan gizi padi (nasi) akan menurun (kompas, 2019).

Hal yang sama disampaikan Zhu, komoditas padi yang ditanam dengan konsentrasi karbon dioksida yang sangat tinggi akan menurunkan kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 (folat). Folat ini adalah salah nilai gizi yang sangat dibutuhkan balita untuk memenuhi kebutuhan gizinya.

Secara Nasional, Aceh termasuk provinsi dengan angka stunting tertinggi ditingkat Nasional dengan angka 31,2% atau berada pada peringkat lima klasemen seluruh Indonesia. Duh! Sungguh terlalu. Padahal pemerintah melalui alokasi dana desa terus menggelontorkan anggaran prioritas untuk penanggulangan stunting dalam lima tahun terakhir. Apakah dana itu salah sasaran?

Menurut data yang diterbitkan cnnindonesia.com bahwa 80% alokasi dana stunting habis di meja rapat dan perjalanan dinas. Hanya 20% saja yang sempat dibelanjakan untuk kebutuhan gizi masyarakat. Sejatinya, dana berlimpah tersebut dapat menjadi sumber untuk mendorong peningkatan gizi masyarakat pedesaan ke arah lebih baik melalui penyediaan bahan makanan untuk asupan gizi dan edukasi program diversifikasi pangan.

Selama ini kita hanya melihat alokasi dana desa nyaris berkutat untuk pembangunan sarana fisik namun mengabaikan pembangunan sumber daya manusianya. Padahal kata Notoatmodjo (1998) unsur penting dalam sebuah program pembangunan adalah keragaman dan ketersediaan sumberdaya manusia yang mumpuni.

Tentu, gizi yang baik adalah faktor utama dalam membangun kecerdasan sumberdaya manusia. Tanpa itu, intelektualitas pembangunan sulit dijangkau, karena dalam pembangunan fisik dibutuh SDM yang handal. Kini, peluang dan ruang yang disediakan pemerintah melalui dinas terkait dan juga alokasi dana desa untuk memuluskan program peningkatan gizi masyarakat pedesaan terbuka lebar.

Oleh karena itu, program peningkatan gizi masyarakat pedesaan perlu mendapatkan sambutan dari pengelola dana desa itu sendiri seperti perangkat desa dan pendampingnya.

Masa depan bangsa amat bergantung pada keseriusan negara menyiapkan generasi penerus, tak terkecuali pada sektor pertanian yang kini minat para generasi muda untuk berkecimpung ke sektor agraris tersebut makin rendah.

Negara yang mampu mencetak generasi unggul akan mendominasi, yang kalah bersaing akan tertinggal dan menjadi penonton di “rumah sendiri”. Tentu kita tak ingin jadi penonton persaingan kemajuan negara-negara lain jika tidak ingin disebut sebagai warga konsumtif. Selamat Hari Krida Pertanian. Selamatkan petani dari segala ancaman!


Husaini Yusuf, S.P., M.Si kini berkhidmat di Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP) Aceh. Alumnus IPB University dan Pengurus BPW PISPI Aceh 


Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda