Napak Tilas Perlawanan Kaum Muda Antiperang di Amerika
Font: Ukuran: - +
Penulis : Rahmat Firnanda
Rahmat Firnanda, Peminat Isu International Relation. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Enam bulan sudah berlangsung genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza dan sudah menewaskan lebih dari 40 ribu jiwa orang orang Palestina. Jiwa-jiwa yang melayang dihantam oleh kebengisan penjajahan kolonialisme Barat dalam entitas ideologi entnosentris bernama Zionisme Israel.
Seluruh dunia cukup mengakses gambar dan video yang tersebar di dunia maya untuk melihat brutalnya perlakuan Israel terhadap rakyat Palestina yang terlunta-lunta di pinggiran perbatasan Gaza dan Mesir bernama Rafah setelah Gaza menjelma menjadi tempat penjagalan massal.
Media massa bahkan sudah tidak mampu menampilkan keadaan mayat-mayat yang dieksekusi, ditembak, bahkan dibuldoser kendaraan berat.
Menurut laporan Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB hingga bulan Februari tahun 2024, 70 persen korban pembantaian di Gaza merupakan wanita dan anak anak. Kejahatan luar biasa ini yang akhirnya tidak mampu membendung dunia untuk bereaksi dan menyuarakan gencatan senjata dan perdamaian di Palestina sambil meneriakkan slogan “Free Palestine” yang bermakna “Bebaskan Palestina” hingga menggema ke seluruh dunia.
Dari seluruh komponen masyarakat yang aktif bersuara, kaum muda adalah salah satu corong terdepan yang berani melawan ketidakadilan tersebut. Bahkan negara Amerika Serikat yang konsisten memasang badan membela setiap langkah kebijakan Israel pun tidak bisa menutup akses perlawanan mahasiswa dan generasi muda dalam menyuarakan kebenaran di ruang publik Amerika.
Kaum muda Amerika menolak diam
Beberapa hari ini, banyak universitas-universitas besar di Amerika Serikat seperti Universitas Columbia, Universitas Yale, dan Universitas New York melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut pemerintahnya Amerika Serikat menghentikan segera suplai persenjataan untuk Israel dan memangkas setiap dana investasi yang memiliki koneksi dengan Israel.
Aksi protes dengan cara berkemah di lingkungan kampus Columbia dan beberapa kampus Amerika lainnya juga menarik perhatian publik dan media sembari mereka menyuarakan dukungannya kepada Palestina sambil mengenakan kain keffiyeh dan bendera Palestina.
Konsekuensinya, banyak dari mahasiswa tersebut yang di tangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak kampus pun memberikan ancaman akan memberi hukuman bagi siapapun dari mahasiswa yang terlibat dalam aksi pro Palestina. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat mahasiswa Amerika dalam menuntut perubahan dari akar rumput.
Jika kita menelusuri rentetan sejarah perang yang melibatkan Amerika Serikat, maka bisa dipastikan ada mahasiswa dan generasi muda lainnya yang tanpa ragu dan penuh kepercayaan diri melawan kemapanan penguasa dalam mempromosikan perang kepada rakyatnya agar mau berpartisipasi mendukung kebijakan perang.
Pada tahun 2003, ketika Collin Powell, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di era George W. Bush, mempresentasikan sebuah propaganda di depan sidang Dewan Keamanan PBB di New York tanggal 5 Februari 2003 yang menuduh Irak memiliki WMD (Weapon of Mass Destruction) atau senjata pemusnah massal demi memuluskan invasi Amerika ke Irak yang beberapa minggu kemudian menjadi kenyataan pada tanggal 21 Maret 2003 melalui pemboman kota Baghdad ibukota Irak di subuh hari.
Namun sebelum invasi, sebuah gerakan protes yang luar biasa terjadi pada tanggal 15 Februari 2003, ketika rakyat sipil anti perang, mahasiswa, dan kelompok progresif lainnya menciptakan kumpulan massa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade.
Sebuah buku yang berjudul The World Says No to War: Demonstrations against the War on Iraq (2010) yang ditulis oleh Stefaan Walgrave and Dieter Rucht menyatakan ada jutaan orang dengan estimasi 8 sampai 15 juta manusia dari ratusan kota di dunia termasuk New York, London, Istanbul dan kota kota lainnya yang menuntut AS, Inggris, dan koalisinya untuk menghentikan persiapan invasi ke Irak.
Para generasi muda seperti remaja dan mahasiswa berada di antara lapisan masyarakat anti perang lainnya mempersiapkan pamflet, spanduk, dan slogan slogan yang menolak setiap kebijakan AS dan Inggris yang ingin memuluskan invasi ke Irak. Walaupun serangan ke Irak tetap terjadi, aksi protes yang masif ini membuktikan ada sisi humanis yang tidak bisa dibendung dan empati yang tidak mampu digerus oleh hegemoni kekuasaan.
Jika menoleh jauh kebelakang, generasi Baby Boomer atau generasi yang lahir pasca Perang Dunia 2 di Amerika juga pernah mengalami hal yang serupa ketika Amerika Serikat melakukan kampanye militernya dengan menginvasi Vietnam pada 8 Maret 1965. Generasi ini yang masih berusia remaja dan beranjak dewasa ikut turun ke jalan jalan bersama aktivis aktivis kemanusiaan dan masyarakat sipil lainnya menolak wajib militer yang mengharuskan mereka untuk diterbangkan ribuan kilometer jaraknya dengan menenteng senjata melawan rakyat Vietnam yang berbeda haluan ideologi dengan Amerika. Liberalisme AS vs Komunisme Vietnam.
Dalam artikel berjudul “Students and the Anti-War Movement” atau “Mahasiswa dan Gerakan anti Perang” yang ditulis oleh Kenneth J. Heineman berkesimpulan bahwa generasi muda saat itu terutama mahasiswa sudah mulai membangun pemikiran kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mulai menggadaikan makna demokrasi yang menjunjung kebebasan menjadi sebuah kebijakan totaliter dan penuh pemaksaan walau harus mengorbankan nyawa rakyat nya sendiri demi kepentingan elit di pemerintahan Amerika yang semakin munafik demi menguntungkan segelintir pebisnis yang menumpang mencari profit dalam kebijakan perang Amerika saat itu.
Gerakan agresif militer Amerika yang merekrut pemuda pemuda di kampus kampus untuk ikut berperang di Vietnam justru menciptakan gelombang perlawanan yang lebih besar lagi dari kaum muda yang sudah muak dengan kebohongan para pengambil kebijakan di Gedung Putih saat itu.
Kaum muda lintas generasi di Amerika yang terstigmakan dengan hedonisme dan budaya Barat yang terkesan bebas ini telah membuktikan bahwa kebijakan perang yang dilakukan Amerika Serikat secara langsung seperti perang Irak dan Vietnam, maupun perang tidak langsung yang dilakukan Amerika Serikat seperti yang terjadi di Palestina yang dibombardir oleh Israel menggunakan uang pajak rakyat Amerika yang berjumlah triliunan rupiah, pada kenyataannya tidak bisa mengaburkan perlawanan kaum muda di sana dalam mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintahannya sendiri.
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara kebijakan Amerika Serikat dan sebagian besar rakyatnya termasuk kaum muda yang selama ini termarginalkan dan lekat dengan stigma kaum pengagum hedonisme dan serba bebas oleh media besar dan dianggap berada di belakang setiap kebijakan perang pemerintahannya. Namun apa yang ditunjukkan kaum muda Amerika di era perang Vietnam, Perang Irak, dan selama genosida di Gaza, memperlihatkan tidak hanya secercah harapan yang membuncah, tapi juga pembuktian rasa kemanusiaan itu masih tampak dari kaum muda Amerika dan terus bergerak seiring waktu yang terus berjalan dalam perih dan terjalnya sebuah peperangan. Perlawanan itu masih ada!!!. [**]
Penulis: Rahmat Firnanda (Alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry dan Peminat Isu International Relation)