Mengistimewakan Pendidikan Aceh
Font: Ukuran: - +
Iskandar Muda, Kolumnis Gayo Lues. [Foto: for Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Opini - Segar dalam ingatan kita, loncatan pendidikan Aceh yang membanggakan, terobosan masuk ke Perguruan Tinggi. Tracknya menuju “keistimewaan” pendidikan. Terima kasih sewajarnya disampaikan kepada pemerintah Aceh dan Dinas Pendidikan.
Lantas apakah kita berpuas diri? “Tidak ada kata puas dalam berkarya, karena dunia terus berubah setiap waktu”, kata Alhudri, kadis Pendidikan Aceh dalam suatu kesempatan. “Harus terus bekerja dan bekerja, untuk menyelamatkan anak-cucu” lanjutnya.
Aceh menyebutkan diri istimewa dalam bidang pendidikan? 20 tahun telah dikucurkan minimal 20% dana APBN dan Otsus; Apakah pencapaian pendidikan telah lebih baik dari Yogyakarta, Jakarta, Sumatera Utara, Bali misalnya?
Fakta hari ini, penulis menemukan banyak sekolah negeri menurun jumlah penerimaan siswanya; Salah satu SMA hanya menerima 8 siswa baru, tak sampai 1 Rombongan Belajar (Rombel), yang minimal 20 orang! Banyaknya “hijrah” ke sekolah swasta, pesantren dan bahkan ada yang ke luar provinsi Aceh, menimbulakan tanda Tanya, mengapa?
Untuk membesarkan sekolah, salah satu indicatornya adalah jumlah siswa! Semakin banyak, berkorelasi terhadap penerimaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Siswa yang sedikit, menyebabkan sekolah “kolaps”, tak mungkin menjalankan program semestinya.
Tanggung jawab utama pemerintah daerah adalah “membesarkan” sekolah negeri. Selain APBN, Aceh mendapatkan juga dana otsus, porsi keduanya paling sedikit 20%! Sangat penting diperhatikan bagaimana mengatasi penurunan siswa ini. Bila tidak, sekolah akan krisis anggaran, suatu ketika bankrupt, sekolah tutup.
Aset sekolah negeri, bukan sedikit, bro! Ambil contoh guru SMA/SMK. Tidak kurang PNS mencapai 20 orang per sekolah. Bila gaji rata-rata 4 juta, berarti 80 juta/bulan dan hampir 1 Milyar per tahun! Belum termasuk asset bangunan, tanah, dana BOS dll. Sangat rugi, tidak termanfaatkan!
Belajar dari Malaysia
Layak menjadi perhatian kita pendidikan di Malaysia. Pilosofi yang dibangun; “sekolah adalah “tempat suci” mencetak warga Malaysia; harus steril dari kepentingan apapun”. Dijaga, agar tidak tercemar “hal buruk dari luar sekolah” seperti karakter buruk, kebiasaan buruk, kata-kata buruk, bullying dsb.
Politisasi di wilayah ini tidak terjadi disana. Lembaga tak berkepentingan, “dilarang” masuk tanpa izin dari yang departemen/kementerian!
Sekolah focus pada proses pendidikan dan hasilnya! Kepala Sekolah yang sudah professional, sangat jarang diganti! Teo Bon Hwa, Kepala SMK Damansara Jaya, Selangor telah 20 tahun menjadi pengetua (kepala sekolah)! Karakter hebat pada dirinya, dijadikan model bagi warga sekolah. Hampir sama dengan pengetua lainnya.
Sekolah umumnya berasrama (boarding School), menggabungkan SLTP dan SLTA dalam satu lokasi. Luas sekolah sangat memadai. Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Seksyen 18 Sultan Abdul Somad (SAS) mencapai 28 hektar! Jumlah satuan pendidikan tidak terlalu banyak setiap distrik (kabupaten), asrama digunakan untuk menampung siswa berasal dari daerah jauh maupun dekat. Jumlah sekolah yang sedikit menyebabkan murid terkosentrasi pada satuan pendidikan yang tersedia, peserta didik mencapai ribuan dalam satu sekolah! Keadaan tersebut berdampak pada konsentrasi pendanaan yang efektif, pelaksanaan kokurikulum (eskul) dengan berbagai jenis, lebih mudah terlaksana.
Anggaran pendidikan berasal dari pemerintah dan PIBG (komite sekolah). Pemerintah Malaysia memberi gaji kepala sekolah (pengetua, Malaysia) paling rendah RM 10.000,- (34 juta/bulan), guru golongan terendah (DGA 29) RM 4.941 (sekitar 17 juta/bulan). Aktifitas sekolah sampai sore, bahkan malam!
Ektrakurikuler merupakan kegiatan andalan sekolah selain literasi. Merupakan lanjutan kegiatan yang ada di kelas. Yaitu untuk mengembangkan bakat, minat dan perilaku siswa. Terlihat, siswa umumnya sangat antusias, karena pengembangan dirinya sesuai kebutuhan. Bahkan dihari liburpun, masih banyak siswa ingin di sekolah!
Gambar Pojok sekolah dipenuhi taman dan literasi sepanjang lorong sekolahBanyak cabang kegiatan ekstrakurikuler berlangsung rutin dan berkualitas, seperti Bola kaki, Bulu Tangkis, Takraw, Karya Ilmiah, Kesenian dengan berbagai cabang serta kegiatan keagamaan. Jenis kegiatan eskul tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari departemen pendidikan setempat (Dinas Pendidikan) dan komite sekolah (PIGB). Bila sudah menjadi program, maka sekolah harus melaksanakan!
Seluruh kegiatan ektrakurikuler dikelola oleh Tim Pengurusan dan Pentadbiran, merupakan manajemen yang dianggap paling penting di sekolah.
Adakah SMA atau SMK di Aceh, dengan beragam kegiatan bermutu, membina/menumbuhkan bakat/minat siswa? Apakah orientasi pendidikan Aceh masih semata masuk ke PTN? Bukankah istimewa bila setiap peserta didik dapat tumbuh berkembang sesuai kebutuhan, bakat minat dan bekerja setelahnya?
Gambar Lokasi Sekolah Menengah Kebangsaan di Kuala Lumpur, pada umumnya luas dan berasrama.Apa sebaiknya yang harus dilakukan?
Disarankan Pemerintah Aceh dan dinas pendidikan menjadilkan sekolah berasrama 100%! Jumlah sekolah sebaiknya tidak terlalu banyak, misalnya 2-3 kecamatan cukup 1 SMA. Namun luas sekolah, fasilitas dan kesejahteraan memadai.
Senada dengan itu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), juga tak perlu terlalu banyak, cukup 2-5 setiap kabupaten/kota. Orientasi lulusan adalah memastikan ketarampilan dan bekerja setelah tamat!
Bayangkan bila 23 Kabupaten/kota tersedia pendidikan berkualitas “istimewa”, berasarama, kegiatan pengembangan diri (eskul) memadai dan dapat memenuhi kebutuhan siswa, ada pengembangan bakat dan minat secara profesional. Masih adakah siswa hijrah ke tempat lain? Masih adakah sekolah kekurangan murid?
Penulis yakin, peserta didik tidak mungkin lagi “hengkang”, bahkan dari provinsi lain atau negara lain, “mungkin” akan sekolah ke Aceh, tak peduli seberapa besar biayanya selama didapatkan apa yang dibutuhkan! Bagaimana menurutmu, bro? (Iskandar Muda, Kolumnis Gayo Lues)