Pendidikan Inklusif Ala Irwan Djohan di Banda Aceh
Font: Ukuran: - +
Penulis : Suhelayanti, M.Pd.I
DIALEKSIS.COM | Opini - Kota Banda Aceh kembali menyita perhatian publik melalui wacana kebijakan pendidikan yang progresif. Melalui program pemberian seragam dan peralatan sekolah gratis untuk siswa SD dan SMP yang dicanangkan oleh Calon Walikota Teuku Irwan Djohan, kota ini berpotensi menjadi pionir dalam mewujudkan pendidikan yang lebih inklusif di Aceh.
Dalam perspektif konstitusional, program ini sejatinya merupakan implementasi konkret dari amanat UUD 1945 pasal 31. Pasal tersebut dengan tegas menyatakan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Namun, realitasnya, banyak keluarga masih terkendala aspek finansial, terutama saat masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Data BPS 2023 menunjukkan, angka putus sekolah di Aceh masih memprihatinkan, dengan faktor ekonomi sebagai penyebab utama. Biaya seragam dan perlengkapan sekolah yang tidak sedikit kerap menjadi beban tersendiri bagi keluarga prasejahtera. Program yang dicanangkan Irwan Djohan ini bisa menjadi katalis perubahan, memberikan nafas segar bagi keluarga yang selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Namun, sebagai akademisi yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya melihat ada beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan. Pertama, program ini membutuhkan sistem pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Database penerima manfaat harus akurat untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Kedua, mekanisme distribusi perlu dirancang secara efisien untuk menghindari penyelewengan.
Aspek ketiga yang tidak kalah penting adalah standarisasi kualitas. Seragam dan peralatan sekolah yang diberikan harus memenuhi standar kelayakan. Ini bukan sekadar masalah pemberian bantuan, tetapi juga menyangkut harga diri para penerima. Bantuan yang berkualitas rendah justru bisa menimbulkan stigma dan kesenjangan baru di lingkungan sekolah.
Program ini juga sebaiknya diintegrasikan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan secara holistik. Misalnya, mengembangkan program pendampingan dan sistem evaluasi yang melibatkan perguruan tinggi sebagai mitra strategis. Keterlibatan akademisi dalam monitoring dapat memberikan masukan berharga untuk penyempurnaan program.
Satu hal yang menarik untuk dipertimbangkan adalah pelibatan UMKM lokal dalam pengadaan seragam dan peralatan sekolah. Langkah ini tidak hanya akan menghidupkan ekonomi lokal, tetapi juga menciptakan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program ini. 'Multiplier effect' yang dihasilkan bisa menjadi nilai tambah signifikan bagi pembangunan daerah.
Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada konsistensi implementasi dan dukungan seluruh pemangku kepentingan. Diperlukan komitmen politik yang kuat, tidak hanya dalam tahap perencanaan tetapi juga dalam pelaksanaan dan evaluasi program. Tanpa itu, program sebaik apapun hanya akan menjadi janji manis yang tak berwujud.
Banda Aceh memiliki potensi untuk menjadi role model pendidikan inklusif di Indonesia. Program seragam dan peralatan sekolah gratis ini bisa menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, seperti kata pepatah, "the devil is in the details". Keberhasilan program ini akan ditentukan oleh detail perencanaan dan konsistensi pelaksanaannya.
Sebagai akademisi dan praktisi pendidikan, saya optimis program ini bisa memberikan dampak positif bagi pemerataan akses pendidikan di Banda Aceh. Namun, optimisme ini harus dibarengi dengan kewaspadaan dan pengawasan ketat dari semua pihak. Mari bersama-sama mengawal program ini demi terwujudnya pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan di Kota Banda Aceh.
Penulis: Suhelayanti, M.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Dosen PGMI IAIN Langsa)