Sabtu, 14 Juni 2025
Beranda / Opini / Merajut Perdamaian Aceh yang Berkelanjutan di Tengah Bayangan Masa Lalu

Merajut Perdamaian Aceh yang Berkelanjutan di Tengah Bayangan Masa Lalu

Rabu, 11 Juni 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Yuwanda Hamidah

Yuwanda Hamidah, mahasiwa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, telah melewati fase tergelap dalam sejarahnya. Pasca-tsunami dahsyat pada tahun 2004, sebuah babak baru perdamaian muncul dari tragedi. Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 2005, yang ditandatangani antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, mengakhiri konflik bersenjata yang berlangsung hampir tiga dekade. Namun, setelah hampir dua puluh tahun, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah perdamaian ini telah mengakar kuat, ataukah masih rapuh, menari di atas sisa-sisa konflik yang belum sepenuhnya reda?

Dari Penderitaan Menuju Harapan: Perjalanan Damai Aceh

Konflik di Aceh bukan sekadar perebutan kekuasaan; ia adalah trauma kolektif yang meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Aceh. Ribuan nyawa melayang, anak-anak menjadi yatim piatu, perempuan menjadi janda, dan desa-desa rata dengan tanah menjadi saksi bisu kekejaman. Ironisnya, kedatangan tsunami membuka jalan bagi dialog. Bencana alam yang maha dahsyat ini mendorong kedua belah pihak untuk mengutamakan kemanusiaan di atas ideologi, mencari titik temu demi kelangsungan hidup.

MoU Helsinki menjadi tonggak sejarah yang krusial. Perjanjian ini mengakomodasi tuntutan otonomi khusus bagi Aceh, memungkinkan pembentukan partai lokal, dan mengintegrasikan mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadi landasan hukum bagi implementasi perjanjian tersebut. Aceh kini memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengatur urusan internalnya, termasuk di bidang ekonomi, pendidikan, dan syariat Islam. Ini merupakan langkah maju yang signifikan, sebuah pengakuan atas kekhususan Aceh dan upaya untuk membangun kembali kepercayaan yang telah terkoyak.

Hambatan Pasca-Konflik: Implementasi dan Rekonsiliasi

Meskipun fondasi perdamaian telah diletakkan, perjalanan rekonsiliasi Aceh tidaklah mulus. Implementasi UUPA masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu isu krusial adalah qanun (peraturan daerah) terkait agraria. Sengketa tanah di Aceh masih sering terjadi, melibatkan perselisihan antara masyarakat adat, korporasi, dan individu. Banyak mantan kombatan GAM, yang dijanjikan lahan sebagai bagian dari reintegrasi, belum mendapatkan haknya secara adil. Kondisi ini berpotensi memicu ketegangan baru dan mengancam stabilitas perdamaian yang telah tercapai.

Sebagai contoh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mencatat adanya laporan pengaduan terkait perampasan tanah dan kesulitan akses lahan bagi masyarakat lokal, terutama di wilayah yang kaya sumber daya alam. Ketidakadilan dalam distribusi lahan dapat kembali memicu rasa ketidakpuasan dan merusak upaya rekonsiliasi.

Selain itu, keberadaan KKR Aceh, meskipun telah dibentuk, masih menghadapi kendala serius. KKR bertugas mengungkap kebenaran di balik pelanggaran HAM masa lalu dan memfasilitasi rekonsiliasi. Namun, prosesnya berjalan lambat akibat kurangnya dukungan politik, anggaran, dan keterbatasan data. Banyak korban dan keluarga korban masih menanti keadilan dan pengakuan atas penderitaan mereka. Tanpa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, penyembuhan luka emosional masyarakat akan sulit tercapai sepenuhnya. Rekonsiliasi sejati memerlukan pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban.

Mendorong Ekonomi Inklusif: Fondasi Stabilitas Jangka Panjang

Salah satu pilar utama untuk menjaga perdamaian di Aceh adalah pembangunan ekonomi yang inklusif. Tingginya angka pengangguran, terutama di kalangan pemuda dan mantan kombatan, berpotensi menjadi masalah. Data BPS Aceh menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka masih menjadi perhatian, terutama di beberapa kabupaten/kota. Ketika peluang ekonomi terbatas, masyarakat lebih rentan terhadap pengaruh negatif dan godaan untuk kembali ke jalur kekerasan.

Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat telah mengalokasikan dana otonomi khusus yang besar untuk pembangunan. Namun, efektivitas penggunaannya perlu dievaluasi secara berkala. Proyek-proyek pembangunan harus mampu menciptakan lapangan kerja, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Investasi di sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata “ sektor-sektor yang memiliki potensi besar di Aceh “ perlu dipercepat dan didukung dengan kebijakan yang pro-rakyat.

Sebagai contoh, banyak program pelatihan keterampilan bagi mantan kombatan telah dilaksanakan, namun efektivitasnya dalam menghubungkan mereka dengan pasar kerja masih perlu ditingkatkan. Banyak dari mereka yang akhirnya kembali ke sektor informal atau kesulitan mencari pekerjaan yang layak. Program pemberdayaan ekonomi perlu lebih terfokus pada kebutuhan spesifik masyarakat dan didukung oleh pendampingan berkelanjutan.

Peran Partai Lokal dan Demokrasi: Menjaga Semangat Demokrasi di Aceh

Keberadaan partai lokal di Aceh, yang dijamin oleh MoU Helsinki dan UUPA, merupakan salah satu elemen unik dari perdamaian Aceh. Partai-partai ini seharusnya menjadi saluran aspirasi politik rakyat Aceh. Namun, dinamika politik Aceh masih diwarnai intrik dan persaingan yang terkadang kurang sehat. Pembentukan dan fragmentasi partai-partai lokal, serta polarisasi politik yang terkadang berlebihan, dapat menghambat konsolidasi demokrasi.

Penting bagi partai-partai lokal untuk tidak terjebak dalam kepentingan sempit dan benar-benar fokus pada kesejahteraan rakyat. Pendidikan politik bagi masyarakat juga krusial agar mereka dapat memilih pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab. Konflik internal di beberapa partai lokal atau munculnya isu-isu yang memecah belah masyarakat harus dihindari demi menjaga stabilitas politik Aceh.

Masa Depan Aceh: Menuju Rekonsiliasi Sejati dan Perdamaian Abadi

Aceh saat ini adalah gambaran masyarakat yang berusaha bangkit dari puing-puing perang dan tragedi. Perdamaian yang ada saat ini adalah hasil dari kompromi, pengorbanan, dan kemauan politik yang kuat dari semua pihak. Namun, perdamaian ini tidak akan lestari jika tidak diiringi dengan rekonsiliasi sejati dan pembangunan yang adil.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan implementasi penuh MoU Helsinki dan UUPA, terutama terkait isu agraria dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. KKR Aceh harus didukung penuh agar dapat bekerja secara efektif. Masyarakat sipil, akademisi, dan media juga berperan penting dalam mengawal proses ini, menyuarakan aspirasi rakyat, dan mengawasi jalannya pemerintahan.

Mantan kombatan dan korban konflik harus terus diberdayakan dan diintegrasikan secara penuh ke dalam masyarakat. Program reintegrasi harus lebih komprehensif dan berkelanjutan, tidak hanya berfokus pada bantuan materi, tetapi juga pada pemulihan psikologis dan sosial.

Aceh telah menunjukkan kepada dunia bahwa perdamaian adalah mungkin, bahkan di tengah keputusasaan yang mendalam. Namun, tugas belum usai. Untuk memastikan bahwa perdamaian ini tidak lagi “rapuh,” tetapi menjadi “kokoh dan abadi,” semua pihak harus terus bekerja sama, saling percaya, dan menempatkan kepentingan rakyat Aceh di atas segalanya. Hanya dengan begitu, Serambi Mekkah ini akan benar-benar menjadi mercusuar perdamaian dan kemakmuran, membangun rekonsiliasi yang sejati di atas abu perang, mengubah luka menjadi kekuatan, dan menjadikan Aceh sebagai contoh nyata bagi penyelesaian konflik di seluruh dunia.

Perdamaian di Aceh merupakan sebuah pencapaian monumental, lahir dari kompromi dan kemauan politik yang kuat setelah konflik dan tragedi besar. Namun, seperti yang telah dibahas, kedamaian ini masih menghadapi tantangan serius dalam implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), penyelesaian isu-isu agraria, dan penuntasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Pembangunan ekonomi inklusif dan dinamika politik partai lokal juga memerlukan perhatian serius untuk memastikan stabilitas jangka panjang.

Meskipun fondasi damai telah ada, perjalanan menuju rekonsiliasi sejati dan perdamaian berkelanjutan masih panjang. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan implementasi penuh dari semua kesepakatan dan janji perdamaian. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh harus didukung penuh agar dapat bekerja secara efektif. Selain itu, pemberdayaan mantan kombatan dan korban konflik, serta pembangunan ekonomi yang adil dan merata, adalah kunci untuk mencegah kembalinya ketegangan.

Aceh telah membuktikan bahwa perdamaian dapat terwujud bahkan setelah masa-masa paling kelam. Namun, untuk memastikan bahwa perdamaian ini menjadi kokoh dan abadi, diperlukan komitmen berkelanjutan dari semua pihak. Dengan kerja sama, kepercayaan, dan fokus pada kepentingan rakyat Aceh di atas segalanya, Serambi Mekkah ini akan menjadi mercusuar perdamaian dan kemakmuran, mengubah luka menjadi kekuatan, dan menjadi contoh nyata bagi penyelesaian konflik di seluruh dunia. [**]

Penulis: Yuwanda Hamidah (Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI