Jum`at, 19 Desember 2025
Beranda / Opini / Membasuh Luka Aceh: Menguji Ikatan Kebangsaan di Tengah Lumpur Bencana

Membasuh Luka Aceh: Menguji Ikatan Kebangsaan di Tengah Lumpur Bencana

Jum`at, 19 Desember 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nasrul Zaman

Nasrul Zaman, Akademisi USK/Analis Kebijakan Publik. [Foto: for dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Bencana bukan sekadar statistik curah hujan atau pergeseran tektonik; ia adalah ujian kesetiaan paling murni antara negara dan rakyatnya. Ketika banjir dan tanah longsor kembali menerjang Aceh belakangan ini, potret yang muncul ke permukaan bukan hanya soal kerusakan infrastruktur, melainkan retaknya fondasi rasa keadilan sosial. 

Kabar mengenai warga yang meregang nyawa akibat kelaparan karena bantuan tak kunjung tiba, serta birokrasi yang seolah membatu di hadapan jeritan minta tolong, menyisakan pertanyaan pedih yang menggugat nurani kebangsaan kita: Di manakah negara saat rakyatnya tenggelam?

Ketimpangan respons pemerintah pusat antara bencana di Pulau Jawa dan di luar Jawa khususnya Aceh kembali memantik api lama yang seharusnya sudah padam sejak Perjanjian Helsinki 2005. Narasi tentang "berjalan sendiri" atau kemerdekaan kembali berbisik di sela-sela lumpur, bukan karena ambisi politik semata, melainkan sebagai ekspresi keputusasaan atas janji kesejahteraan yang tak kunjung tunai.

Paradoks Kepedulian: Jawa-Sentrisme yang Tak Kunjung Usai

Sulit bagi masyarakat Aceh untuk tidak merasa dianaktirikan ketika membandingkan kecepatan respons negara. Di Jawa, gempa atau banjir skala menengah seringkali langsung mendapat perhatian puncak pimpinan negara, penetapan status bencana yang cepat, dan mobilisasi logistik yang masif dalam hitungan jam. Namun di Aceh, ketika akses terputus dan bantuan asing pun terganjal regulasi pusat yang kaku, muncul kesan bahwa nyawa di ujung Sumatera memiliki "harga" yang berbeda di mata Jakarta.

Keengganan pemerintah menetapkan status Bencana Nasional seringkali berlindung di balik argumen administratif dan otonomi daerah. Namun, ada prinsip hukum universal yang tampaknya dilupakan: salus populi suprema lex esto keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Ketika daerah sudah tak mampu secara kapasitas dan rakyat mulai mati kelaparan, otonomi seharusnya tidak menjadi alasan bagi pusat untuk cuci tangan. Negara adalah satu kesatuan organik; jika satu bagian tubuh membusuk karena luka yang tak terobati, seluruh tubuh akan merasakan demamnya.

Ironi Eksploitasi dan Pengabaian Struktural

Salah satu poin yang paling menyakitkan bagi rakyat Aceh adalah kontras tajam antara kekayaan alam yang disumbangkan daerah ini bagi kas negara dengan kecepatan negara hadir saat bencana. Selama puluhan tahun, Aceh menyumbang devisa masif melalui sektor migas dan mineral yang menggerakkan roda ekonomi nasional. Namun, ketika banjir bandang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan, rakyat seolah harus "mengemis" perhatian untuk mendapatkan status tanggap darurat yang layak.

Jika kita melihat perbandingan internasional, misalnya di Jepang atau Amerika Serikat, penetapan status darurat didasarkan pada indikator kerentanan sosial dan ancaman terhadap nyawa, bukan hanya kedekatan geografis dengan ibu kota. Di Indonesia, kita masih terjebak dalam pola systemic neglect (pengabaian sistemik). Penutupan akses bagi bantuan asing dengan dalih kedaulatan dan birokrasi adalah sebuah skandal kemanusiaan. Kedaulatan sejati seharusnya dimaknai sebagai kemampuan negara untuk menjamin warganya tetap makan dan selamat, bukan justru menjadi tembok yang menghalangi bantuan internasional saat tangan domestik tak mampu menjangkau korban.

Mengapa Merdeka Bukan Jawaban Tunggal, Namun Terus Bergema?

Secara emosional, seruan untuk berdaulat sendiri adalah reaksi paling logis dari sebuah pengkhianatan kepercayaan. Mengapa harus tetap berada dalam rumah yang membiarkan penghuninya kelaparan di saat badai? Namun, kita harus jujur bahwa teriakan "merdeka" di Aceh saat ini telah mengalami pergeseran makna. Ini bukan lagi soal ideologi politik murni atau romantisme perang masa lalu. Ini adalah "nasionalisme perut".

Rakyat Aceh hanya ingin diakui hak hidupnya. Jika negara gagal memenuhi fungsi dasarnya sebagai pelindung nyawa (the protector of life), maka legitimasi negara di mata rakyatnya akan luntur dengan sendirinya. Kekecewaan ini diperparah dengan perasaan bahwa Aceh hanya dianggap penting sebagai aset teritorial dan lumbung energi, bukan sebagai kumpulan manusia yang memiliki hak hidup setara dengan mereka yang bermukim di lingkar kekuasaan.

Menghancurkan Tembok Birokrasi dan Menuju Kontrak Baru

Untuk meredam keinginan memisahkan diri, solusinya bukan dengan pendekatan keamanan atau represi, melainkan dengan "Radikalisme Keadilan". Jakarta tidak bisa terus-menerus menggunakan pendekatan teknokratis yang dingin untuk masalah yang sangat manusiawi dan politis ini. Harus ada perubahan mendasar dalam cara negara memandang daerah:

Kesetaraan Standar Penanganan: Status bencana harus didasarkan pada tingkat penderitaan warga. Kematian satu warga karena kelaparan di Aceh harus dianggap sebagai kegagalan nasional yang setara dengan krisis di ibu kota.

Dekonsentrasi Logistik dan Fleksibilitas Bantuan: Negara harus memiliki lumbung pangan dan alat berat yang siaga di titik-titik rawan Aceh, serta protokol yang memungkinkan bantuan internasional masuk secara cepat tanpa terjegal birokrasi custom yang berbelit saat keadaan darurat.

Transparansi dan Audit Kemanusiaan: Harus ada audit yang jujur mengenai penggunaan dana otonomi khusus. Apakah dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk mitigasi bencana dan infrastruktur rakyat, atau justru menguap dalam rantai birokrasi yang korup?

Penutup: Merdeka dalam Keadilan

Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Indonesia. Kontribusi rakyat Aceh mulai dari menyumbang pesawat pertama RI hingga menjadi benteng pertahanan terakhir saat agresi militer adalah bukti kesetiaan yang luar biasa. Sangat ironis jika hari ini mereka merasa seperti "orang asing" di tanah sendiri hanya karena birokrasi yang lamban dan empati yang tumpul.

Apakah Aceh lebih baik merdeka? Jawaban atas pertanyaan provokatif ini tidak berada di tangan para aktivis, melainkan di tangan para pengambil kebijakan di Jakarta. Jika negara terus membiarkan Aceh berjuang sendirian melawan lumpur, lapar, dan maut, maka secara tidak langsung negara sedang mendorong Aceh keluar dari pintu rumah besar bernama Indonesia.

Sudah saatnya kita berhenti melihat Aceh sebagai angka-angka dalam APBN, dan mulai melihatnya sebagai saudara sekandung yang sedang sesak napas. Sebelum kata "perpisahan" menjadi satu-satunya pilihan rasional untuk bertahan hidup, mari kita buktikan bahwa Indonesia masih memiliki hati, telinga, dan tangan yang cukup panjang untuk merangkul Aceh. [**]

Penulis: Nasrul Zaman (Akademisi USK/Analis Kebijakan Publik)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema