Beranda / Opini / Membasmi Penyakit Gatal di Sebagian Dayah, Perlu Turun Tangan Pemerintah Aceh!

Membasmi Penyakit Gatal di Sebagian Dayah, Perlu Turun Tangan Pemerintah Aceh!

Minggu, 17 April 2022 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Opini - Dua hal yang menyebabkan saya tidak menjadi ureueng meudagang (santri). Pertama karena berita penyakit gatal di dayah dan kedua, akibat ancaman tebas leher dari seorang mantan berpenyakit gila.

Seorang teman saya pulang kampung setelah tiga bulan merantau meudagang (jak beuet) ke sebuah dayah (pesantren) tekenal di Aceh Utara. Peristiwa itu terjadi di penghujung tahun 1960-an. Di hari kepulangannya ke kampung halaman, banyak tetangga yang datang menjenguknya, termasuk saya yang baru tamat Sekolah Dasar (SD).

Mereka bertanya bermacam-macam perihal keadaan dayah yang sangat terkenal itu, serta bertanya pula kenapa teman saya tersebut balik ke kampung dan tidak mau kembali ke dayah lagi. Akan hal kondisi Dayah, kami para tetangga mendengarnya dengan penuh kekaguman serta mau segera rasanya menjadi ureung meudagang ke dayah itu.

Tetapi penjelasan mengenai sebab-sebab dia pulang kampung menyebabkan hati para tamu menjadi kecut dan kecewa. Satu-satunya alasan teman saya tadi tidak sanggup bertahan menjadi santri di Dayah cukup terkenal itu adalah karena penyakit gatal-gatal yang menimpa hampir semua murid yang baru menyantri di sana. Kami memang melihat bercak-bercak hitam bekas garukan tangan di sekujur tubuh teman saya.

Kini di tahun 2022, ketika saya sudah menjadi orang tua, hal serupa juga menimpa anak saya sendiri. Seorang putera saya yang tidak mau menamatkan kuliahnya dan senang menjadi ureung meudagang, dia sudah menjadi santri lebih kurang 7 tahun. Jumlah tempat pengajian dan dayah yang dia masuki ada 4 tempat.

Di dayah pertama dalam wilayah Aceh Besar dan merupakan dayah terkenal, dia bertahan belajar di sana selama 6 bulan. Alasan tidak betahnya dia di Dayah tersebut juga bersebab penyakit gatal-gatal. Sebulan sekali dia pulang ke rumah, karena mencari obat untuk sakit gatalnya. Pada tempat pengajian ke 2 dia bertahan 4 bulan. Kemudian, pada tempat pengajian ke 3 yang berlangsung hanya pada waktu malam, ia sanggup bertahan 1 tahun.

Dikedua tempat pengajian ini putera saya tidak mengalami masalah penyakit gatal-gatal, karena pengajian hanya berlangsung diwaktu malam, walaupun dia menginap di sana. Sekarang ia menjadi santri di sebuah dayah di tempat lain.

Alhamdulillah, ia sudah sanggup bertahan selama 5 tahun. Namun, keluhan utama selama dia belajar mengaji di sana juga akibat sakit gatal-gatal. Nyaris sebulan sekali dia pulang ke rumah untuk mencari/membeli obat gatal. Bermacam obat gatal telah saya usahakan, akan tetapi penyakit itu tidak sembuh dengan tuntas.

Dalam pemahaman saya, penyakit gatal-gatal itu akan menghinggapi para santri yang belajar secara mondok di sana. Berpuluh-puluh santri, bahkan ratusan tinggal siang-malam di suatu kompleks dayah. Mereka mandi, cuci pakaian, dan berbagai urusan lain di tempat yang sama. Kita bisa menduga, penyakit gatal yang menghinggapi seorang santri akan menular kepada santri-santri yang lain.

Hal ini disebabkan tempat menyuci pakaian, menjemur pakaian serta mandi, dan lain-lain di tempat yang sama. Keadaan gatal-gatal di dayah bukanlah perkara baru. Hal yang sama telah berlangsung sejak jameun keureu’eun (ratusan tahun). Begitu cerita turun temurun.

Dalam hal ini saya berpendapat, pemerintah Aceh wajib turun tangan membuat program memberantas penyakit gatal di sebagian dayah di Aceh! Sebuah daerah yang menabalkan dirinya negeri Syari’at Islam, tentu amat keliru kalau pemerintahnya tidak peduli terhadap lembaga pendidikan yang berkaitan dengan Ilmu Syari’at.

Namun yang perlu dicatat dan diingat, pertama , bagaimana caranya pelaksanaan program ini tidak memberatkan para santri di dayah, baik pungutan biaya tambahan dan sebagainya.

Kedua, terpenting, diusahakan program berantas penyakit gatal ini tidak membuat para santri merasa minder menjadi santri.

Perlu pendekatan manusiawi kepada pimpinan dayah agar beliau memberi izin kepada Pemerintah Aceh melaksanakan program ini.

Pihak dayah pun yang dikoordinir para tokoh santri perlu membentuk aliansi kesehatan santri seluruh Aceh atau dengan nama yang lain. Demi kebaikan dalam hal kesehatan bagi seluruh santri, mereka tak perlu malu mengajukan usulan dan keluhan kepada Pemerintah Aceh.

Peran Dinas Pendidikan Dayah Provinsi Aceh tentu amat menentukan dalam upaya ini. Sekarang, cukup terkenal seorang ahli penyakit kulit, yaitu Muhammad Ja’far Hasibuan dari Asahan, Sumatera Utara. Saya kira tokoh ini atau Lembaga kesehtan yang lain perlu diajak bekerjasama.

Ada anggapan di dayah-dayah, bahwa penyakit gatal yang dialami para murid dayah sebagai ujian bagi para Santri, apakah dia bisa sabar dan lulus dalam ujian tersebut. Akibatnya para santri perlu memiliki semacam kewajiban menerima penderitaan ini dengan sabar dan tawakkal.

Memang ada sebagian santri yang cepat sembuh dari sakit gatal-gatalnya, tapi banyak pula santri yang tubuhnya cukup lama dapat menyesuaikan diri.

Gagal Karena Ancaman Mantan Orang Gila

Selain soal gatal, saya gagal menjadi menjadi ureung meudagang (santri ) karena ancaman mantan orang gila. Kisah ringkasnya yang saya alami.

Di saat saya bersekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) Kota Bakti( 1968), sekaligus diwaktu sore saya belajar mengaji di sebuah dayah yang baru dibangun sekitar 3 tahun.

Akibat pembangunan dayah di suatu tempat yang kurang sesuai dengan lingkungan masyarakat, yang mayoritas warga maju dalam pendidikan sekolah, menyebabkan dayah ini amat kekurangan santri. Jumlah santri bisa dihitung dengan dua belah jari tangan ( sekitar 8-9 orang).

Padahal pemimpin dayah seorang ulama yang terkenal amat pintar di dayah asal beliau di Aceh Selatan, yaitu Dayah Blang Paroh Darussalam, sebelum pulang ke kampung halaman di kabupaten Pidie.

Banyak orang bercerita, bahwa beliau dianggap sebagai “kamus berjalan”. Setiap kali Teungku Syekh Muda Wali Al Khalidy, ada suatu kemusykilan, orang yang beliau minta penjelasan adalah pada ulama ini yang semula murid Teungku Muda Wali sendiri.

Kisah “Kamus Berjalan” ini bukan saya dengar pada orang di sekitar beliau saja, tapi juga di tempat lain. Ketika saya berobat patah dan tinggal setahun ( April 1986 “ April 1987) di Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, Mukim Bungong Taloe, kecamatan Beutong, Aceh Barat, kisah serupa juga pernah saya dengar pada orang-orang yang pernah menyantri ke Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Nama ulama yang pulang ke Pidie ini adalah Teungku Muhammad Syekh Lammeulo dengan nama panggilan akrab Teungku Lammeulo. Kitab beliau terlalu banyak, sehingga saya sempat berpikir beliau punya keude kitab (toko kitab) selama di Aceh Selatan.

Dua hal yang sangat saya kagumi pada Teungku Lammeulo ini, yaitu kerajinan membaca kitab dan kerapian berpakaian. Soal ketekunan membaca, saya rasa lebih kurang seimbang dengan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dosen ilmu sejarah UGM Yogyakarta yang mampu membaca 6 jam sehari sampai diliput TVRI, Yogyakarta. Dikala Pak Sartono membaca, beliau pakai kaca mata min 13 dan sebuah kaca pembesar di tangan kanan beliau.

Dalam soal berpakaian, saya kira tak ada tandingannya di masa itu, rapi dan necis serta baju dan kain sarung beliau terlalu banyak. Saya kira pakaian anak muda putra orang kaya pun tak memiliki pakaian sebanyak itu. Dalam sehari, dua sampai tiga kali beliau berganti pakaian.

Perihal cerita Teungku Lammeulo sampai belajar ke Dayah di Labuhan Haji pun juga amat mencengangkan. Saat itu adalah masa berakhirnya pendudukan Jepang di Aceh alias awal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia( 1945 ).

Sebagai bekal peperangan melawan sekutu, tentera Jepang banyak menyimpan minyak bensin di ujung Gampong Leupeuem. Kecamatan Sakti, Pidie, yang oleh masyarakat disebut “Bak droem Ceupang”( tempat Jepang menyimpan drum minyak).

Sampai saat saya belajar mengaji ke Dayah Titeue Meunasah Cut, di bekas Jepang menyimpan drum bensin di Leupeuem itu masih berhutan lebat dan angker menurut saya.

Di situ masih berdiri kokoh tembok-tembok penyangga drum yang besar-besar. Setiap saya melintasi dengan sepeda sekitar hutan itu, saya selalu melirik ke kiri-kanan dan belakang, jangan-jangan ada babi, anjing gila atau makhluk seram lainnya.

Akibat telah dikalahkan sekutu, Jepang penjaga bekalan bensi pun terpaksa melarikan diri. Agar pangkalan minyak tidak dirampas musuh, maka semua bekal perang itu dibumihanguskan. Akibatnya, terjadilah “lautan api” dan dentuman-demtuman keras karena drum-drum minyak yang meledak.

Masyarakat kampung di sekitar itu menjadi kalang-kabut ketakutan dan lari menyelamatkan diri. Diantara yang melarikan diri pada tengah malam itu adalah seorang anak muda yang bernama Muhammad Syekh. Bertahun-tahun tidak diketahui keluarga keberadaanya. Ternyata beliau “ lari” sangat jauh sampai ke Aceh Selatan.

Di sanalah beliau belajar mengaji di Dayah Blang Paroh, Darussalam, Labuhan Haji selama 22 tahun, baik sebagai ureung Meudagang (Santri) maupun sekaligus sebagai Guree/Guru di Dayah itu. Setelah 22 tahun di sana, barulah beliau pulang ke kampung halaman, yaitu Titeue Meunasah Cut, kecamatan Titeue, kabupaten Pidie dan mendirikan dayah di sana.

Salah seorang peserta pengajian adalah mantan orang gila. Di suatu sore kami hanya berdua, teungku mantan orang gila itu meminta saya membaca satu baris kitab bahasa Melayu, berhuruf Jawi tentang kisah neraka. Sebenarnya beliau bisa membaca sendiri, tetapi matanya sedang kabur.

Karena salah mendengar, beliau menjadi amat marah. Akibatnya dia berkali-kali berucap "Takue gata ubit that" (leher anda sangat kecil, yang bermakna sekali tebas sudah putus). Saat itu saya sangat takut. Terbayang kembali diingatan saya, ketika beberapa tahun lalu ia pernah menebas empat orang perempuan karena tidak menutup kepala (berkerudung). Tapi hanya satu orang yang putus sanggulnya.

Setelah marahnya reda, ia meminjam sepeda saya untuk menjual dua biji ke kelapa ke Keude Klep (Pasar Kecil) di Simpang Titeue. Sewaktu dia pulang dari menjual kelapa, beliau masih berucap “Takue gata ubit that”, pertanda marahnya belum benar-benar padam!.

Pertanyaan terpendam yang selalu terbayang di benak saya hingga hari ini, kenapa saya tidak pulang dan lari ke kampung di saat ia sedang pergi menjual kelapa. Apakah karena sepeda (geuritan angen agam) saya masih amat berharga di masa itu?

Sejak peristiwa itu, saya tidak pernah lagi datang ke dayah tersebut. Akibatnya, gagallah saya menjadi santriwan hingga hari ini.

( Penulis: T.A. Sakti )


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda