kip lhok
Beranda / Opini / Paradigma Filosofis Bendera Aceh

Paradigma Filosofis Bendera Aceh

Senin, 18 April 2022 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Muhammad Ridwansyah. [Foto: For Dialeksis]


Artikel ini respon atas pernyataan Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani saat bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang membicarakan soal kemungkinan pengibaran bendera Aceh di bawah bendera merah putih.

Inisiasi untuk menyelesaikan pengibaran bendera Aceh ini dimulai dari kunjungan kerja Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani saat bertemu dengan Wali Nanggroe Aceh PYM Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar pada tanggal 27 Desember 2021 di Banda Aceh. Poin yang disampaikan saat itu adalah bagaimana mengimplementasikan hasil perjanjian MoU Helsinki yang saat ini masih terdapat banyak kendala. Salah satu frasa yang terkendala poin 1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne. Turunan frasa a quo ini terdapat dalam norma Pasal 246 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan “Bendera daerah Aceh sebagaimana dimaksud ayat (1) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh”.

Sebelum norma bendera Aceh disahkan dalam naskah akademik rancangan UUPA Tim Juru Runding Pemerintah RI Sofyan Djalil selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia masa jabatan 2004-2007 menguraikan bagaimana posisi bendera Aceh saat perundingan kala itu. Bahwa posisi bendera Aceh ketika diutarakan oleh pihak GAM, tim juru runding mencatat terlebih dahulu dan dikonsultasikan kepada undang-undang bahkan UUD Tahun 1945. Bendera Aceh disini tidak sebagai simbol kedaulatan bukan pula national center bagi rakyar Aceh.

7 tahun UUPA disahkan baru dibentuk Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Bendera Aceh diartikan salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh. Namun sebelum jauh-jauh hari disahkannya bendera Aceh, Pemerintah Pusat sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. PP a quo ini menjelaskan bahwa lambang daerah bukan merupakan simbol kedaulatan daerah. Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Penjelasan Pasal 6 ayat (4) tersebut “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.

Persoalan bendera Aceh ini sudah sangat pelik bahkan ketika Gamawan Fauzi menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri masa jabatan 2009-2014. Tahun 2013, Kementerian Dalam Negeri sudah memberikan usulan tegas bahwa bendera Aceh harus segera direvisi atau Presiden akan membatal Qanun Aceh yang bertentangan dengan aturan diatasnya. Artinya, Qanun tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi seperti penjelasan Pasal 6 ayat (4) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013. Penekanan dari pihak Kementerian Dalam Negeri lambang daerah tidak boleh menginspirasi dan menyerupai gerakan separatis. Norma berlaku saat itu masih Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Memang dibenarkan presiden membatalkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tetapi masa pembatalan itu sudah habis waktunya karena norma Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur waktu proses pembatalan hanya selama 60 hari, sedangkan freezing (pembekuan) atas Qanun a quo sudah lebih dari 60 hari lamanya bahkan bertahun-tahun hingga sekarang. Pada masa itu seharusnya Kepala Pemerintah Aceh dr. Zaini Abdullah harus kembali ke norma Pasal 145 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan “Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada keputusan pembatalan perda selama 60 hari, Perda (Qanun Bendera Aceh) dimaksud dinyatakan berlaku”.

Tahun 2016, keluar Surat Keputusan Mendagri No. 188.34-4791 Tahun 2016 tentang Pembatalan Beberapa Ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dengan dalil hukum pengaturan terbaru mengenai Pemerintahan Daerah yakni Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tetapi Mahkamah Konsitusi sudah menghapus kewenangan eksekutif review Kementerian Dalam Negeri. Artinya SK a quo itu tidak ada cantolan hukumnya lagi bahkan secara ilmu perundang-undangan keberadaan Qanun bendera Aceh dinyatakan sah dan berlaku walaupun secara materi dianggap oleh Pemerintah Pusat masih bertentangan dengan norma yang tertinggi.

Filosofis Bendera Aceh

Pertanyaan, seberapa manfaatkah bendera Aceh bagi rakyat? Apakah ketika bendera Aceh dikibarkan sudah pasti Aceh merdeka dan lepas dari NKRI? Mengapa hingga sekarang Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau atas bendera Aceh?

Rumusan filosofis seberapa manfaatkah bendera Aceh bisa dijawab ketika seorang Nek Maryam di Desa Pulo Blang Kecamatan Darul Ihsan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2017 dimintakan untuk mengibarkan bendera merah putih akan tetapi yang dinaikkan oleh Nek Maryam adalah bendera Aceh (bendera bulan bintang). Artinya, bendera Aceh sudah mendarah daging bagi rakyat Aceh, tidak bisa dinafikan bendera ini simbol kekhususan dan keistimewaan bagi rakyat Aceh. Bendera Aceh diperuntukkan bukan untuk eksistensi kedaulatan rakyat tetapi memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat Aceh dalam kebhinekaan, menjunjung tinggi kehormatan dan human dignity nya rakyat Aceh. Pemerintah Indonesia harus melihat human dignity rakyat Aceh jika tidak maka persoalan bendera Aceh tidak akan pernah diselesaikan hingga sampai sekarang. Jika masih berpangku pada tataran norma-norma yuridis maka bangs aini tentu dikhawatir akan pecah kembali dikemudian hari.

Rumusan filosofis yang kedua apakah dengan hadirnya bendera Aceh, sudah dipastikan Aceh merdekan dan lepas dari NKRI? Tentu jawaban ini perlu dengan kehati-hatian yang tinggi, karena bendera merupakan simbol kedaulatan negara bahkan melambangkan sebuah bangsa dan negara. Dalam konteks bendera Aceh sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi karena bendera Aceh dengan bendera Merah Putih berdampingan saat pengibarannya. Kata kuncinya ialah tidak boleh bendera Aceh lebih tinggi daripada bendera Merah Putih, sehingga tetap bendera Merah Putih yang tertinggi dalam konteks self government (Pemerintahan Sendiri).

Rumusan filosofis terakhir adalah mengapa Pemerintah Pusat sampai sekarang tidak memberikan lampu hijau atas bendera Aceh? Perlu ada political will pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan bendera Aceh, perlu ada kesepahaman bersama bahwa Pemerintah Pusat harus menghilangkan frasa separatis yang di Aceh, bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 menjelaskan yang dilarang itu bendera bulan sabit, sedangkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 itu menggunakan bulan bintang. Pemerintah Pusat harus menjadi Aceh daerah desentralisasi asimetris yang menjunjung tinggi simbol kekhususan dan keistimewaan daerah seperti amanah Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945. Semoga.


Penulis: Muhammad Ridwansyah.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda