Beranda / Opini / Menguak Klaim Bustami Didukung Jokowi

Menguak Klaim Bustami Didukung Jokowi

Minggu, 11 Agustus 2024 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aryos Nivada

Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub). Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Kemarin (10/08/2024), saya bertolak dari Jakarta menuju Aceh. Dalam penerbangan pulang kampung itu saya satu pesawat dengan Pj Gubernur Aceh, Bustami Hamzah. Bersama beliau saya melihat ada Humam Hamid, Aulia Rahman dan Iskandar Zulkarnain. 

Humam Hamid yang lebih dikenal sebagai cendikia kini terlihat aktif sebagai mentor politik. Suatu ketika beliau terlihat bersama Muzakir Manaf saat bertemu Hercules. Dan, hari ini saya melihat beliau bersama Bustami Hamzah. Barangkali beliau bagian dari usaha politik untuk mendapat surat tupe dari NasDem. 

Sedangkan Aulia Rahman adalah Ketua DPD KNPI Aceh yang secara terang-terangan mendukung langkah Bustami maju sebagai calon gubernur Aceh. Padahal, semua orang tahu, Bustami sedang ditugaskan sebagai Pj Gubernur Aceh

Sedangkan Iskandar Zulkarnain adalah Kepala BPKS yang dipilih dan dilantik Bustami Hamzah di Meuligoe Gubernur Aceh pada Mei 2024. Sosok yang secara akademis lebih dekat dengan ilmu politik adalah menantu Waled Nu. Beliau lahir di Samalanga yang adalah kampungnya Humam Hamid. 

Di salah satu warung yang ramai dikunjungi orang Aceh dan pejabat kunci yang terletak di Sabang, Jakarta berhembus kabar bahwa Bustami Hamzah adalah sosok bakal calon yang direstui oleh Jokowi. Bahkan, dikabarkan Jokowilah yang meminta Bustami untuk bersedia menjadi calon gubernur Aceh. 

Diceritakan, awalnya Bustami tidak bersedia. Dia merasa sadar diri dan lagi pula tidak memiliki partai. Tapi, ketika diyakinkan itu semua akan diurus oleh Jokowi barulah Bustami bersedia. Dukungan NasDem terhadap Bustami disebut bagian dari usaha Surya Paloh untuk kembali kepada Jokowi setelah sempat menjauh di masa Pilpres. 

Lebih menarik lagi disampaikan bahwa dukungan Prabowo kepada Mualem hanya sebatas cek kosong belaka. Prabowo disebut tidak akan menghalangi cawe-cawe Jokowi untuk Aceh. Kabar yang disampaikan bahwa cawe-cawe Jokowi untuk Aceh karena Jokowi ingin berbuat untuk Aceh. Dia ingin harapannya untuk membangun Aceh dapat terwujud melalui Bustami. 

Adanya pertemuan besar tokoh-tokoh Aceh di Jakarta yang dihadiri oleh Bustami juga disebut sebagai konsolidasi yang disetujui oleh Jokowi sebagai bagian dari ikhtiar politik Jokowi untuk bisa berbuat untuk kampung keduanya, Aceh. 

Bagi saya, semua itu tidak lebih sebatas politik klaim untuk meraih dukungan semata. Ini saya sebut sebatas pendekatan politik menggunakan ilmu sosiologi karena karakter politik Aceh akrab dengan politik peunutoh. 

Dulu, masyarakat Aceh sempat akrab dengan sebutan 'peunutoh wali'. Padahal, itu semata usaha untuk merebut dukungan politik. Sama sekali bukan arahan apalagi perintah yang disertai dengan mengerahkan segala kekuatan untuk mewujudkan peunutoh yang ada. 

Pada saat pemilihan gubernur masih melalui DPRD, juga kerap dikenal “surat tupe” yaitu surat dukungan yang mereka peroleh dari tokoh politik atau ketua partai untuk mempengaruhi anggota dewan agar bersedia memilih dirinya. Ujung-ujungnya malah terjadi “surak tupe” sebagaimana pernah ditulis oleh sosiolog Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, yang kerap berbeda pandangan dengan Humam Hamid di lingkungan organisasi non pemerintahan. 

Klaim dikehendaki dan didukung Jokowi semakin tidak masuk akal mengingat Jokowi akan segera berakhir masa tugasnya pada 20 Oktober 2024. Sedangkan hari pemungutan suara Pilkada jatuh pada 27 November 2024. Dengan begitu, masih masuk akal bila Prabowolah yang menginginkan kawan sekutu politiknya menang di Aceh. 

Tapi, politik klaim itu justru tidak berkembang di Aceh. Dukungan poltik dari Gerindra dan Demokrat lebih dilihat sebagai kawan koalisi untuk membangun Aceh bila sukses merebut dukungan rakyat di Pilkada 2024

Jadi, ada kesan bahwa usai gagal menyatukan Bustami dengan Mualem melaui dukungan Prabowo gerilya politik mentor politik berkerja untuk meraih tiket dari partai lain dengan membangun dongeng politik klaim. 

Padahal, sama-sama diketahui ada pantangan politik di Aceh yaitu menolak calon yang diklaim akan dibantu kemenangannya oleh kekuatan Pusat. Masyarakat Aceh akan memperlakukan pantangan politiknya dengan tingkah politik 'peukalah calon' yang diklaim didukung Pusat. 

Bukan tanpa contoh kasus. Pada Pilkada 2012 sempat jadi perbincangan bahwa Darni Daud didukung pusat. Begitu juga pada Pilkada 2017, dimana berkembang kabar bahwa Pusat mendukung Tarmizi Karim. Apa yang terjadi? Yang dipilih masyarakat justru calon yang berani tampil berani tampil percaya diri tanpa membawa-bawa klaim dukungan Pusat. []

Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub).

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda