Kamis, 10 Juli 2025
Beranda / Opini / Diskresi Bustami Hamzah, Senja Kala Kaderisasi Golkar Aceh?

Diskresi Bustami Hamzah, Senja Kala Kaderisasi Golkar Aceh?

Selasa, 08 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar

T. M. Jafar, Pengajar filsafat politik sekaligus penelit isu relasi politik, patronase, dan klientalisme. [Foto: HO-Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Opini - Lima belas tahun terakhir perolehan suara Golkar di Aceh dapat dikatakan melonjak. Memiliki fraksi penuh dan memegang salah satu pimpinan DPRA adalah modal Golkar Aceh dalam pecaturan politik Aceh. Jadi sangat wajar bila ada kader internal bahkan politisi di luar Golkar mengincar pucuk pimpinan Golkar Aceh saat ini. Selain strategis dalam mewarnai pemerintahan, menjadi strategis pula sebagai modal politik dalam Pilkada akan datang.

Meski di bawah pohon rindang, suasana di internal disinyalir mulai menghangat. Bukan karena suhu Banda Aceh sedang 38 derajat celsius, melainkan suhu politik internal yang sedang panas dalam.

Musda ke-XII Partai Golkar Aceh kabarnya akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Tiga kader senior yang sedang bersinar siap bertarung. Ada Ali Basrah, Andi HS, dan Teuku Raja Keumangan.

Sayup-sayup pula terdengar usaha untuk mendapatkan "Kuota Diskresi" dalam pencalonan Ketua DPD I Partai Golkar Aceh.

Wacana yang membuka ruang diskresi bagi Bustami Hamzah menjadi pembicaraan internal. Desas-desus Om Bus berniat menakhodai Golkar Aceh bukan hanya sekadar langkah biasa.

Di internal Golkar sendiri, mereka tidak ingin terseret dengan arus pragmatis yang dapat merusak sistem kaderisasi partai.

Pertaruhan besar ini berpotensi membawa partai berlambang beringin itu ke dalam krisis ideologis yang dalam.

Di tengah dinamika politik Aceh pasca Pilkada 2024, langkah ini dinilai oleh sebagian internal Golkar Aceh menghancurkan prinsip kaderisasi dan rentan terjebak dalam pragmatisme politik jangka pendek.

Bustami Hamzah adalah figur yang, secara objektif, tidak memiliki riwayat pengabdian dalam tubuh Partai Golkar. Ia bukan kader, bukan pengurus, bahkan bukan simpatisan aktif yang terlibat dalam dinamika internal partai selama ini. Ia adalah mantan birokrat yang turun gelanggang politik pada Pilkada 2024 sebagai rival Muzakkir Manaf, dan kalah.

Di mana urgensi strategisnya bagi Golkar ? Jika hari ini Bustami adalah kepala daerah, pimpinan legislatif, atau figur yang memegang kendali massa riil di akar rumput, maka mungkin diskresi itu bisa dipahami secara kalkulatif. Namun faktanya, ia hanya seorang pensiunan PNS yang gagal memenangkan Pilkada dan tidak memiliki posisi formal di pemerintahan atau legislatif.

Perolehan 46% suara Bustami dalam Pilgub 2024 pun tidak bisa dibaca sebagai basis kekuatan pribadinya secara utuh. Konteks kontestasi yang head to head membuat angka tersebut terkesan besar, namun dalam realitas politik yang banyak calon dengan 3 atau 4 kandidat angka Bustami mungkin hanya berkisar 10–15% saja. Ini adalah fenomena psikologis pemilih dalam pertarungan dua arah, bukan indikator kekuatan politik organik yang berkelanjutan.

Golkar adalah partai yang dibesarkan oleh kaderisasi dan loyalitas. Sejarah panjang partai ini menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpinnya lahir dari proses panjang dari bawah ke atas, bukan dari luar lalu langsung ke puncak.

Memberikan kursi Ketua DPD I kepada orang luar, apalagi yang baru saja menjadi rival politik tokoh Aceh yang sedang berkuasa, ibarat mencabut akar pohon besar hanya demi memetik satu buah. Bukan hanya akan menimbulkan kekecewaan di kalangan kader yang sudah bertahun-tahun berjuang membesarkan partai, tapi juga membuka ruang bagi eksodus kader ke partai-partai lain.

Risiko ini bukan asumsi kosong. Sejarah menunjukkan bahwa Golkar Aceh pernah melewati masa-masa sulit ketika konflik internal tak terkelola dengan baik. Kaderisasi yang tersumbat, loyalitas yang dikhianati, dan pragmatisme elite akan menjadi bom waktu yang menghancurkan soliditas partai.

Secara kalkulasi politik domestik, Aceh membutuhkan stabilitas politik untuk melanjutkan pembangunan pasca konflik dan pandemi. Muzakkir Manaf, gubernur terpilih, adalah sosok dengan basis massa nyata yang memiliki legitimasi kuat. Kehadiran Bustami di pucuk pimpinan Golkar Aceh bukan memperkuat fungsi check and balances secara sehat, melainkan justru memunculkan potensi konflik horizontal antara eksekutif dan partai politik di parlemen.

Alih-alih menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam membangun Aceh, Golkar berpotensi terjebak dalam rivalitas personal Bustami vs Mualem. DPR Aceh pun bisa terbelah menjadi dua kutub, pro-pemerintah dan oposisi personalistik, yang menghambat jalannya pemerintahan dan perumusan kebijakan publik.

Pertanyaan yang paling krusial, siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh diskresi ini ? Golkar Aceh? Jelas tidak. Golkar justru kehilangan marwahnya sebagai partai kader dan berisiko mengalami fragmentasi internal yang melemahkan kekuatan politiknya di Aceh.

Apalagi Rakyat Aceh? Sama sekali tidak. Mereka hanya akan menjadi penonton dari drama elite yang menghambat agenda pembangunan dan kesejahteraan.

Yang diuntungkan hanyalah segelintir elite pragmatis di pusat dan daerah yang menjadikan partai sebagai alat transaksi politik jangka pendek.

Lebih jauh lagi, keputusan ini menunjukkan krisis kepemimpinan di DPD Golkar. Partai sebesar Golkar, yang seharusnya menjadi contoh kaderisasi modern dan meritokratis, justru terjebak dalam politik instan. Seolah-olah Golkar kekurangan kader di Aceh, padahal di lapangan banyak kader potensial yang telah berjuang dalam sunyi tanpa pamrih. Mereka menunjukkan bukti konkrit tentang tangguhnya perjuangan meraih kursi Bupati, DPR Aceh hingga DPR RI. Malah ada Ketua DPD II Partai Golkar di Aceh yang meraih 9 kursi DPRK yang menghantarkan Golkar memimpin lembaga legislatif dan juga Ketua DPD II nya berhasil meraih kursi Bupati.

Ada lagi kader Golkar yang baru saja memenangkan kursi DPR Aceh, namun kembali bertarung di kursi Bupati yang kemudian berhasil menjadi Bupati. Hal ini jelas menguntungkan Partai, di satu sisi peraihan suara di DPR Aceh tetap, di sisi yang lain berhasil meraih kursi Bupati dari Partai lain.

Hal seperti ini seharusnya yang diberikan Diskresi oleh Partai. Yang sudah jelas Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT). Bukan kepada non kader yang ingin numpang tenar atau memanfaatkan kebesaran Partai.

Jika keputusan ini diteruskan, Golkar Aceh akan menghadapi risiko kehilangan akar sosialnya, kehilangan semangat kolektifnya, dan berubah menjadi gerbong politik pribadi yang jauh dari idealisme partai.

Aceh butuh stabilitas politik, bukan pertarungan ego antar elite. Golkar seharusnya menjadi jembatan, bukan sekat. Menjadi kekuatan penyeimbang yang konstruktif, bukan oposisi yang lahir dari luka pribadi.

Diskresi adalah hak prerogatif DPP, tapi menggunakan hak itu tanpa kalkulasi politik jangka panjang hanya akan mempercepat kemunduran partai. Semoga Golkar tidak mengulangi kesalahan partai-partai lain yang tumbang karena gagal membina kadernya sendiri. 

Apakah kemudian forum musyawarah daerah menjadi ajang pertarungan kader yang sedang bersinar atau malah menjadi senja kala bagi kaderisasi Golkar Aceh ?.[**]

Penulis: T. M. Jafar (Pengajar filsafat politik sekaligus peneliti isu relasi politik, patronase, dan klientalisme)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI