kip lhok
Beranda / Opini / Membangun Narasi Aceh Pascakonflik

Membangun Narasi Aceh Pascakonflik

Minggu, 01 Desember 2024 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza Nusuary

DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh adalah wilayah dengan kekayaan budaya, sejarah perjuangan, dan dinamika sosial yang kompleks. Sejak tercapainya kesepakatan damai melalui MoU Helsinki pada 2005, Aceh telah menjadi simbol keberhasilan resolusi konflik di Indonesia. Namun, narasi tentang Aceh di tingkat nasional masih kerap terjebak dalam kerangka "bekas konflik" dan belum sepenuhnya mencerminkan potensi besar Aceh sebagai pelaku utama pembangunan dan integrasi nasional.

Dalam konteks ini, gubernur terpilih diharapkan mampu memainkan peran strategis dalam membangun narasi Aceh yang baru sekaligus menjaga keberlanjutan perdamaian.

Narasi dan Konstruksi Sosial

Hubungan antara daerah dan pemerintah pusat tidak sekadar ditentukan oleh politik dan ekonomi, melainkan juga oleh narasi yang dikonstruksi secara sosial. Narasi ini mencerminkan cara sebuah wilayah dipahami oleh aktor-aktor utama dalam struktur kekuasaan.

Aceh membutuhkan figur gubernur yang mampu memanfaatkan posisi simbolisnya untuk membangun citra progresif dan inklusif, baik di mata pemerintah pusat maupun masyarakat Indonesia secara luas.

Memperkuat Identitas Aceh dalam Bingkai Nasional

Identitas kolektif Aceh kerap dipersepsikan melalui sejarah panjang perjuangan dan karakter religius masyarakatnya. Namun, narasi ini perlu diperluas mencakup kemajuan dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur pascakonflik.

Gubernur terpilih harus menjadi jembatan antara tradisi lokal Aceh dan visi modernitas yang selaras dengan agenda nasional. Pendekatan ini dapat memperkuat posisi Aceh dalam sistem desentralisasi, di mana daerah memiliki hak menentukan jalur pembangunannya sendiri tanpa kehilangan esensi keterpaduannya dengan visi kebangsaan.

Keberlanjutan Pembangunan Perdamaian: Dari Formalitas ke Substansi

Keberlanjutan perdamaian di Aceh bukan sekadar absennya konflik bersenjata, melainkan mencakup pemenuhan keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam paradigma sosiologi, perdamaian harus dipahami sebagai hasil proses dialog berkelanjutan antara struktur dan aktor.

Pemerintah daerah Aceh, di bawah kepemimpinan gubernur terpilih, perlu memperkuat dialog sosial tingkat lokal untuk mengatasi potensi konflik horizontal yang kerap muncul akibat ketimpangan sosial dan kesenjangan akses sumber daya.

Selain itu, gubernur harus memastikan pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) yang akan berakhir pada 2027 benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar anggaran tidak sekadar menjadi alat politik, tetapi berkontribusi pada pembangunan inklusif.

Harapan terhadap Kepemimpinan Visioner

Aceh membutuhkan pemimpin yang mampu mengartikulasikan narasi lokal yang relevan dengan dinamika nasional. Narasi ini harus membawa pesan bahwa Aceh adalah wilayah yang mampu berkontribusi pada kemajuan bangsa—bukan sekadar simbol rekonsiliasi, melainkan pusat inovasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dengan memadukan tradisi, modernitas, dan keadilan sosial, gubernur terpilih memiliki peluang besar menjadikan Aceh sebagai model keberhasilan desentralisasi dan pembangunan perdamaian.

Di bawah kepemimpinan visioner, Aceh dapat menginspirasi daerah lain di Indonesia dalam membangun harmoni sosial dan mengelola keberagaman. Harapan besar ada di tangan gubernur terpilih untuk tidak sekadar melanjutkan, tetapi memperluas makna perdamaian dan kemajuan yang telah dirintis selama hampir dua dekade terakhir.[**]

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary (Dosen Prodi Sosiologi USK, fokus kajian pembangunan sosial, media dan politik)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda