Om Bus dan Bagaimana Memenangkan Pilkada?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Agam Ramadhan
Agam Ramadhan, S.IP. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Sebelum menjawab judul, dapat dipastikan bahwa nama-nama yang hari ini muncul di spanduk-spanduk dan lini masa Sosmed, sebagai Calon Wali Kota atau Gubernur, belum tentu bisa mendaftar di pertarungan Pilkada 2024.
Alasannya karena syarat paling dasar yaitu didaftarkan atau didukung oleh Partai Politik yang memenangkan Pemilu terakhir. Berbeda dengan Calon Independen yang pendaftarannya pun sudah ditutup.
Akhir bulan Agustus ini menjadi puncak pendaftaran Calon Kepala Daerah, yaitu tanggal 27-29 Agustus 2024. Baik kandidat pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub); Calon Bupati (Cabup) dan calon Wakil Bupati (Cawabup), begitu juga dengan Calon Walikota dan Calon Wakil Wali Kota.
Tentu sudah banyak nama yang berbunga, banyak yang sudah mengantongi rekomendasi dari Partai Pengusung. Ada juga yang sudah dideklarasikan oleh masyarakat yang mendukung, seperti Bustami Hamzah alias Om Bus, yang sedang digadang-gadang menjadi lawan kuat Muzakir Manaf alias Mualem yang diusung oleh Partai Aceh.
Berkat berbagai nama Calon Kepala Daerah yang mulai berseliweran, semua masyarakat juga mulai bersemangat menantikan kontestasi Pilkada. Buktinya, jauh-jauh hari sebelum Idul Adha kemarin, di salah satu acara adat, seorang emak-emak menyapa dengan semangat: “Eeeh, kok gak angkat kaka telpon kemarin? Kaka mau nanya padahal, kita menangkan siapa nanti? Soalnya sudah banyak yang ajak kaka, cuman kaka tetap tunggu kabar dari Adek...”.
Beliau bicara soal siapa yang akan dimenangkan bersama untuk Pilkada nanti, sebagaimana kesuksesannya memenangkan salah satu Caleg DPRA di Pileg 14 Februari lalu. Ini menunjukkan bahwa banyak yang mulai bermanuver jauh-jauh hari untuk pertarungan politik Pilkada pada 27 November nanti.
Bahkan banyak yang sudah curi start sedini mungkin. Baik itu Partai Politik, Calon Kepala Derah, serta para Timses yang sudah terbiasa memenangkan Pemilu di lapangan. Tentu emak tersebut sekarang sudah mulai bekerja untuk salah satu Calon Kepala Daerah yang muncul.
Tiket Calon Kepala Daerah
Menghadapi Pilkada di depan mata ini, tentu memiliki aturan mainnya sendiri. Termasuk bagaimana calon yang didukung masyarakat bisa mendaftarkan diri pada akhir Agustus nanti.
Berdasarkan Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 tentang Pilkada Aceh, pasangan calon Kepala Daerah harus mengantongi dukungan 15% dari jumlah Kursi DPRA/DPRK yang memenangkan Pemilu terakhir (Pileg 14 Februari 2024). Misalnya untuk mendaftarkan diri sebagai Cagub-Cawagub Aceh adalah memperoleh dukungan dari 13 kursi DPRA. Lalu untuk Cabup-Cawabup/Calon dan Wakil Wali Kota adalah memperoleh dukungan dari 5 kursi DPRK.
Lima belas persen dukungan ini bisa didapat dari satu Partai Politik atau gabungan Partai Politik (Koalisi Partai). Lingkup Cagub-Cawagub, hanya Partai Aceh yang berhak pengusung sendiri karena memperoleh 20 kursi DPRA pada Pileg Februari lalu, sedangkan partai lainya tentu harus berkoalisi terlebih dahulu karena tidak ada satu pun Partai yang memperoleh 13 kursi DPRA.
Lain hal nya dengan Cabup-Cawabup/Calon Wali Kota-Wakil Wali Kota. Misalnya di Banda Aceh ada PKS, Partai NasDem, PAN dan Partai Demokrat yang masing-masing memperoleh 5 kursi DPRK. Keempat partai tersebut dapat langsung mengusung kandidatnya sendiri. Perihal mereka membentuk koalisi dengan partai lainnya, itu bicara soal kekuatan dukungan terhadap pemenangan Pilkada, atau memang tidak ada kandidat potensial yang dapat diusung, maka dari itu semua partai membuka pendaftaran Calon Kepala Daerah beberapa waktu lalu.
Sayangnya, banyak nama yang muncul belum memiliki kejelasan akan diusung oleh Partai mana. Om Bus sendiri hari ini belum memperoleh dukungan resmi dari partai pemenang Pileg 2024, sedangkan waktu pendaftaran sudah sangat dekat.
Meski sudah memperoleh banyak dukungan masyarakat, Om Bus bisa jadi gagal nyalon karena harus diusung sekurangnya oleh 2 Partai koalisi, agar mencakup syarat 13 kursi DPRA. Nah, Calon Kepala Daerah yang lain sudah bisa mentukan pasangannya dan menyusun agenda praktis memenangkan Pilkada.
Memenangkan Pilkada
Calon Kepala Daerah dan Partai Politik Pengusung memiliki satu tujuan bersama, yaitu memenangkan Pilkada 2024. Dalam memenangkan Pilkada butuh strategi yang tepat. Ada berbagai strategi politik yang dapat dilakukan, tentu tidak ada konsep baku, namun ada benang merah yang dapat disimpulkan dari rekam jejak Pemenangan Pemilu sebelumnya.
Penulis merumuskan lima benang merah yang harus menjadi acuan utama sebagai strategi politik untuk menjawab bagaimana memenangkan Pilkada.
Pertama, Calon Kepala Daerah harus memiliki popularitas. Dikenal oleh masyarakat, menjadi acuan untuk sukses berkomunikasi politik. Sebagaimana makna komunikasi politik yang diungkap oleh Harold Lasswell: “Siapa berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan bagaimana efeknya?”.
Perlu kiranya jika belum dikenal, harus terlebih dahulu dibombardir dengan berbagai isu tentang sosok Calon Kepala Daerah. Maka tidak perlu heran berbagai spanduk, baliho dan linimasa media sosial, mulai diisi oleh nama-nama Calon Kepala Daerah seperti ucapan Selamat Idul Adha kemarin, atau hari-hari perayaan lainya, hingga spanduk mendukung pelaksanaan PON.
Kurang dikenal oleh masyarakat manandakan rendahnya peluang terpilih atau yang biasa kita sebut elektabilitas. Misalnya, Bustami Hamzah hanya memperoleh elektabilitas 6,9% (Survei SMRC periode 22-27 Mei).
Penulis juga mencoba bertanya kepada beberapa kaum emak-emak yang terbiasa memenangkan Pemilu di Aceh Besar, dari 10 orang yang penulis tanya, semuanya masih bertanya 'Siapa Bustami?'. Meski namanya seakan dekat di kalangan kita, ternyata dikalangan masyarakat luas masih sangat tabu. Maka perlu para relawan dan tim bekerja ekstra untuk meningkatkan popularitas Calon Kepala Daerah yang akan diusung, terutama identitasnya, agar elektabilitas juga turut meningkat.
Kedua, modal finansial. Poin ini sangat penting mengingat bagaimana kontestasi Pileg kemarin. Siapa Caleg yang bener-bener menang, tanpa memberikan bungong jaroe sebagai penunjang jasa masyarakat yang bersedia meluangkan waktu sibuknya untuk memilih mereka? Belum lagi biaya operasional tim-tim yang bekerja dari saat ini sampai usai perhitungan suara nanti. Faktor modal finansial sangat menentukan keseluruhan strategi politik yang digunakan. Tidak perlu naif, apalagi berharap menang tanpa modal finansial yang memadai.
Ketiga, memanfaatkan kekuatan Partai Pengusung. Setiap Partai Politik memiliki strukturnya sendiri, baik dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, sampai tingkat Kecamatan dan Gampong. Kandidat yang sudah mengantongi dukungan Partai Pengusung atau Koalisi Partai, seharusnya memanfaatkan kekuatan Partai itu sendiri. Bukan diam dan menanti penyambutan dari internal Partai dalam membangun kekuatan pemenangan. Waktu tidak pernah menunggu konsolidasi pemenangan yang seharusnya dilaksanakan sedini mungkin.
Antara Partai Politik dan Caleg terpilih tidak dapat dipisahkan dalam memenangkan Pilkada 2024. Prof. Firmanzah, Ph.D, dalam bukunya ‘Mengelola Partai Politik’ dengan tegas mengungkapkan bahwa Partai Politik tidak sekadar kendaraan politik. Selama ini para Kandidat Calon Kepala Daerah seringkali tidak memanfaatkan gerbong Partai pengusung, malah lebih mempercayakan kepada para tim baru yang kadang tidak terorganisir dengan baik. Praktek ini pula yang menjadikan Partai pengusung seakan hanya formalitas belaka, padahal mereka adalah kunci memenangkan Pilkada.
Keempat, membuat kesepakatan politik dengan Caleg terpilih pada Pileg Februari lalu. Sebagaimana kutipan awal dari timses di lapangan. Setiap Caleg yang sudah menang, memiliki Timses sendiri yang sudah cukup terstruktur di berbagai lapisan masyarakat, terutama sampai ke tingkatan gampong. Calon Kepala Daerah harus segera membangun kesepakatan tertentu agar para Caleg terpilih menggerakkan Timsesnya di lapangan, sebagai pendongkrak suara utama.
Bukan berarti tidak perlu membentuk Timses sendiri, apalagi Calon Kepala Daerah yang sudah dibanjiri dengan relawan pemenangan dimana-mana. Hanya saja, memanfaatkan struktur Partai Politik dan Timses Caleg terpilih sangatlah efisien dan efektif. Hal ini kembali juga bagaimana kesepakatan yang dibangun untuk sama-sama memperoleh kemenangan bersama. Terutama bagaimana memudahkan jaminan kepentingan lembaga legislatif dan eksekutif untuk 5 tahun yang akan datang.
Kelima, menjaga kotak suara hingga penetapan pemenang. Temuan penggelembungan suara DPD RI pada Pileg 2024 di Kabupaten Pidie, menunjukkan bagaimana lemahnya sistem penyelenggara Pemilu. Politisi ulung, seharusnya memperhitungkan berbagai aspek dalam strategi politik bagaimana memenangjan Pilkada. Termasuk bagaimana mengantisipasi berbagai peluang terjadinya kecurangan, maka dari itu perlu menjaga suara dengan sangat kokoh sejak dibukanya TPS, hingga perhitungan final ketika pleno rekapitulasi suara. Saksi per-TPS perlu dipilih yang bener-bener jeli dan loyalis. Tentu amunisi saksi harus dipenuhi dengan maksimal.
Terakhir, Berdoa yang sungguh sembari memyantuni anak yatim dan Fakir Miskin. Ini tidak masuk dalam benang merah pemenangan, namun dalam kehidupan Islam, apalagi Aceh. Salah satu kepercayaan dalam meraih kesuksesan adalah dikabulkannya doa. Kondisi ini tidak terlepas dari ungkapan para orang awam soal 'metuah tuboh'. Faktor yang nampak sekilas memang tidak penting, namun percaya tidak percaya, menjadi satu faktor 'takdir' yang tidak kasat mata dalam meraih kemenangan. Semoga!
Penulis: Agam Ramadhan, S.IP (Alumni Prodi Ilmu Politik Unsyiah. Berkiprah sebagai Pengkaji Politik Praktis di Islamic Institute of Aceh (IIA). IG: agamramadhan_s.ip)