kip lhok
Beranda / Opini / Perempuan Sebagai Kepala Daerah Dalam Siyasah Islamiyah

Perempuan Sebagai Kepala Daerah Dalam Siyasah Islamiyah

Kamis, 13 Juni 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Dr. Tgk. Yusuf Al-Qardhawy

Dr. Tgk. Yusuf Al-Qardhawy, SHI., MH. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Opini - Sampai saat ini masih ada intelektual Muslim yang masih pro-kontra mengenai kesimpulan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin di pemerintahan khususnya sebagai kepala negara. 

Belum adanya konsesus hukum juga terjadi untuk kepala daerah baik di tingkat provinsi (gubernur) maupun di kabupaten/kota (bupati/walikota) walau tidak semasif kepala negara. 

Pro-kontra ini secara umum terjadi terkait penafsiran firman Allah dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi, ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”. 

Menurut Prof. Dr. Tgk. Muhibuddin Waly dalam bukunya ”Perempuan sebagai Kepala Negara menurut Islam” halaman 48 - 49 ayat tersebut diturunkan tidak sangkut-pautnya dengan persoalan politik, tetapi ayat ini berkenaan dengan persoalan rumah tangga. Dalil lain yang dijadikan sebagai hujjah larangan perempuan menjadi pemimpin oleh sebagian ulama adalah Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan Bukhari, Ahmad, Nasai, dan Tirmizi yang menegaskan, ”Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat perempuan menjadi pemimpin”. 

Masih menurut Prof. Dr. Tgk. Muhibuddin Waly bahwa Hadis diatas tidak dapat dipisahkan dengan kondisi dan situasi serta sistem pemerintahan kerajaan Romawi masa itu yang sangat anti dengan kepemiminan negara Islam Madinah. Raja Romawi memiliki otoritas dan tanggung penuh sebagai penguasa tunggal dalam mengatur negara. 

Mengutip pendapat Prof. Dr. Tgk. Muhibuddin Waly masih dalam bukunya mengatakan, ”Sejalan dengan perubahan zaman, khususnya dengan memudar dan lenyapnya kepemimpian tunggal tertinggi bersamaan dengan tumbuhnya negara-negara Republik dengan pembagian-pembagian kekuasaan, dan menjadikan pemimpin pemerintahan/negara semata-mata pemegang kekuasaan eksekutif, maka syarat pria tidak lagi bersifat mutlak.” Dan hal inilah menurut Imam Al-Mawardi pengarang kitab Ahkam As-Shulthaniyah seperti dikutip Prof. Dr. Tgk. Muhibuddin Waly tidak mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.

Berdasarkan premis mayor diatas dapat dijelaskan bahwa menurut kami kepemimpinan politik atau kepala pemerintahan dalam siyasah islamiyah paling tinggi adalah khalifah yang membawahi seluruh negara-negara Islam, maka untuk menjadi kepala pemerintahan ini mutlak harus laki-laki sebagai pemimpinnya dan berketurunan Quraisy. Kemudian tingkatan kedua kepala pemerintahan Islam adalah presiden, perdana menteri, kaisar, kanselir, raja atau sultan atau yang setingkat dengannya, maka laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan. Kemudian tingkatan ketiga adalah gubernur, maka syarat laki-laki juga masih lebih utama dari kalangan perempuan kecuali sulit sekali menemukan laki-laki yang amanah, alim, berani, dan berintegritas (bermoral). 

Sedangkan kepala pemerintahan di tingkat kabupaten/kota dan kondisi negara dalam keadaan stabil dan kondusif apalagi wilayahnya tidak terlalu luas, maka tidak ada larangan perempuan menjadi kepala daerah, lebih-lebih ia yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap syariat Islam dan teruji serta terbukti selama kepemimpinan sebelumnya dan tentu tidak pernah korupsi, nepotisme, dan tidak melanggar norma-norma yang ada. 

Ditambah disamping calon kepala daerah ini adalah orang-orang yang shalih, relijius, intelektual, dan memiliki rekam jejak yang baik, lebih-lebih ia berasal dari keturunan ulama dan pejuang Islam, maka memilih calon kepala daerah perempuan lebih diutamakan dari laki-laki selama calon dari laki-laki diragukan kemampuannya serta tidak memiliki loyalitas dan komitmen penegakan syariat Islam serta bila pernah menjabat gagal mengartikulasi kepentingan masyarakat dan agamanya, maka sebaiknya memilih perempuan jika diyakini akan mampu menjadi pemimpin umat yang baik.

Penulis: Dr. Tgk. Yusuf Al-Qardhawy, SHI., MH [Alumnus Dayah Babussalam Blang Bladeh Bireuen dan mantan Ketua Umum FPI Aceh]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda