kip lhok
Beranda / Opini / Moderasi Beragama dan Panjang Umur Indonesia

Moderasi Beragama dan Panjang Umur Indonesia

Senin, 11 Desember 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar Sulaiman

T. Muhammad Jafar Sulaiman, S.HI., MA. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Opini - Dunia mencatat, pertemuan dua tokoh besar dunia, Imam Besar Al Azhar Syekh Ahmad el-Tayyeb dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019, menjadi penanda bagi umat manusia untuk kesamaan nilai moderasi beragama yang sangat penting bagi kedamaian dunia, menjadi energi pendorong lahirnya kesamaan nilai-nilai moderasi beragama.

Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document). Pesan utama dokumen ini menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini yang sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.

Bagi Indonesia, dokumen persaudaraan kemanusiaan ini adalah juga cita - cita model dan praktek moderasi beragama di Indonesia untuk dunia. Sebagai negara yang memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, tidak hanya suku dan ras, melainkan juga agama, budaya dan aliran kepercayaan, juga sebagai negara yang plural dan multikultural, Indonesia perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan. Moderasi beragama menjadi sangat mendesak dalam masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia, terutama ketika masyarakat terbelah sebagai imbas segregasi politik.

Diskursus tentang moderasi Beragama menjadi sebuah wacana yang sangat menarik bagi kebangsaan Indonesia, terutama setelah bermunculan aliran-aliran radikal, baik dalam konteks global maupun regional. Dimulai dari peristiwa serangan 11 september 2001 terhadap gedung World Trade Centre (WTC) dan Pentagon kemudian diikuti dengan serangan-serangan yang terjadi di dalam negeri seperti bom Bali (12 oktober 2002), bom JW Marriot (5 Agustus 2003), bom kedubes Australia (9 september 2004), bom Surabaya (13-14 Mei 2018) dan lain sebagainya. Aksi teror tersebut nyaris selalu menjatuhkan korban, baik pelaku maupun masyarakat yang tidak berdosa.

Pasca rezim Orba tumbang terjadi perkembangan dan perubahan secara dinamis dan ekspresif di tengah umat Islam, ditandai dengan beberapa hal, seperti: pertama, lahirnya sejumlah partai politik yang secara formal mengusung ideologi dan cita-cita Islam, yang sebelumya dilarang secara tegas oleh rezim Orba. Fenomena ini mengindikasikan bangkitnya kembali kekuatan-kekuatan Islam politik di Indonesia. Kedua, tampilnya berbagai gerakan-gerakan yang selama masa Orba kurang dikenal oleh masyarakat, dan ketiga, kelahiran organisasi-organisasi Islam baru. Ciri dan lingkup kegiatan organisasi-organisasi Islam yang baru ini sangat beragam dan luas. Akibatnya, wajah Islam di Indonesia menjadi semakin beragam dan kompleks, sehingga penggambaran yang hanya menekankan pada eksistensi, aktivitas, dan pemikiran Islam mainstream, modernis dan tradisionalis, tidak lagi memberikan pemahaman yang menyentuh dan utuh terhadap Islam di Indonesia.

Mengapa Moderasi Beragama?

Moderasi beragama bukanlah moderasi agama tetapi moderasi dalam beragama. Prinsip dari moderasi beragama bagi manusia adalah hidup adil, hidup ditengah-tengah, artinya hidup yang tidak berlebihan, tidak terlalu ke kiri dan tidak terlalu ke kanan. Salah satu argumen penting hadirnya moderasi beragama, khususnya di Indonesia, yaitu fakta masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural. 

Moderasi beragama adalah upaya menghindari kekerasan dalam kehidupan beragama. Karena secara bahasa moderasi artinya pengurangan ke ekstriman, penghindaran kekerasan. Oleh karena itu, kita tidak menyebutnya moderasi agama atau moderasi Islam, tetapi moderasi beragama. Karena faktanya, keberagamaan itulah yang melahirkan ekstrimisme, keberagamaan itulah yang melahirkan sikap-sikap yang begitu sangat ketat atau sangat longgar. Jadi moderasi beragama itu adalah upaya untuk mengajak mrereka yang ekstrim, baik itu yang terlalu ke kanan maupun terlalu ke kiri untuk berada di tengah. Sehingga keagamaan itu menjadi lebih toleran, lebih menghormati atau menghargai keberagaman. Kemudian tentu saja akan lebih harmonis. Karena disitu akan saling menghormati, saling menghargai, saling toleran. Jangan sampai dalam kehidupan keagamaan kita ini ada yang terlalu dominan, sehingga mengalahkan yang lainnya, Itu yang tidak diinginkan.

Moderasi merupakan sebuah istilah yang cukup akrab baik dikalangan internal umat Islam maupun eksternal non Muslim. Moderasi dipahami berbeda-beda oleh banyak orang tergantung siapa dan dalam konteks apa ia didekati dan dipahami. Dari pengertian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Moderasi Beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang mengambil posisi ditengah-tengah. Selain itu selalu bertindak adil seimbang. Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2. penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah.

Dari uraian definisi yang diungkap secara terminologi tersebut, makna moderasi sebagai pemahaman sikap terpuji yang dibangun dengan ajaran yang lurus, pertengahan tidak kurang dan tidak lebihan dalam berfikir, bertindak, dan berperilaku sehingga menjadikan seseorang tidak ekstrim dalam menyikapi segala hal. Dalam konteks agama, moderasi dipahami oleh penganut dan pemeluk Islam dikenal dengan istilah Islam Wasatiyah atau Islam moderat yaitu Islam jalan tengah yang jauh dari kekerasan, cinta kedamaian, toleran, menjaga nilai luhur yang baik , menerima setiap perubahan dan pembaharuan demi kemaslahatan, menerima setiap fatwa karena kondisi geografis, sosial dan budaya. Sedangkan Moderasi Beragama berarti cara beragama jalan tengah, dengan moderasi beragama seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya dan orang yang mempraktekkannya disebut moderat.

Moderasi merupakan moral kebajikan yang selaras, tidak hanya untuk prilaku personal, tetapi juga untuk integritas dan citra diri masyarakat dan negara. Moderasi juga dihargai di semua agama dan peradaban. Moderasi adalah kebajikan yang bermanfaat bagi pengembangan keharmonisan dan keseimbangan sosial dalam hubungan antar manusia. Dalam hadis yang sangat populer juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Dalam artian dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitu pula dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab. Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.

Moderasi sudah lama sekali dikenal dan menjadi prinsip hidup dalam sejarah manusia. Bagi masyarakat Yunani, dalam mitologi Yunani kuno, prinsip moderasi sudah sangat dikenal dan dipahatkan pada patung Apollo di kuil Delphi dengan tulisan Medan Agan, yang berarti tidak berlebihan. Pahatan tulisan itu merupakan kata-kata Socrates, yaitu: “Gnothi Seauton kai meden agan", yang artinya "kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan". Kata gnothi seauton mengenal dirimu sendiri, berarti "Ketahuilah makhluk seperti apa dirimu sendiri, ingat keterbatasanmu, ingatlah kamu bukan dewa, kamu fana”. 

Prinsip moderasi saat itu sudah dipahami sebagai nilai untuk melakukan segala sesuatu secara proporsional, tidak berlebihan. Seorang yang moderat dalam hal makanan. misalnya, akan menyantap segala jenis makanan, tapi membatasi porsinya agar tidak menimbulkan penyakit. Moderasi juga dikenal dalam tradisi berbagai agama. Dalam tradisi semua agama, pasti selalu ada ajaran jalan tengah. Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal.

Dalam konteks Indonesia, sejarah moderasi beragama adalah sejarah panjang. Di mulai dari kaum modernis Indonesia yang melakukan gerakan melawan politik identitas melalui pengembalian piagam Jakarta dalam konsensus politik Indonesia. Islam Modernis atau Islam Moderat muncul di Indonesia seiring dengan munculnya gelombang pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19 Masehi. Organisasi yang paling menjadi simbol bagi gerakan pemikiran Islam ini, yakni Muhammadiyah, yang merupakan salah satu dari ormas Islam yang menerima dan mengembangkan ide-ide pembaruan tersebut. Gerakan pembaruan pemikiran ini berangkat dari bagaimana memposisikan diri dalam merespons problem modernitas.

Kaum modernis ini disebut juga kaum Moderat, kosa kata yang paling sering disalahpahami dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain. Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan. Padahal sejatinya adalah kebalikan dari itu semua.

Moderat adalah terminologi yang paling dekat dan menjadi pilar bagi moderasi beragama. Moderat dalam arti al-wasaṭh sebagai model berfikir dan berinteraksi secara seimbang di antara dua kondisi, sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam berakidah, beribadah dan beretika setidaknya bisa dilihat kesesuaiannya dengan pertimbangan-pertimbangan dalam berperilaku dalam etika Islam yang senantiasa mengacu pada maqasid al-syari‘ah dan memperhatikan ummahat al-fadail. Islam moderat atau moderasi Islam adalah satu diantara banyak terminologi yang muncul dalam dunia pemikiran Islam terutama dalam dua dasawarsa belakangan ini, bahkan dapat dikatakan bahwa moderasi Islam merupakan isu abad ini. Istilah ini muncul ditandai sebagai simbol dari munculnya pemahaman radikal dalam memahami dan mengeksekusi ajaran atau atau pesan-pesan agama.

Padanan dari gerakan kaum modernis ini adalah kaum neo modernis. Diseberang kaum modernis adalah kaum neo modernis. Gerakan kaum ini adalah gerakan pemikiran Islam progresif yang muncul dari modernisme Islam namun mencakup juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan ini memiliki empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran Al-Qurαn yang sistematis dan komprehensif; kedua, penggunaan metode hermeutika dan kritik historis; ketiga, melakukan pembedaan secara jelas antara normativitas Islam dan Historisitas Islam; dan, keempat, penggabungan unsur-unsur tradisinalisme dan modernisme Islam.

Dalam konteks kemajemukan masyarakat Indonesia, Abdul Mustaqim, Guru Besar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa “Diversity is reality, but harmony is necessity No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigating the foundation of the religions. Keragaman adalah sebuah realitas, tetapi keharmonisan adalah sebuah keharusan. Tidak ada perdamaian bangsa-bangsa, tanpa perdamaian diantara agama-agama. Tidak ada perdamaian agama-agama, tanpa ada dialog antara agama-agama. Tidak ada dialog antara agama-agama, tanpa keberanian untuk meneliti tentang fondasi dasar agama-agama tersebut".

Fondasi yang disebutkan ini adalah masa depan Indonesia dan sekaligus masa depan dunia. Ini sekaligus juga menandakan bahwa moderasi beragama merupakan keharusan sejarah, keharusan ideologi, keharusan pandangan bangsa, karena moderasi beragama merupakan kunci keharmonisan, jalan perdamaian, dan titik temu semua agama, sehingga semua agama hidup dalam dialog damai dan harmonis serta yang paling penting, moderasi beragama merupakan nyawa bagi panjang umurnya Bangsa Indonesia. [**]

Penulis: T. Muhammad Jafar Sulaiman, S.HI., MA. (PhiloSufi Institute)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda