Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Opini / Menatap Aceh Pasca Damai

Menatap Aceh Pasca Damai

Rabu, 13 Agustus 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Hafizhuddin Islamy

Hafizhuddin Islamy, Alumni Prodi PAI UIN Ar-Raniry. [Foto: HO/dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Memasuki dua dekade masa damai, Aceh terus berbenah untuk menjadi provinsi yang mandiri. Mencerdaskan sumber daya manusianya agar dapat mengolah kekayaan alam yang tersimpan utuh di bumi Serambi Mekah. Melepaskan diri dari ketergantungan kepada wilayah lain dan menjadi daerah yang disegani serta bisa mensejahterakan rakyatnya.

Banyak hal yang hingga kini masih menjadi tantangan bagi provinsi paling barat Indonesia ini untuk menjadi lebih maju. Daerah istimewa yang mendapatkan dana otsus triliunan rupiah ternyata masih belum bisa lepas dari predikat provinsi termiskin di Sumatra. Entah apa indikator dari Badan Pusat Statistik hingga menyebabkan Aceh secara berturut-turut masih dinobatkan sebagai provinsi termiskin.

Bukti nyata bahwa banyaknya kucuran dana yang mengalir sekalipun ternyata tidak dapat melepaskan Aceh dari cap provinsi termiskin. Pertanyaanya adalah kemana larinya dana triliunan itu jika rakyat Aceh masih hidup dibawah garis kemiskinan. 

Sudah 20 tahun lebih Aceh meraih kedamaian dengan berbagai keistimewaan yang diperolehnya, namun nyatanya waktu 20 tahun itu masih belum cukup untuk menjadikan Aceh makmur apalagi sejahtera.

Pembangunan yang masih belum merata antara wilayah perkotaan dengan pedesaan, antara wilayah timur dan barat masih menjadi problematika klasik yang menghiasi hari-hari masyarakat Aceh. Tak heran jika hal-hal seperti ini kerap menimbulkan kecemburuan sosial hingga perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Tak heran pula jika ada daerah di Aceh yang ingin mekar menjadi provinsi sendiri dikarenakan ketimpangan pembangunan ini. 

Dana otsus yang tidak tahu dialokasikan kemana, atau mungkin telah dialokasikan tetapi tidak tepat sasaran. Namun yang jelas, hanya segelintir orang yang merasakan manfaat dari adanya dana tersebut. Selebihnya masyarakat hidup dengan mengandalkan kerja keras pantang menyerah menghidupi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Apakah 20 tahun usia damai masih tergolong muda bagi sebuah bangsa dalam membangun dan membentuk cita-cita masa depannya? Dimana letak keistimewaan Aceh jika warga Aceh yang tinggal di luar Aceh saja ketika ingin pulang ke Aceh harus memilih transit terlebih dahulu di Malaysia demi mendapatkan tiket pesawat yang lebih murah. Tingginya biaya untuk pesawat yang terbang langsung ke Aceh membuat orang-orang Aceh di luar sana berpikir dua kali ketika ingin kembali ke Aceh. Anehnya oleh pihak terkait, malah menganggap minat orang Aceh ke Malaysia semakin tinggi untuk berwisata atau bekerja. Padahal orang Aceh ke Malaysia hanya untuk sekedar transit, bukan untuk berwisata lebih-lebih lagi bekerja. Inilah potret masyarakat Aceh hari ini.

Melihat ke bagian yang lain, ada syari'at Islam yang ternyata masih belum terimplementasi sebagaimana mestinya. Orang-orang yang memamerkan auratnya dengan bangga masih berkeliaran di jalan-jalan, laki-laki dan wanita yang bukan mahram bermesraan hingga larut malam di tempat-tempat umum. Ruang publik seakan menjadi tempat unjuk kemaksiatan dan sarang dosa, kemanapun kaki melangkah di tanoh teulebeh ini mata tidak pernah selamat dari melihat hal-hal yang diharamkan.

Rupanya 20 tahun masih belum cukup untuk menginternalisasi nilai-nilai syari'at Islam dengan benar ke dalam kehidupan masyarakat. Aceh masih terlalu sibuk dengan simbol dan lupa pada substansi. Ketika di sebut daerah istimewa kita bangga dengan adanya hak menjalankan syari'at Islam, kita bangga dengan adanya otsus, kita bangga menjadi satu-satunya provinsi yang bisa mengikutsertakan partai lokal dalam kontestasi politik.

Namun kita melupakan substansi dari semua itu, sejauh mana sudah keistimewaan yang diberikan mengubah wajah Aceh menjadi lebih baik hari ini?

Padahal keistimewaan yang diperoleh Aceh merupakan hasil dari kesepakatan damai 20 tahun silam. Menjaga perdamaian sangatlah penting, namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana agar poin-poin dari hasil perdamaian yang tertuang di dalam Mou Helsinki dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Dalam hal ini dibutuhkan kesadaran semua pihak mulai dari kalangan atas hingga bawah. Aceh tidak pernah kekurangan potensi, bangsa yang kaya dengan sumber daya alamnya ini juga tidak pernah kosong dari tokoh-tokoh hebat yang lahir menghiasi sejarah tanah di ujung paling barat pulau Sumatra. 

Dari kalangan ulama sebut saja ada Abuya Mudawali yang menjadi pencetak kader ulama di Aceh, di kalangan tokoh politik lokal Aceh pernah punya Hasan Tiro; seorang senator pejuang kemerdekaan Aceh yang begitu disegani dan dikagumi hingga kini.

Hari ini nilai-nilai semangat yang diajarkan dan ditanamkan baik oleh Abuya Mudawali ataupun Hasan Tiro mulai pudar dan terkelupas dari diri orang Aceh. Melihat kondisi Aceh hari ini yang begitu memprihatinkan membuat rakyat bertanya-tanya "Apa yang sedang dilakukan dan diperjuangkan oleh para elit politik di Aceh hari ini?". Seperti yang biasanya di gaungkan, "Melakukan sesuatu demi kepentingan rakyat". Semoga para pemimpin di Aceh masih terus hidup untuk memenuhi hak-hak rakyat, bukan hidup untuk memenuhi isi rekening dan memperkaya diri sendiri.

Sudah cukup Aceh menderita dengan konflik berkepanjangan di masa lalu. Sekarang sudah saatnya semua pihak dari kalangan ulama, umara dan rakyat biasa bekerja sama untuk merawat Aceh. Menjadi Aceh mulia, makmur dan sejahtera sebagaimana cita-cita para leluhur pejuang masa lalu. Membuang ego, menyudahi konflik kepentingan antar kelompok dan merajut persatuan adalah kunci keberhasilan untuk meraih masa depan yang gemilang.[**]

Penulis: Hafizhuddin Islamy (Alumni Prodi PAI UIN Ar-Raniry)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
>