Beranda / Opini / Menanti Aturan Baru Akhiri Polemik Transportasi Online

Menanti Aturan Baru Akhiri Polemik Transportasi Online

Minggu, 09 Desember 2018 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Hendrasta Pijar Ramadhan

Hendrasta Pijar Ramadhan, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Negeri Surabaya


Masyarakat yang terkena dampak positif ataupun negatif dengan adanya transportasi online, khususnya driver transportasi online tengah menantikan payung hukum dari adanya transportasi tersebut. Setelah dicabutnya aturan sebelumnya, Kementerian Perhubungan akhirnya merampungkan draf Peraturan Menteri Perhubungan terkait transportasi online.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memiliki "PR" baru setelah keluarnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 P/HUM/2018 yang memerintahkan Menteri Perhubungan (Menhub) mencabut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017. Pada Putusannya Mahkamah Agung Menyatakan Pasal 6 ayat 1 huruf e, Pasal 27 ayat 1 huruf d, Pasal 27 ayat 1 huruf f, Pasal 27 ayat 2, Pasal 38 huruf a, Pasal 38 huruf b, Pasal 38 huruf c, Pasal 31 ayat 1, Pasal 39 ayat 2, Pasal 40, Pasal 48 ayat 10 huruf a angka 2, Pasal 48 ayat 10 huruf b angka 2, Pasal 48 ayat 11 huruf a angka 3, Pasal 48 ayat 11 huruf b angka 3, Pasal 51 ayat 9 huruf a angka 3, Pasal 51 ayat 10 huruf a angka 3, Pasal 56 ayat 3 huruf b angka 1 sub b, Pasal 57 ayat 11 huruf a angka 2, Pasal 65 huruf a, Pasal 65 huruf b, Pasal 65 huruf c, Pasal 72 ayat 5 huruf c, Peraturan Menteri Perhubungan Indonesia Republik Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, merupakan pemuatan ulang materi norma yang telah dibatalkan oleh Putusan MA Nomor 37/P.HUM/2017 tanggal 20 juni 2017, dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum. Belum ditemukannya solusi dari polemik  transportasi online ini sejak kemunculannya, menjadi "PR" besar bagi Kementerian Perhubungan.

Puncak polemik ini terjadi pada tahun 2016 ketika ribuan sopir taksi berdemo menuntut pemerintah menghentikan beroperasinya transportasi berbasis online. Para pembaca pasti dapat menebak penyebab demonstrasi ini, yaitu dikarenakan berkurangnya penghasilan mereka akibat adanya taksi online dan juga berpalingnya konsumen dari pengguna taksi konvensional ke ojek online. Kita turut prihatin atas berbagai keluhan dari sopir taksi konvensional ini yang tengah bekerja demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya, tetapi hal ini tidak dapat dipandang sebelah mata karena pengemudi taksi atau ojek berbasis online ini juga tengah bekerja demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.

Realita bahwa perkembangan teknologi yang tidak bisa dibendung, dimana pelaku usaha taksi konvensional memiliki saingan bisnis bukan dari sesama pelaku usaha taksi, melainkan pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang memerlukan jasa angkutan. Dampak perkembangan teknologi ini sama halnya ketika dahulu delman, andong, dokar dan lain sebagainya tergantikan oleh adanya bajaj, mikrolet, taksi dan lain sebagainya. Pada era Sharing Economy ini bukan hanya taksi dan ojek konvensional yang mendapat saingan tetapi juga toko-toko yang mendapat saingan dengan hadirnya online shop, pelaku usaha perhotelan yang mendapatkan saingan dari pembuat aplikasi yang mempertemukan antara pemilik rumah dan kamar kosong yang ingin disewakan.

Solusi Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat yang mengeluarkan larangan taksi dan ojek online beroperasi pada akhir 2015 dianggap kurang bijak setelah kita melihat reaksi banyaknya protes masyarakat, sehingga keputusan pelarangan transportasi online dibatalkan oleh Menteri Perhubungan pada saat itu yang dijabat Ignatius Jonan. Hal ini tidak lepas dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya konsumen pengguna jasa layanan transportasi online. Konflik antara pengemudi transportasi konvensional dan pengemudi transportasi berbasis online ini jangan sampai membuat pemerintah melupakan konsumen sebagai pengguna jasa tersebut. Pemerintah perlu memperhatikan perannya dalam memelihara 5 asas  yang tercantum pada Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), khususnya dalam hal ini adalah asas manfaat dan asas keseimbangan, karena sesuai Penjelasan Pasal  2 UUPK segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, tentu saja kita tidak dapat menolak realita bahwa manfaat adanya transportasi berbasis online dirasakan baik dari pihak konsumen atau dari pemerintah, tetapi juga perlu memperhatikan asas keseimbangan yang dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah yang sebagaimana tertulis dalam penjelasan Pasal 2 UUPK.

Hal ini mengingatkan kita pada ungkapan Charles Darwin yaitu, bukan yang terkuat atau tercerdas tetapi yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Penulis berharap aturan baru  terkait transportasi online ini dapat menjadi jembatan dari polemik yang mengakibatkan kegaduhan yang tidak kunjung berakhir.



Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda