Beranda / Opini / Membongkar Klaim Pro Ulama Bustami dan Mualem

Membongkar Klaim Pro Ulama Bustami dan Mualem

Jum`at, 04 Oktober 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Risman A Rachman

DIALEKSIS.COM | Opini - Dari dua dokumen visi misi kandidat, ada yang tidak ditemukan kata “dayah” pada dokumennya. Padahal di Aceh ada 1.657 dayah (data 2023). 

Pendahuluan

Sejak awal pencalonan, kedua kandidat “berlomba” mencitrakan diri sebagai kandifat pro ulama. Bustami bahkan sukses menggandeng Tu Sop sehingga citra pro-Islamnya menguat. 

Paska berpulangnya Tu Sop (Al Fatihah), partai-partai pengusung juga menawarkan calon peganti dari kalangan ulama. Akhirnya dipilih Fadhil Rahmi. 

Lebel pro ulama tetap dipertahankan dengan mengaitkan sosok Fadhil Rahmi dengan Ustad Abdul Somad dan penyebutan Syech Fadhil. Terkini, juga ikut ditonjolkan gelar dua doktor pada salah satu pendamping hidup calon wakil gubernur Aceh. 

Sebaliknya, Muzakir Manaf juga tidak kurang usaha membangun citra pro ulama. Hanya saja citra itu sempat tergerus saat gagal berpasangan dengan Tu Sop dan munculnya berita mundurnya Abu Paya Pasi dari MUNA, DPA Partai Aceh dan Tuha Peut Wali Nanggroe. 

Pada Agustus 2024, merujuk berita media, Paslon Mualem-Dek Fad mengklaim mendapat dukungan penuh dari kalangan para ulama, pimpinan dayah dan habaib yang ada di Aceh. 

Di akhir September 2024, diwartakan jika Abu Paya Pasi, turut memberikan dukungan dan mendoakan kemenangan H Muzakir Manaf (Mualem) sebagai calon Gubernur Aceh dalam Pilkada 2024. 

Dukungan itu disampaikan dalam acara Mudzakarah Ulama Se-Aceh Ke-XIII yang dihadiri oleh ulama seperti Ayah Min Cot Trueng, Ketua MPU Aceh Utara, Abu Manan Abiya Daud Hasbi, Walet NU, Abu Madinah, Abi Sufi dari Paloh Gadeng, Minggu (29/9/2024).

Usai penetapan pasangan calon, pengundian namor urut dan kampanye apakah citra pro-ulama (baca: keberpihakan kepada penguatan Islam) kedua pasangan ini bisa dibuktikan pada strategi (visi, misi, program) mereka? 

Mindset

Sebelum menjengguk strategi (visi, misi dan program) masing-masing kita dedah dulu mindset kedua kandidat terhadap Aceh. 

Baik pasangan 01 maupun pasangan 02 sama-sama bertolak dari keyakinan bahwa Aceh pernah jaya di masa lalu. Pasangan 01 menyebut Aceh pernah makmur secara ekonomi di abad 16 - 19. 

Sama, pasangan 02 juga mengakui zaman keemasan Aceh. Jika pasangan 01 hanya menyebut kemakmuran ekonomi, pasangan 02 tidak hanya mengakui dibidang ekonomi, tapi juga pemerintahan dan ilmu pengetahuan di masa kepemimpinan Iskandar Muda. 

Hanya saja, ada hal menggelitik ketika Pasangan 01 menyebut kemakmuran ekonomi Aceh mengundang berbagai suku bangsa, budaya dan agama dari berbagai penjuru dunia datang ke Aceh. 

Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa zaman keemasan Aceh itu justru terjadi setelah Aceh dikelola dengan Qanun Meukuta Alam?

Pasangan 01 juga menyakini bahwa Aceh sebagai kawasan Islam pertama di Nusantara. Karena itu, masyarakat Aceh memiliki kearifan budaya lokal yang kuat dan religius, yang tercermin dalam budaya dan hukum lokal. 

Pasangan 01 menyakini bahwa perang panjang yang pernah terjadi baik saat melawan penjajah hingga masa kemerdekaan sebagai penyebab terjadinya kesenjangan. Dan konflik dinilai telah menyebabkan rakyat trauma yang berdampak pada situasi sosial dan psikologis masyarakatnya. 

Atas dasar itulah kebijakan otonomi khusus yang memberi hak istimewa bagi Pemerintah Aceh jadi belum memberi hasil yang maksimal. 

Pasangan 02, disamping mengakui zaman keemasan yang pernah diraih di masa lalu, juga melihat adanya peluang besar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Aceh yaitu melalui UUPA sebagai buah dari MoU Helsinki. Ini harusnya bisa menjadi kilas baru pembangunan Aceh menuju keadaan damai, adil, makmur, sejahtera dan bermartabat. 

Masalahnya, karena belum selaras dengan MoU Helsinki jadi tidak optimal pelaksanaan UUPA sehingga menjadi penghambat dalam merealisasikan impian rakyat Aceh itu. 

Dari mindset itu terlihat dua sudut pandang yang berbeda. Pasangan 01 melihat kemakmuran ekonomilah yang membuat Aceh jaya sehingga mengundang berbagai suku bangsa, budaya dan agama dari berbagai penjuru dunia datang ke Aceh. 

Sedangkan Pasangan 02 secara tersirat mengakui zaman keemasan Aceh berkat undang-undang kerajaan yang bersumber dari syariat, adat dan reusam. 

Strategi 

Sekarang, mari kita bongkar strategi (visi, misi, program) kedua pasangan berdasarkan dokumen yang diunduh oleh KIP Aceh untuk menguji klaim pro-Islam atau pro-ulama. 

Pasangan 01 menempatkan agama di akhir pernyaaan visi “Aceh Sejahtera, Berkeadilan dan Beridentitas.” Jadi, agama lebih sebagai identitas. 

Agama dalam uraian visi “beridentitas” dimaknai oleh Pasangan 01 sebagai salah satu status kekhususan Aceh. Lainnya adalah pendidikan dan kebudayaan. Jadi, agama dilihat sebagai identitas dan modal dasar bagj Aceh dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. 

Karena agama dilihat sebagai identitas dan modal dasar maka misi yang akan ditawarkan pasangan 01 adalah membangun karakter masyarakat yang religius dan berakhlak mulia sesuai nilai-nilai luhur keacehan yang inklusif dan modern. 

Tujuan yang diinginkan (terkait agama) adalah terwujudnya kehidupan masyarakat Aceh yang religius, didukung dengan kepastian hukum dan penegakan HAM serta kesetaraan dan keadilan gender. 

Bagaimana dengan Pasangan 02? Pasangan 02 menempatkan agama (spesifik menyebut Islam) di awal pernyataan visi: “Aceh Islami, Maju, Bermartabat dan Berkelanjutan.” 

“Aceh Islami” dimaknai sebagai suatu kondisi dimana seluruh masyarakat Aceh menjalankan aktivitas dalam seluruh aspek kehidupan berlandaskan Syariat Islam. 

Program yang akan dilakukan (jika terpilih) oleh Pasangan 01 adalah mengoptimalkan pendidikan agama di semua jenjang pendidikan, dengan menekankan nilai-nilai toleransi, moderasi, dan kebersamaan dengan melibatkan lembaga dan tokoh-tokoh agama yang kredibel. 

Dalam program populis, Pasangan 01 juga melakukan peningkatan Syariat Islam, pembinaan ulama dan dai, serta peningkatan kehidupan beragama yang harmonis dan toleran. Sedangkan posisi MPU, bersama lembaga keistimewaan lainnya (Wali Nanggroe, MAA dan MPD) diharapkan dapat melakukan lobi-lobi strategis dengan Pusat. 

Padahal, di dokumen visi-misi yang tidak di upload oleh KIP Aceh ada tertulis program pendidikan unggul yang ditempuh melalui pemberian beasiswa bagi penghafal al quran, beasiswa santri dayah ke Timur Tengah, kegiatan olahrga dan prestasi di dayah. Sayang, semua ini tidak ada di dokumen yang di upload oleh KIP Aceh. 

Pasangan 02, selain menempatkan Aceh Islami dalam visinya juga menyertakan 4 nilai sebagai pegangan jika terpilih, salah satunya “mulia dalam syariat.”

Sedangkan misi yang akan dilakukan adalah “menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat secara kaffah. 

Caranya dirumuskan dalam 4 strategi, yaitu: 

1. Meningkatkan syiar Islam melalui aktivitas dakwah yang intensif guna memantapkan pemahaman dan amalan Syariat Islam ditengah kehidupan masyarakat;

2. Membangun komunikasi yang intensif antarsesama ulama dan tokoh masyarakat guna memperkuat sinerjitas daam pembinaan umat; 

3. Memperkuat pengawalan kehidupan beragama dengan prinsip pada pembinaan akhlak dan kerukunan antar dan sesama ummat; 

4. Mengantisipasi dan mencegah munculnya aliran-aliran sesat yang dapat mengganggu dan merusak syiar dan amalan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. 

Pasangan 02 memiliki 8 program prioritas untuk bidang agama yaitu pemantapan pelaksanaan syariat Islam, salah satu kegiatannya adalah Syiah Kuala Islamic Center, peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan al quran, salah satu kegiatannya uji baca al quran anak. 

Berikutnya, peningkatan sdm dan peran ulama lewat kegiatan pertukaran ulama muda ke Australia (MEP), pembinaan dakwah dan syiar Islam, salah satu kegiatannya berupa pembinaan mesjid-mesjid ramah anak dan difabel. 

Ada juga pembinaan lembaga sosial keagamaan, salah satu kegiatannya pembangunan museum haji di Sabang, koordinasi dan silaturahmi ulama - umara melalui muzakarah ulama, peningkatan kualitas dan pengembangan dayah melalui peningkatan tata kelola dayah, dan peningkatan sarana dan prasarana dayah melalui pembangunan labortorium bahasa, perpustaan dan digitalisasi. 

Demikian, mari para pemilh untuk menelaah dokumen visi misi dengan cermat karena dokumen visi misi kandidat akan dipakai untuk menyusun RPJM, RKP dan APBA. []

Penulis: Risman A Rachman (Pemerhati Sosial Politik dan kolumnis)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda