Sabtu, 08 November 2025
Beranda / Opini / Perempuan, Martabat, dan Nilai Kemanusiaan dalam Kasus Melda Safitri

Perempuan, Martabat, dan Nilai Kemanusiaan dalam Kasus Melda Safitri

Jum`at, 07 November 2025 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Naufir Raudhatiz Zayyan

ilustrasi. Foto: Net 


DIALEKSIS.COM | Opini - Kasus Melda Safitri di Aceh Singkil, bukan sekadar berita viral yang lewat begitu saja. Ini adalah cerminan bagi masyarakat untuk merenungkan sejauh mana kita menghargai martabat dan hak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Melda, seorang perempuan yang setia mendampingi perjuangan suaminya, diceraikan hanya beberapa hari sebelum suaminya dilantik sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Video yang memperlihatkan Melda menangis sambil memeluk anak-anaknya saat meninggalkan rumah memicu simpati luas, sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah perempuan diakui sebagai subjek bermartabat atau hanya dianggap pelengkap dalam kehidupan sosial dan domestik?

Dari sisi ontologi, perempuan adalah makhluk yang memiliki eksistensi dan hakikat yang melekat sejak lahir. Ia bukan objek yang bisa ditentukan atau dinilai oleh orang lain, tetapi subjek yang berhak dihormati. Kasus Melda menegaskan bahwa ketika hak dan martabat perempuan diabaikan, bukan sekadar norma sosial yang dilanggar, tetapi hakikat kemanusiaannya sebagai manusia. Perempuan memiliki kesadaran, kehendak, dan kapasitas untuk menentukan hidupnya sendiri. Perjuangan perempuan dalam sejarah, dari R.A. Kartini hingga perempuan karir masa kini, menunjukkan bahwa eksistensi mereka tidak bisa diabaikan, dan setiap tindakan yang merendahkan perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai manusiawi yang paling dasar.

Dalam perspektif epistemologi, kasus ini mengungkap bagaimana masyarakat membentuk pengetahuan dan opini terhadap perempuan. Di Aceh, banyak orang menilai kasus Melda melalui kacamata moral agama dan adat. Rumah tangga dianggap sebagai institusi suci, dan tindakan suami yang menceraikan istrinya secara tiba-tiba dipandang sebagai pelanggaran etika moral. Di sisi lain, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik. Kisah Melda tersebar melalui video, narasi emosional, dan komentar warganet, menciptakan konstruksi realitas sosial yang sebagian bersifat subjektif. Fakta hukum dan regulasi formal mungkin belum jelas, tetapi simpati publik terbentuk, menimbulkan kesadaran baru tentang pentingnya martabat perempuan. Media sosial, meski sering menampilkan potongan informasi, tetap menjadi alat penting bagi masyarakat untuk belajar menilai perempuan bukan hanya sebagai objek yang dikasihani, tetapi sebagai subjek yang berhak dihormati dan diberdayakan.

Kasus ini juga menyingkap bahwa cara berpikir masyarakat masih dipengaruhi patriarki. Sebagian orang menilai perempuan dari peran tradisional sebagai istri yang harus sabar dan taat. Pengetahuan sosial tentang perempuan di Aceh, dalam hal ini, bersifat normatif dan kolektif: benar atau salah sering ditentukan oleh kesepakatan moral komunitas, bukan analisis rasional atau fakta objektif. Namun, dukungan luas terhadap Melda menunjukkan adanya perubahan. Masyarakat mulai menyadari bahwa perempuan adalah individu bermartabat yang harus dihargai, baik dalam ranah domestik maupun publik.

Dari sisi aksiologi, kasus Melda adalah refleksi nilai moral masyarakat Aceh. Dukungan publik yang muncul, terutama melalui media sosial, mencerminkan kesadaran tentang pentingnya menghormati perempuan. Nilai kemanusiaan yang muncul tidak hanya menekankan empati, tetapi juga tanggung jawab moral: jabatan dan status sosial tidak boleh dijadikan alasan untuk merendahkan orang lain. Moralitas sejati diukur dari kemampuan seseorang menghargai martabat orang lain, bukan sekadar kepatuhan terhadap norma sosial atau agama. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi institusi publik bahwa tanggung jawab moral harus menjadi landasan, termasuk dalam regulasi bagi aparatur negara. Jabatan bukan hak semata, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan integritas, termasuk terhadap keluarga.

Lebih jauh lagi, dukungan masyarakat terhadap Melda menunjukkan adanya perubahan nilai sosial. Perempuan tidak lagi dipandang hanya sebagai pelengkap laki-laki, tetapi sebagai individu yang berhak dihormati, memiliki suara, dan ruang untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik. Hal ini berlaku baik dalam rumah tangga maupun pekerjaan. Kesadaran ini menandakan bahwa masyarakat mulai menilai perempuan secara lebih egaliter: mereka memiliki hak dan tanggung jawab moral yang setara dengan laki-laki. Dukungan publik terhadap Melda, meskipun muncul dari simpati, juga menandakan kesediaan masyarakat mengakui perempuan sebagai subjek, bukan sekadar objek dalam relasi sosial.

Kasus Melda Safitri, meski berasal dari Aceh Singkil, mengandung pesan universal: hakikat manusia, martabat, dan nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi di mana pun. Perempuan bukan sekadar pelengkap atau objek yang harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain. Ontologi menegaskan eksistensi dan martabat perempuan, epistemologi menyorot bagaimana pengetahuan dan opini publik terbentuk dari nilai, budaya, dan media, sedangkan aksiologi menuntun masyarakat pada refleksi moral: bagaimana martabat dan hak perempuan harus dihargai dalam praktik sosial.

Akhirnya, kisah Melda mengingatkan kita bahwa kemajuan masyarakat bukan hanya soal teknologi, jabatan, atau status sosial, tetapi sejauh mana kita mampu menghormati martabat manusia. Perempuan harus diperlakukan sebagai subjek bermartabat yang memiliki hak, suara, dan kesempatan yang setara. Kasus ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran kolektif: menghargai perempuan bukan sekadar simbolik, tetapi nyata dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.

Perempuan memiliki hak untuk dihormati, bersuara, dan berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan sosial. Kasus Melda Safitri adalah pengingat kuat bahwa martabat perempuan bukan sekadar slogan atau teori, tetapi nilai yang harus dijunjung dalam praktik kehidupan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi mengajarkan kita bahwa perempuan bukan sekadar objek simpati, tetapi subjek yang harus diakui sebagai manusia seutuhnya. Kesadaran ini, jika ditumbuhkan, akan membawa perubahan nyata dalam cara masyarakat memperlakukan perempuan, tidak hanya di Aceh, tetapi di seluruh Indonesia.

Kasus Melda Safitri menegaskan satu hal: martabat dan kemanusiaan perempuan adalah hak yang tidak boleh ditawar. Ia mengingatkan kita semua, baik masyarakat, media, maupun institusi publik, bahwa pengakuan terhadap hak perempuan harus menjadi fondasi moral dalam setiap relasi sosial. Dan hanya ketika masyarakat mampu menghargai perempuan sebagai subjek bermartabat, kita dapat memastikan terciptanya keadilan dan kemanusiaan yang sejati.

Penulis: Mahasiswi Magister Pendidikan Bahasa Arab, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Naufir Raudhatiz Zayyan, S.Pd

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI