Menakar Program Sekda Aceh
Font: Ukuran: - +
oleh Herman RN
SEORANG guru di Aceh mungkin terlalu berani jika sampai menulis kritikan terhadap Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Pasalnya, Sekda Aceh yang dikenal dengan julukan “Mister T” itu sangat ditakuti oleh semua pegawai di Aceh, mulai pegawai tingkat provinsi hingga pegawai pelosok terdalam sekalipun.
Sekda Aceh yang satu ini ditakuti bukan hanya karena gebrakan dan programnya, tetapi juga karena gayanya. Betapa tidak, ia sudah memperlihatkan gaya sebagai orang hebat nomor tiga di Provinsi Aceh sejak dilantik sebagai Sekretaris Daerah Aceh. Ia langsung turun ke pelosok-pelosok mencari kesalahan pegawai di sana, baik kesalahan adminisitrasi maupun kesalahan lainnya. Tak sungkan ia menggebrak meja atau melempar dokumen jika ada yang tidak beres.
Kegarangan Sekda Aceh mendadak jadi buah bibir, terutama dalam kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di seluruh Aceh. Disebut-sebut Sekda tidak kenal matahari dan bulan jika memang mau memindahkan bahkan membangkupanjangkan -bahasa halus memecat - setiap pegawai yang dinilai tidak beres. Tentu saja indikator ‘tidak beres’ itu sangat dubjektif, sesuai kaca mata Sekda dan para kaum selingkarnya.
Kegarangan Sekda Aceh dalam memutasi pegawai akhirnya dijadikan ikon stiker entah oleh siapa. Tetiba saja stiker bergambar Sekda Aceh dengan kalimat singkat “Anda mau dimutasi” beredar dari satu grup WhatsApp ke grup WhatsApp lainnya. Stiker tersebut seakan menjadi pesan penting bagi setiap orang: jika tidak mau dimutasi, jangan mencari pasal dengan Sekda Aceh.
Gaya sebagai orang hebat semakin diperlihatkan Sekda dalam program Bersih, Rapi, Estetis, dan Hijau (BEREH). Sekda dan tim turun ke setiap daerah untuk memantau roda pemerintahan di sana. Tidak tertutup kemungkinan ia akan singgah ke sekolah tertentu jika kebetulan sekolah tersebut tidak jauh dari kantor pemerintahan yang dikunjungi. Banyak orang yang mulai was-was jika dapat surat pemberitahuan akan didatangi Sekda Aceh.
Dalam pelaksanaan program BEREH, kerap media memberitakan sepak terjang Sekda Aceh. Ada kalanya ia melempar dokumen, ada kalanya bertanya banyak hal lalu bersuara tinggi. Setidaknya, begitu kata pewarta. Akhirnya, beberapa kepala daerah memberanikan diri menolak kunjungan Sekda Aceh dalam program BEREH karena dinilai sudah melampaui tupoksi seorang Sekda. Keberanian satu kepala daerah disusul kepala daerah lainnya. Program BEREH pun meredup di pengujung tahun 2019.
Apakah Sekda Aceh kehilangan program jika kunjungan BEREH mulai ditolak oleh kepala daerah tingkat dua? Ternyata tidak. Di awal Januari 2020, Sekda mengambil alih acara pelantikan para kepala sekolah SMA, SMK, dan SLB di seluruh Aceh. Guru-guru pun terkejut. Baru kali ini mereka dilantik oleh seorang Sekda. Bagi para guru, tentu saja ini sejarah baru.
Ternyata Sekda Aceh memang sedang menilik dunia pendidikan. Istirahat sejenak dari program BEREH dana gampông, Sekda ternyata tertarik mengurus dunia pendidikan di Aceh yang memang belum bereh. Ada keinginan dari Sekda Aceh agar dunia pendidikan di Aceh lebih bereh daripada sebelumnya. Tentu saja niat ini perlu diberikan apresiasi.
Di tempat lain, para guru mulai was-was karena mereka mengenal sosok Sekda Aceh sebagai orang yang tidak segan memutasi siapa saja. Kewaspadaan tersebut semakin diperketat setelah permintaan Sekda Aceh agar sekolah-sekolah menerapkan program BERSAHAJA, yakni bereh, sabar, harus nyaman guru, jaminan terhadap aktivitas belajar dan kelompok rentan.
Program BERSAHAJA ini kemudian terhenti karena Pandemi Covid-19. Akan tetapi, lagi-lagi Sekda Aceh tidak kehilangan akal. Selalu ada program lain yang tentu saja masih tetap menggunakan istilah akronim. Kali ini ada program GEMA untuk Gerakan Gebrak Masker Aceh, ada GENCAR atau Gerakan Nakes Cegah Covid-19. Untuk sekolah-sekolah, program serupa diberi akronim GEMAS (Gerakan Masker Sekolah).
Buat SEMAK
Apa yang menarik dari semua program terkait pencegahan Covid-19 itu? Bahwa Sekda Aceh mengizinkan orang beramai-ramai masuk gampông. Bahkan, dirinya dan ibu gubernur pun sempat terlibat langsung mengunjungi gampông-gampông untuk membagi masker. Kepergian tim GEMA ke gampông-gampông membagi masker tentu tidak dapat menghindari kerumunan. Di satu sisi ada anjuran jaga jarak, di sisi lain tim GEMA pergi berarak-arak.
Tim GEMA kemudian foto bersama lalu foto itu dikirim ke media sebagai bukti sudah melakukan progam bagi masker. Singkatnya, pembagian masker kepada masyarakat tidak lebih sekadar seremoni yang apabila diakronimkan menjadi SEMAK, yakni seremoni masker.
Mungkin Sekda Aceh mulai lupa bahwa ia pernah berpesan kepada seluruh calon kepala sekolah di Aceh agar menghindari kegiatan seremoni. Jika Sekda lupa pada ucapannya sendiri, tentu ia dapat membaca kembali kalimatnya itu di website Humas Pemerintah Aceh. Di sana jelas tertulis, Taqwallah juga mengingatkan, para calon kepala sekolah yang akan terpilih nantinya adalah mereka yang mampu mencarikan solusi, bersabar dan tidak mengeluh menghadapi berbagai persoalan kerja.
“Juga harus mampu meminimalkan kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak penting,” ujar Taqwallah. (lihat situs humas.acehprov.go.id tentang calon kepala sekolah paparkan program kerjanya di depan sekda aceh).
Kenyataannya, kegiatan yang diinisiasi oleh Sekda Aceh terkait pencegahan Covid-19 di Aceh tidak lebih sekadar seremoni belaka. Tim GEMA masuk ke lorong-lorong gampông beramai-ramai, swafoto, lalu laporkan sudah membagi masker. Demikian pula tim GEMAS, mereka berikan selembar masker pada murid, diminta murid atau siswa tersebut memakai masker itu lalu difoto sebagai bukti laporan. Bukankah ini semua kegiatan seremoni?
Sampai saat ini, sudah nyaris setahun Pandemi Covid-19, belum ada program nyata Sekda Aceh untuk meningkatkan mutu dan fasilitas belajar mengajar di Aceh. Sekda Aceh hanya berpikir bahwa program yang paling bereh selama Pandemi Covid-19 ini adalah membagi masker dan ‘menakuti’ para kepala sekolah/guru.
Mengapa saya katakan ‘menakuti’ kepala sekolah dan guru? Setiap ada momen libur, baik libur hari raya maupun libur akhir tahun, kerja Sekda hanya mengurusi di mana posisi para guru dan kepala sekolah. Apakah sedang berlibur atau masih di rumah? Masa iya ini yang terpikir oleh Sekda dalam memajukan dunia pendidikan Aceh?
Terkadang Sekda Aceh ada kocaknya juga. Untuk ASN yang ingin pulang kampung menjelang hari raya harus mendapatkan izin Sekda Aceh terlebih dahulu. Setiap ASN wajib pula video call dengan atasannya. Dalam pemahaman orang Aceh, ini sama dengan istilah hana buet mita buet, cok peulaken siliek bak pruet.
Pada hari libur peringatan tsunami kemarin (26 Desember 2020), Sekda Aceh malah membuat pertemuan virtual dengan seluruh guru di Aceh. Video harus dinyalakan, tidak boleh offline, agar Sekda dapat melihat langsung di mana posisi para guru tersebut. Bukankah semua ini kegiatan seremoni yang tergolong ke dalam seremoni virtual? Akronimnya mungkin BERTUS (berlibur virtual ala Sekda).
Mencermati semua progam Sekda Aceh inilah muncul kelakar di kedai kopi, Sekda lebih garang daripada gubenur. Oleh karenanya, saya sempat terkejut membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang guru untuk Sekda Aceh beberapa waktu lalu. Dalam artikel itu, sang guru mengkritik cara Sekda Aceh yang gagap mengurus pendidikan.
Saya sempat berpikir, guru satu ini sudah siap dimutasi bahkan mungkin dipecat oleh Sekda. Namun, setelah melihat identitas sang guru yang juga kepala sekolah itu, saya sedikit lega. Ternyata ia guru swasta yang masih jauh jangkau dari kegarangan lisan Sekda. Aceh tentunya membutuhkan guru-guru seperti ini, yang berani mengkritisi para pemimpin, bukan guru-guru yang hanya diam agar tidak dimutasi. Sudah terlalu lama pendidikan Aceh terpuruk, jangan sampai semakin buruk karena Aceh tidak mampu menakar gaya seorang Sekda.
*Penulis: Dosen Universitas Syiah Kuala 'Berkhidamah Pada Kerja-kerja Kebudayaan'