kip lhok
Beranda / Opini / Mendudukkan Pemikiran Perihal Stiker BBM Pemerintah Aceh

Mendudukkan Pemikiran Perihal Stiker BBM Pemerintah Aceh

Selasa, 25 Agustus 2020 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Pemerintah Aceh sebagai pemegang otoritas tertinggi kepemerintahan di Aceh memiliki hak mengatur dan menata perekonomian masyarakat Aceh, termasuk menata premium dan solar bersubsidi agar tersalurkan tepat sasaran. Namun, Pemerintah Aceh hendaknya menggunakan cara-cara yang elegan dalam mengatur dan menata ketersaluran premium tersebut.

Sekarang sudah heboh soal stiker yang disebut banyak orang telah melukai perasaan sebagian besar rakyat Aceh. Jika memang stiker dianggap dapat menjadi indikator para pemakai premium dan solar, mestinya Pemerintah Aceh menggunakan kata-kata yang lebih halus dan tidak menyinggung perasaan masyarakat luas. 

Ungkapan KENDARAAN PENGGUNA PREMIUM BUKAN UNTUK MASYARAKAT YANG PURA-PURA TIDAK MAMPU merupakan pilihan kata yang terkesan arogan, marah, dan diktator. 

Jika kalimat itu diucapkan oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain, masih wajar. Bahkan, lebih kasar daripada kalimat itu pun wajar. Akan tetapi, ungkapan ini menjadi tidak wajar karena keluar dari Pemerintah Aceh. Secara tidak langsung, kalimat itu berarti diucapkan oleh Plt. Gubernur Aceh, Sekda, dan Kepala BPH Migas Aceh.

Kita tahu bahwa stiker itu sebagai antisipasi agar orang kaya tidak lagi ikut antre premium atau solar bersubsidi. Nah, jika tujuannya ini, stiker biasa sebagai penanda kendaraan penggunakan bahan bakar bersubsidi sudah cukup. 

Katakanlah ada sebuah stiker, ukuran standar saja, tak usah besar-besar seperti orang sedang marah, pada stiker itu cukup ditulis semisal KENDARAAN PENGGUNA PREMIUM BERSUBSIDI; KENDARAAN PEMAKAI SOLAR BERSUBSIDI. Sebenarnya, stiker dengan kata-kata seperti ini saja sudah cukup membuat malu orang yang tidak pantas memakai premium dan solar. 

Tidak perlu harus dengan kata-kata seperti orang marah. Meskipun marah kepada orang kaya yang suka antre premium dan solar bersubsidi, semestinya kemarahan seorang birokrat harus mampu disampaikan dengan bahasa yang menyentuh hati, bukan melukai hati.

Aneh saat Pemerintah Aceh marah pada penimbun BBM, tapi masyarakat luas yang jadi sasaran. Masyarakat luas yang harus mendapatkan stiker dengan kata-kata KENDARAAN PENGGUNA SOLAR SUBSIDI BUKAN UNTUK PENIMBUN JAHAT. 

Memangnya penimbun solar itu masyarakat Aceh seluruhnya sehingga kendaraan pribadi mereka harus ditempel stiker begitu?. Saya dukung agar pengguna premium dan solar subsidi ditertibkan, tapi sebaiknya dengan cara-cara yang elegan dan humanis. Jangan sampai ada nilai rasa mengandung kebencian. 

Perlu diingat, dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) ada penjelasan tentang penempelan stiker pada kendaraan pribadi. Tidak boleh sembarangan main tempel stiker pada kendaraan pribadi orang. Salah satu penjelasan di sana adalah larangan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum dengan maksud supaya diketahui oleh umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap (misalnya) golongan rakyat Indonesia, dan seterunya (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP). 

Nah, stiker yang digunakan oleh Pemerintah Aceh yang sudah beredar itu bisa jadi mengandung pernyataan permusuhan dan kebencian. Buktinya, banyak yang protes dan tidak senang. Sampai-sampai ada yang meminta semua kendaraan pejabat pemerintahan, baik kendaraan dinas maupun kendaraan pribadi, juga harus ditempel stiker. Reaksi ini merupakan bentuk dari nilai rasa terhadap stiker yang sudah beredar. Artinya, nilai rasa yang terkandung dalam stiker tersebut mengandug keresahan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Kita sadari bahwa banyak yang diam saja ketika kendaraan mereka ditempel stiker tersebut. Namun, perlu dicek, apakah mereka diam ditempel stiker itu ikhas atau mereka diam karena tidak kuasa melawan. Jika alasan tidak kuasa melawan yang banyak muncul, berarti Pemerintah Aceh sedang mencoba ‘menekuk’ kepala rakyat Aceh agar tidak berani melawan. Dengan kata lain, ada nilai congkak yang ingin diperlihatkan melalui stiker tersebut. Ini berbahaya bagi kondisi Aceh ke depan.

Kenyataan ini diperkuat dengan adanya keterlibatan polisi pada beberapa SPBU. Bahkan, di salah satu SPBU di Banda Aceh, petugas polisi turut serta menempelkan stiker yang meresahkan warga tersebut. Kalau polisi yang ikut menempelkan stiker itu, pemilik kendaraan mana yang berani berkutik. Artinya, Pemerintah Aceh sudah mencoba menekuk rakyat Aceh melalui polisi. 

Maka, ini merupakan cara yang tidak elegan. Siapa pun pemilik ide ini, tetaplah Plt. Gubernur Aceh yang harus bertanggung jawab, karena di stiker itu ada logo Pemerintah Aceh yang dilengkapi dengan keterangan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 540/9186 tahun 2020. Kita berharap, Pemerintah Aceh jangan menjadi penyebab keresahan di tengah masyarakat. Mestinya, pemerintah bisa menjadi mediator dan fasilitator pendamai dalam kehidupan masyarakat Aceh, bukan sebaliknya.

Sekali lagi, saya tidak menolak stiker sebagai penanda kendaraan yang layak untuk mengisi premium dan solar bersubsidi. Hanya saja, diperlukan cara yang elegan dan humanis dengan bahasa yang lebih menyentuh nurani dan perasaan, bukan yang melukai perasaan. Ingat, orang Aceh punya tipikal, meunyoe get tacukeh, bak mareh jeut taraba; meunyo ka teupeh, bu leubeh han jipeutaba.

Semoga Pemerintah Aceh punya cara yang lebih halus, elegan, dan humanis dalam menata penyaluran dan solar bersubsidi.


Penulis

Herman RN

Budayawan, berkhidmah pada kerja-kerja sosial dan kearifan lokal.


Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda