Senin, 17 November 2025
Beranda / Opini / Mengapa Kita Butuh Pahlawan?

Mengapa Kita Butuh Pahlawan?

Minggu, 16 November 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Akhsanul Khalis

Akhsanul Khalis. [Foto: dokpri]


DIALEKSIS.COM | Opini - Keputusan itu mengejutkan sekaligus ironis. Dua dekade lebih setelah Orde Baru tumbang, Soeharto figur yang pernah menjadi simbol kekuasaan represi kini kembali dalam bentuk penghormatan negara. Publik pun terbelah: antara mereka yang masih menyimpan trauma, ketidakadilan dan mereka yang memuja romantisme stabilitas masa lalu. 

Namun di luar pro dan kontra itu, keputusan ini memperlihatkan satu hal yang lebih dalam, apa arti pentingnya pahlawan bagi satu bangsa dan negara, yang kerap hadir menyisakan kontradiksi. Bagi sebagian pihak, dianggap sebagai tokoh bangsa, bagi pihak lain adalah musuh.

Yang Lain

Kembalinya Soeharto dalam bentuk pahlawan, glorifikasi itu tidak semata politik, perbaikan citra untuk melanjutkan ide-ide politiknya lewat kepemimpinan saat ini. Glorifikasi juga berakar pada sentuhan kultural yang menempatkan pemimpin sebagai ratu adil, penjelmaan ketertiban kosmik. Dalam imajinasi itu, penguasa adalah ayah, rakyat adalah anak. Ketika seorang raja salah, rakyat menanggung, bukan mengoreksi. Dalam simbolisme seperti itu, Soeharto tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya beralih wujud, dari penguasa politik menjadi figur “spiritual”.

Simbol kosmologi tentang pemimpin, kembali membuka memori perjalanan saya keliling Jawa. Ketika itu momen saya pertama menyentuh tanah Jawa. Kami mahasiswa Aceh, tak sengaja berziarah ke makam Soeharto di Astana Giribangun, Karanganyar Jawa Tengah. Perjalanan itu bermula dari niat sederhana. Kami, beberapa mahasiswa Aceh yang sedang bersiap melanjutkan S2 di UGM, memutuskan berlibur sejenak ke Kediri tepatnya Pare. Dari Yogyakarta kami menempuh jalur tengah, melewati perbukitan yang sejuk dan berkelok di kaki Gunung Lawu. Di tengah perjalanan, tanpa rencana, mobil kami berhenti di sebuah kompleks pemakaman di Karanganyar. Astana Giribangun, begitu tertulis di gerbangnya.

Sore itu udara dingin dan lembab. Kabut turun perlahan, menutup pucuk pinus. Kami pelan-pelan masuk ke dalam pendopo, area serambi depan langsung disambut dengan sejumlah makam kuno para ningrat Mataram, lebih ke dalam lagi berdiri deretan nisan besar pola terukir, berlapis keramik mengkilap, bagian arah paling kanan, terletak makam presiden kedua Indonesia: Jenderal, H. M. Soeharto. Menariknya, sampai disitu kami ditemani oleh beberapa rombongan peziarah yang terlebih dulu masuk dan sedang duduk bersila, melantunkan tahlil, saya menyaksikan orang berziarah dengan tulus, seperti berdoa di pusara wali; orang suci.

Pembacaan tahlil itu membuat saya tertegun. Hening tiba-tiba turun, seperti jeda yang memaksa saya mendengar suara sendiri. Mungkin ada semacam shock culture di sana. Dalam hati berbisik, bagi orang Aceh, citra politik Soeharto selalu membawa gema ketakutan; meninggalkan jejak kelam lewat operasi Jaring Merah. Selain itu, di Aceh, ziarah biasanya tertuju pada makam ulama atau pejuang syahid melawan Belanda, dibandingkan pada makam orang biasa, apalagi mantan pejabat atau penguasa. Waktu itu, saya berdiri di hadapan makam Soeharto, dengan segala kontroversinya, saya sadar, mencoba berdamai, menziarahinya bukanlah hal terlarang, tetap menyisakan ruang untuk kebaikan dan pahala.

Lanjut, pada hari itu matahari mulai tenggelam, malam pun tiba, kami masih mencari tempat destinasi lain, Cemoro Kandang, pintu masuk pendakian Gunung Lawu. Kami menghabiskan waktu sampai larut malam bercerita banyak hal dengan juru kunci pintu Lawu. Dalam perjalanan menuju Jawa Timur, jam menunjukkan waktu shalat subuh. Entah bagaimana kami tiba-tiba singgah di sebuah pesantren di Jombang. Ketika mau memasuki pintu pagar komplek pesantren, kami baru tahu itu Pesantren Tebu Ireng.

Waktu subuh, udara dingin, masjidnya ramai dipenuhi santri. Setelah shalat subuh, kami berjalan ke halaman depan masjid, terletak komplek makam para kiai dimakamkan. Di sana, di antara nisan sederhana tanpa marmer, gundukan tanah, terbaring KH Abdurrahman Wahid akrab dipanggil Gus Dur, kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, beserta anggota keluarga lainnya.

Saya berdoa di sana agak lebih lama. Mungkin karena suasana kebatinan disebabkan kultur keagamaan Aceh dan NU dalam banyak hal sama. Gus Dur bukan sekadar presiden, intelektual, tokoh toleransi, ulama, tapi bagi Aceh, Gus Dur manusia yang memberi harapan untuk menyelesaikan konflik berdarah-darah dengan kesepakatan jeda kemanusiaan, walaupun itu berlaku sementara, Gus Dur lengser. Dalam sekejap, Aceh justru jatuh dalam kubangan darah dengan diberlakukan darurat militer skala besar, mungkin setara invasi militer Indonesia ke Timor Leste.

Bagi saya, orang Aceh, ini memberikan refleksi pemahaman antara dua sosok: Soeharto dan Gus Dur. Kini, mereka berdua sama-sama telah dianugerahkan gelar pahlawan. Saya melihat dua wajah tentang bagaimana bangsa ini memahami “pahlawan”. Dari sosok keduanya kita mengerti, inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai kapital simbolik, bentuk legitimasi yang lahir bukan dari semata-mata karena pengakuan hukum, tapi dari pengakuan sosial. Pahlawan kadang diciptakan oleh ingatan dan keyakinan kultural.

Asal-usul pahlawan yang kemudian dicitrakan lewat ritus, bukan karena “jasa” bagi bangsa dan rakyatnya, tetapi berakar pada kekosongan dalam diri manusia. Dengan kacamata psikoanalisis Lacan, manusia sejak awal adalah makhluk yang kehilangan sesuatu, memasuki dunia sebagai subjek yang terbelah. Pada tahap cermin (mirror stage), bayi melihat bayangan dirinya yang tampak utuh, meski dalam kenyataan ia masih rapuh dan bergantung. Kira-kira begitulah prinsip Jacques Lacan yang terkenal: desire is the desire of the Other.

Keinginan tidak lahir dari kebutuhan sejati, melainkan dari kekurangan yang dibentuk oleh Yang Lain”bahasa, budaya, norma, dan seluruh tatanan simbolik. Kita mengejar cinta, prestasi, atau status bukan karena itu benar-benar kita perlukan, tetapi karena kita ingin menjadi sesuatu di mata orang lain, menutup lubang kosong yang tak pernah benar-benar hilang (lack).

Karena kekosongan itu, manusia selalu membutuhkan sesuatu untuk disembah: pahlawan, nabi, orang suci, atau pemimpi. Sehingga sejarah dipenuhi nama yang disucikan, dari Alexander Agung hingga Che Guevara, dari para wali hingga wajah pemimpin yang menghiasi kantor negara.

Hasil konflik kelas

Selain perspektif psikoanalisis, yang bertumpu pada keyakinan alam bawah sadar manusia. Melihat pahlawan itu dalam logika Marxis, pahlawan bukan sekadar sosok, melainkan konstruksi ideologis. Ia lahir dari kebutuhan sistem untuk menjaga tatanan kekuasaan. di balik semua penghormatan itu, tersembunyi bentuk terdalam dari keterasingan.

Karl Marx, dalam The German Ideology, menulis bahwa manusia sering kali memproyeksikan kekuatannya sendiri ke luar dirinya, lalu tunduk kepada hasil proyeksi itu. Di zaman feodal, proyeksi itu bernama raja dan pemuka agama. Di zaman kapitalis, ia menjelma menjadi negara, pasar, pemilik modal. Kita mengalienasi daya cipta dan keberanian kita sendiri, lalu menamainya “pahlawan”.

Dari situlah lahir mitos perjuangan dianggap bukan karya kolektif, melainkan kehendak satu jiwa agung. Dalam istilah Gramsci, hegemoni kultural bekerja dengan cara menundukkan kesadaran melalui citra yang dikagumi. Kultus pahlawan, pada akhirnya, adalah mekanisme menjaga status quo, kelas dominan. Ia menanamkan keyakinan bahwa perubahan bergantung pada figur tunggal, bukan pada tindakan bersama.

Absurditas Pahlawan

Kultus semacam ini kerap berubah menjadi absurditas. Di Belanda, Van Heutsz, gubernur militer yang dulu diagungkan sebagai “penakluk Aceh” kini justru menjadi simbol rasa malu; patung dan prasastinya dibongkar karena generasi baru sadar bahwa kejayaan itu dibangun di atas darah kolonialisme. Di Turkmenistan, patung emas Saparmurat Niyazov tetap berdiri kaku, menjadi monumen narsisme negara. Di Korea Utara, Kim Il Sung dipuja dengan disiplin yang nyaris menyerupai ritual agama.

Kembali ke abad pertengahan, Genghis Khan, penakluk bengis yang membangun kekaisaran lewat perang tanpa ampun, kini dihormati sebagai bapak bangsa Mongolia. Dalam buku Selimut Debu, Agustinus Wibowo dengan epic. mengisahkan sosok Babur, pendiri Dinasti Mughal, bermula dari pelariannya ke tanah cadas Afghanistan Tengah, kemudian dipandang sebagai penyerbu Kesultanan Delhi, India. Di tanah kelahirannya, Samarkand, kini Ia disanjung sebagai pahlawan.

Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela kerap dipandang sebagai simbol kemenangan moral atas penindasan. Gandhi mengusir kolonialisme Inggris, Mandela meruntuhkan apartheid. Namun sejarah selalu menyisakan kontradiksi. Gandhi tak mampu menghapus kasta yang menjerat bangsanya selama berabad-abad, dan Mandela mewarisi ketimpangan ekonomi yang tak hilang hanya dengan tumbangnya rezim rasis.

Di titik inilah kultus pahlawan bekerja, bukan sebagai penghormatan, tetapi sebagai mekanisme ketika masyarakat berhenti berpikir dan mulai mempercayai kekuasaan lebih daripada akalnya sendiri.

Di masyarakat kapitalis modern, bentuk pahlawannya berganti. Generasi digital mungkin tidak terpikat pada epos pahlawan era klasik, tetapi mereka punya ikon baru. Selebritas, influencer, pesepak bola seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, hingga para konglomerat yang dipuja seperti Elon Musk, Steve Jobs, dan Jack Ma. Mereka bukan pembebas ketertindasan, seperti kisah Daud melawan Goliat, melainkan model “manusia ideal” versi pasar: produktif, sukses, dan tampak bahagia. Mitos pahlawan hari ini bukan lagi manusia, tetapi konstruksi algoritma. [**]

Penulis: Akhsanul Khalis (Dosen & Esais)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI