Mencegah Ancaman Lost Generation
Font: Ukuran: - +
Penulis : Nelliani
Nelliani, M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Seulimeum Aceh Besar. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Apa kita masih ragu bahwa ancaman hilangnya generasi bermoral dan berakhlak mulia makin nyata?. Apa kita menyadari bahwa anak dan generasi muda sekarang ini sedang tidak baik-baik saja?. Jika pertanyaan tersebut berlebihan dan menakutkan, mari sejenak kita cermati berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini.
Hampir di setiap warung kopi yang kita temui selalu ada pemandangan orang-orang yang sibuk dengan HP dan laptopnya. Sebagian dari mereka adalah anak dan remaja usia sekolahan. Apa yang mereka kerjakan?. Menghabiskan waktu berjam-jam. Rupanya mereka larut dalam permainan game online.
Di waktu lain, kita melihat banyak muda mudi terseret pergaulan bebas. Berpasangan di jalan-jalan, di pojok kafe yang sepi atau tempat wisata. Tidak risih, tak ada rasa malu. Lain siang, lain pula malam, gadis-gadis muda elok rupawan masih berkeliaran, belum tahu arah pulang meskipun malam semakin pekat.
Dari media kita membaca, bullying kian marak, tidak saja di sekolah umum, di lembaga pendidikan agama juga demikian. Pada akhir Februari 2023, santri sebuah pesantren di Aceh Tengah dianiaya senior. Korban dikurung dan dipukul oleh 5 kakak kelas hingga mata lebam dan kepalanya sakit. Di Aceh Besar, seorang santri ditendang seniornya hingga kelopak mata memar dan bola mata memerah. Korban dianiaya gara-gara bercanda dengan melempar ular mainan.
Terakhir kita membaca, seorang siswa sebuah sekolah favorit di Aceh besar dibully sekelompok kakak kelas sampai mengalami masalah di bagian kepala. Bullying ibarat gunung es, hanya segelintir yang terungkap, diduga masih banyak kasus serupa yang terjadi.
Tidak hanya itu, aksi geng motor atau tawuran pelajar yang mulai muncul di kota-kota serta berbagai kasus pelecehan akibat kecanduan konten pornografi menambah panjang daftar perilaku menyimpang di kalangan remaja. Belum selesai dengan itu, kita disuguhkan berita penangkapan bandar narkoba dengan barang bukti dalam jumlah besar yang membuat kita merinding. Sungguh mengerikan membayangkan mahalnya harga yang harus dibayar jika barang terlarang itu menyentuh kehidupan buah hati kita?.
Generasi yang hilang
Melansir dari wikipedia, istilah generasi yang hilang (lost generation) disebut juga generasi tersesat adalah kelompok generasi sosial yang mencapai masa dewasa pada atau setelah Perang Dunia I. Dalam menggunakan istilah “tersesat”, psikolog mengacu pada perasaan “disorientasi, mengembara tanpa arah” yang menghantui banyak orang yang selamat dari salah satu perang paling mengerikan dalam sejarah modern. Dalam arti lebih dalam, dinamakan generasi yang hilang karena kelompok ini mengganggap nilai-nilai moral dan sosial konservatif orang tua mereka tidak relevan lagi di dunia pasca perang sehingga mereka tersesat dan terperangkap dalam kehidupan materialistis, hedonistis dan tandus secara emosional (www.thoughtco.com).
Melihat problematika yang terjadi dikalangan remaja, seakan ada kemiripan dengan perubahan sosial generasi pasca Perang Dunia I. Dimana norma, budaya, aturan agama, etika dan moral mulai diabaikan. Kehidupan penuh nilai-nilai religius mulai ditinggalkan. Mereka terjebak dalam mentalitas dan gaya hidup modern yang mendewakan kebebasan, pragmatisme, hedonistis serta materialistis.
Perilaku sebagian anak-anak muda zaman now seperti telah kehilangan tujuan hidup. Dimana pandangannya bergeser bahwa hidup untuk bersenang-senang saja. Mereka tidak suka diatur sehingga terkadang sikap tersebut menabrak norma yang ada. Senang berfoya-foya, hura-hura, terjebak pergaulan tidak sehat serta konsumtif dalam segala hal. Demi memburu kesenangan, berani menempuh cara-cara tidak patut, menipu, merampok, mencuri, atau jual diri sekalipun.
Sikap serba pragmatis, hedonis dan cenderung bebas berdampak secara psikologis. Mereka menjadi lebih narsis, penggila gadget, mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap sosialisasi. Mereka tampak sangat emosional bila keinginannya tidak dipenuhi. Tak ada lagi rasa takut atau hormat pada yang lebih tua. Mudah marah jika tidak diberikan uang bermain game, membeli gadget atau barang-barang mewah untuk menopang gaya hidup. Tersinggung bila dinasehati, hingga berani membully akibat tidak terima ditegur.
Penyebab
Melihat fenomena yang ada, kita merindukan laku keseharian anak-anak muda ini yang mampu menampilkan sopan santun, berbudi luhur dan beragama layaknya generasi tempo dulu. Jika dicermati, beberapa faktor penyebab merosotnya moral dan karakter generasi muda sekarang ini antara lain:
Pertama, hilangnya keteladanan. Salah satu metode menanamkan perilaku terpuji pada anak yaitu dengan memberi contoh atau menjadi figur teladan. Keteladanan dimulai dari lingkungan keluarga melalui orang tua sebagai figur utama. Keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak mengenal pendidikan. Kemudian berlanjut di ranah sekolah melalui bimbingan ibu bapak guru dan terakhir oleh para tokoh pemimpin dalam masyarakat.
Namun, keteladanan saat ini ibarat barang langka. Di rumah anak sering menyaksikan contoh-contoh buruk. Kondisi rumah tidak ramah, penuh kekerasan serta saling tidak peduli. Di sekolah dia melihat guru-guru yang tugasnya mengajar saja, sangat sedikit sosok pendidik yang tulus mendidik, mengayomi apa lagi membimbing dengan kasih sayang. Di kehidupan masyarakat anak dipaksa menonton berbagai ketimpangan sosial yang membuatnya bingung, ketidakadilan, korupsi, perilaku tidak jujur yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh yang seharusnya memberi panutan.
Kedua, penegakan hukum masih lemah. Pemerintah telah melahirkan produk hukum yang sudah bagus, tetapi penegakan aturan hukum di lapangan masih belum tegas. Banyak pelaku pelanggaran atau penyimpangan tidak mendapatkan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Jika pun ada terkesan setengah hati, belum memberi efek jera bagi pelaku dan lainnya.
Ketiga, pengaruh media sosial. Pesatnya perkembangan zaman yang ditandai dengan inovasi teknologi tanpa batas tidak berbanding lurus dengan kondisi moralitas generasi muda. Ketergantungan teknologi membuat mereka lupa diri. Anak-anak muda ini memanfaatkan teknologi untuk kesenangan semata, mereka tidak kritis terhadap pengaruh negatif yang ditimbulkan.
Keempat, kurangnya pengetahuan agama. Pendidikan agama sekarang ini mulai kurang diminati. Anak hanya mempelajari pengetahuan agama di sekolah dengan waktu dua jam seminggu. Jika tempo dulu, orang tua mengantarkan anaknya mengaji bakda asar atau setelah magrib ke tempat-tempat pengajian, sekarang sebagian orang tua memilih menitipkan di kursus-kursus mahal untuk mendukung perkembangan intelektual mereka. Tidak ada yang salah dengan pilihan tersebut, hanya saja kurangnya pendidikan agama berdampak pada perkembangan moral dan karakter mereka.
Ancaman lost generation bisa dicegah bila kita terus peduli serta mengambil langkah nyata mengantisipasinya. Menghadirkan keteladanan, penegakan hukum yang berlaku pada semua kalangan, aturan dan pengawasan terhadap dampak teknologi. Tak kalah penting menjadikan pendidikan agama sebagai benteng utama dari kemerosotan moral.
Jika seluruh pihak bekerja sama mewujudkan hal tersebut, maka kita tidak akan kehilangan generasi penerus yang berkarakter dan berakhlak mulia. [**]
Penulis: Nelliani, M.Pd (Guru SMA Negeri 3 Seulimeum Aceh Besar)