Pemimpin Dalam Perspektif Alquran
Font: Ukuran: - +
Penulis : Chairul Fahmi
DIALEKSIS.COM | Opini - Pelaksanaan Pilkada 2024 adalah rutinitas demokrasi lima tahunan yang akan memilih pemimpin, baik ditingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pesta demokrasi ini pastinya akan menghabiskan banyak biaya, energi dan juga emosi. Setiap kandidat mempunyai hasrat yang besar untuk menjadi pemimpin. Begitupun dengan pendukungnya, mereka akan berjuang untuk memenangkan idolanya.
Lalu sebagai pemilih, siapa sebenarnya yang harus kita pilih? Artikel ini akan mengkaji calon pemimpin yang baik menurut perspektif alquran dan sunnah Rasulullah saw.
Alquran adalah petunjuk bagi manusia dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik di dunia maupun setelahnya. Dalam alquran, Allah SWT memberikan petunjuk tentang bagaimana sebanarnya seorang pemimpin. Ada sejumlah ayat alquran yang dapat kita jadikan sebagai pedoman – dan kemudian menprofiling calon-calon yang akan dijadikan pemimpin di Aceh masa depan.
Pertama, dalam surah Al-baqarah ayat 30, Allah SWT berfirman yang artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah (pemimpin) di bumi.†Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?†Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.â€
Kalimat “khalifah†dalam ayat ini diartikan sebagai pemimpin. Quraish Shihab, dalam bukunya ‘Khilafah’ menyebutkan bahwa pengangkatan Allah terhadap manusia sebagai khalifah adalah bentuk penghormatan Allah kepada manusia sekaligus menguji manusia. Penghormatan karena manusia dipilih oleh Allah diantara seluruh makhuknya bahkan mengungguli malaikat untuk memimpin bumi.
Jika merujuk kepada ayat tersebut, maka seorang pemimpin itu adalah mereka sepatutnya berprilaku seperti malaikat, atau bahkan harus melebih karakter malaikat, yaitu yang selalu bertasbih dan memuji Allah SWT. Bukan sebaliknya, mereka yang bermaksiat, mengingkari perintah dan larangan Allah SWT. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan terdapat sejumlah bentuk perbuatan maksiat kepada Allah SWT, diantaranya syirik, pemakan riba, pencuri atau koruptor, penzina, peminum khamar, pelaku kejahatan, memutus silaturrahmi dan lain sebagainya.
Istilah khalifah juga disebutkan untuk kepemimpinan setelah Rasulullah, yaitu khulafaur rasyidin, terdiri dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Para pemimpin umat penerus rasulullah ini mempunyai akhlak yang sangat mulia. Mereka bertanggung jawab untuk menjaga kestabilan politik dan keamanan dalam wilayah kekuasaannya. Mereka mengatur sistem pemerintahan yang adil, melindungi hak-hak rakyat, dan menegakkan hukum yang berlandaskan ajaran Islam.
Thahir Ibn ‘Asyur, pakar Maqashid asy-Syari’ah dalam tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir menafsirkan bahwa firman Allah surah al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan kebutuhan manusia untuk memilih pemimpin yang berfungsi mengurusi sengketa antar manusia, dan dijadikannya Nabi Adam sebagai khalifah Allah adalah menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.
Fazlur Rahman menyatakan, bahwa pemimpin itu juga seseorang yang mempunyai disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Programnya tidak saja dalam konteks kontruksi infrastruktur namun juga membangun moralitas serta kesejahteraan yang merata dan adil dalam spiritual keakhiratan.
Kepemimpinan yang adil merupakan syarat utama, dan hal ini sangat relevan dengan ayat kedua yang menjelaskan sosok pemimpin dalam perspektif Alquran. Yaitu surah Al-maidah ayat 8, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakanâ€.
Pemimpin yang harus dipilih adalah pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil bermakna bahwa setiap pemimpin bukan (semata) mementingkan kepentingan partainya, golongannya atau kelompok pendukungnya. Melainkan harus berdasarkan kepentingan semua rakyat secara merata dan menyeluruh.
Selama ini, kita kehilangan kepemimpinan yang adil dan minim aplikasi nilai-nilai kezuhudan. Kenyataan bahwa banyak pemimpin yang mengaku beragama dan juga melakukan rutinitas keagamaan ternyata juga tetap berlaku dlolim kepada yang dipimpinnya. Orientasi kepemimpinan bukan lagi menjadi penunjuk sesuatu yang benar dan membimbing pada kebenaran, namun telah berubah menjadi bagaimana ia mampu menumpuk materi sebanyak mungkin dalam kepemimpinannya itu.
Pemimpin yang adil juga bermakna pemimpin yang berani melawan ketidakadilan. Ketidakadilan telah menyebabkan terjadinya kesenjangan yang sangat akut, khususnya dalam konteks ekonomi. Ketidakadilan yang akut ini juga telah menyebabkan kemiskinan yang tak bertepi.
Menurut Otto Syamsuddin Ishak, kemiskinan di Aceh, bukan semata faktor kemiskinan kultural. Melainkan lebih dominan dipengaruhi oleh kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pemerataan modal bagi semua pihak. Melainkan kebijakan diskriminatif dan gagal dalam menciptakan lapangan kerja yang layak. Selain itu, sumber daya ekonomi hanya terkonsentrasi di segelintir orang dan kelompok elit.
Misalnya dalam konteks Aceh. Daerah khusus ini memiliki sumber modal pembangunan kesejateraan yang relatif banyak. Baik dari dana otsus, dana migas dan sumber dana lainnya. Dengan jumlah penduduk 5,52juta, sepatutnya dengan alokasi puluhan trilyun, maka Aceh sepatutnya sudah menjadi daerah sejahtera dan kaya. Sayangnya, Aceh masih menjadi daerah termiskin di Sumatera.
Menurut Qusrina & Fuadi (2024), selama 16 tahun terakhir, penggunaan dana Otsus Aceh sangat minim terhadap dampak perekonomian Aceh. Hal ini karena pendistribusian dana otonomi khusus (otsus) lebih fokus kepada belanja modal pegawai, pembangunan fisik dan pemeliharaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan.
Sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi, sosial, pengentasan kemiskinan, penguatan perdamaian dan keistimewaan sangat minim dibandingkan dengan seluruh distribusi dana otsus.
Kemudian, ayat ketiga yang dapat dijadikan barometer dalam mengukur seorang pemimpin yang kuat (politik dan jaringannya) dan luas pengetahuannya. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam QS Al-baqarah ayat 247, yang artinya: “…Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.â€
Mereka menjawab, “Bagaimana (mungkin) dia memperoleh kerajaan (kekuasaan) atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?†(Nabi mereka) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik.†Allah menganugerahkan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (kekuasaan dan rezeki-Nya) lagi Maha Mengetahuiâ€.
Ayat menjelaskan tentang diangkatnya Talut sebagai raja. Talut juga bukan dari seorang yang kaya, melainkan dari seorang pengembala. Namun, kelebihan lain dimiliki oleh Talut, yaitu kuat secara fisiknya, dan keluasan ilmu pengetahuannya.
Kisah Thalut yang diceritakan dalam Alquran ini juga mengajarkan nilai kepahlawanan. Thalut hadir sebagai representasi sosok pahlawan bani Israil di tengah kemerosotan sosial-politik dan keagamaan, pasca wafatnya nabi Musa as. Selai itu, kala itu mereka berada di bawah cengkeraman kekuasaan bangsa Amaliqah atau Balthatha yang dipimpin oleh raja Jalut.
Thalut juga seorang yang alim dan shaleh. Ia adalah representasi dari pendakwah yang mengajak masyarakat bani Israel yang mulai melupakan agamanya. Mereka telah melakukan berbagai perbuatan dosa dan penyimpangan, korupt dan membunuh para nabi. Akibatnya, bani Isreal mengalami kemorosotan, dan dijajah oleh dinasti lain, termasuk oleh dinasti Bukhtanashar.
Di tengah penindasan tersebut, bani Israil memohon kepada Allah Swt untuk mengutus seorang nabi yang dapat menyelamatkan mereka. Padahal sebelumnya mereka selalu membunuh para nabi dan keturunannya. Doa mereka ini kemudian dijawab oleh Allah Swt dengan mengutus seorang nabi bernama Syamwil (Samuel), seorang keturunan terakhir dari keluarga Lawi.
Mereka berkata, “…Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.†Nabi (Samuel) mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?†Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?…†(QS. Al-Baqarah [2]: 246).
Kemudian Samuel mengangkat Thalut – seorang yang saleh dan bijaksana – sebagai pemimpin bani Israil. Namun mereka malah tidak setuju dan berkata, “…Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?†(Nabi Samuel) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik…†(QS. Al-Baqarah [2]: 247).
Raja Thalut merupakan raja yang diangkat oleh Allah SWT kepada bani Isreal, karena kekuatan (fisik) dan pengetahuannya yang luas. Bukan karena keturunan dari golongan raja atau trah penguasa politik negara.
Talut mengakui bahwa: “Saya ini adalah keturunan Bunyamin bin Yakub orang yang terhina dalam kalangan bangsa-bangsa yang 12 suku (asbat) paling miskin dan melarat," katanya.
Kata dia, bagaimana dirinya dapat menjadi raja, memegang pimpinan atas bangsa yang besar itu? Samuel memotong pertanyaan Talut yang belum selesai dan berkata.
“Ini adalah kehendak dan wahyu Allah. Engkau harus bersyukur atas nikmat Allah dan membulatkan pikiran untuk memimpin perjuangan.â€
Anugerah Allah kepada Talut itu sesuai firman Allah kepada Nabi Muhammad dalam surah Ali-Imran ayat 26 yang artinya. “Katakanlah Muhammad, "Wahai tuhan pemilik kekuasaan, engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.â€
Penulis: Dr.iur Chairul Fahmi, M.A (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh)