Masker: Nyawa Kedua di Orde Pandemi
Font: Ukuran: - +
“Bôh Preh Ile, Ek Betôi Ile Corona Nyan Na?”( Bahasa Aceh : Sebentar, Apa Benar corona itu ada?)
Demikianlah pertanyaaan seorang kawan dari balik telepon gengammnya kepada saya beberapa waktu lalu. Agaknya meski pandemi corona sudah melanda dunia lebih dari setahun lamanya, kawan tersebut- bahkan mungkin saja sebagian besar masyarakat kita- masih belum dapat mempercayai adanya virus corona virus disease atau covid 19 yang mengintai di keseharian kita.
Mungkin sebagian Anda menggaruk kepala mendengar pertanyaan tersebut. Masak sih hari gini masih menanyakan apakah corona itu ada atau tidak?
Apakah tidak cukup bukti disodorkan di media massa nyaris saban hari memberitakan jumlah korban corona yang terpapar?’
Apakah tidak cukup fakta bahwa dunia kini dilanda kecemasan akibat menggilanya corona dengan varian mutasi yang bahkan sudah menewaskan ratusan ribu setiap hari di india?
Percaya atau tidak, bahwa masih ada “ kalau tidak elok dikatakan malah cukup banyak - masyarakat Indonesia yang sampai hari ini juga masih tidak percaya. Tidak yakin, dan membantah keberadaan virus corona yang jelas menjadi momok bagi dunia saat ini. Kelompok ini dikenal dengan “mahzab anti corona”.
Tidak sedikit populasi penganut mahzab anti corona ini. Keberadaan mereka jelas terlihat disekitar kita. Ketika momentum pelarangan mudik beberapa waktu lalu, tampak jelas keberadaan penganut mahzab ini menyemut di pos pos perbatasan antar provinsi.
Mereka tampak tidak mengindahkan imbauan otoritas setempat yang melarang melintas batas antar provinsi pada masa pandemi. Ketika lebaran tiba, tanpa rasa bersalah kaum anti corona menyemut memadati lokasi wisata.
Tentunya tanpa mengenakan masker yang menjadi ciri khas mahzab ini. Bagi penganut mahzab anti corona, masker adalah beban dan dinilai menganggu aktivitas keseharian. Selain tidak nyaman dan tak jarang membuat susah bernapas. Masker juga dianggap akan merusak penampilan.
Indonesia saat ini memang tengah pusing tujuh keliling. Disatu sisi negara saat ini sedang berhadapan dengan virus yang tidak main main. Virus corona ini selain berbahaya juga dapat mengancam jiwa.
Namun disisi lain negara seperti kelabakan dalam menangani corona. Selain masih belum memadainya fasilitas kesehatan di negara ini, juga kerap harus berhadapan dengan kaum anti corona yang menolak penerapan protokol kesehatan (prokes).
Di negara dunia ketiga, kesadaran untuk menerapkan pola hidup sehat agaknya memang masih jauh dari harapan. Berkaca pada negara seperti India, yang banyak warga menolak mempercayai adanya pandemi virus pada akhirnya harus menelan ludah dengan masifnya ledakan korban dan temuan variant of Concern (VoC) baru yaiut B.1617.2 India.
Orde Pandemi : Tatanan Rezim Baru Pasca Reformasi
Percaya atau tidak, bahwa dunia kini sedang memasuki tatanan baru. Dunia yang sebelumnya baik baik saja, kini sedang memasuki rezim dimana pandemi menjadi bagian dari kehidupan. Penulis menyebut orde ini sebagai “orde pandemi”. Di Indonesia, orde pandemi merupakan lanjutan dari rezim pemerintahan baru paska reformasi.
Dalam orde pandemi, tata kelola pemerintahan harus memperhitungkan pandemi sebagai basis dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Negara menjalankan kebijakan melalui penegakan protokol kesehatan dalam setiap aspek. Namun penegakan prokes yang ketat memiliki dampak. Dampak terbesar adalah terusiknya hak asasi manusia (HAM) dan kesejahteraan warga negara.
Misal dalam aspek HAM yang terusik adalah aspek kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul. Meski dua hal ini dijamin dalam konstitusi, namun atas nama pengendalian pandemi, negara memberlakukan kebijakan untuk membatasi dua aspek ini.
Bila ada individu atau kelompok yang berpandangan secara terang terangan bahwa corona ini hanyalah rekaan, maka yang bersangkutan harus berurusan dengan hukum. Dalam hal kebebasan berkumpul, negara melakukan sejumlah pembatasan aktivitas kerumunan masyarakat dalam rangka pengendalian virus yang semakin hari semakin mengkhawatirkan penularannya.
Dalam aspek kesejahteraan, negara melakukan refocusing atau penganggaran pemerintah pemerintah yang semula digunakan untuk pembangunan dipotong untuk penanganan covid-19. Ekses dari refocusing anggaran adalah berkurangnya dana pembangunan dan berimplikasi bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Indonesia sendiri dituntut menjaga keseimbangan antara pengendalian dan pencegahan virus dengan terjaminnya penyelenggaraan kehidupan sehari hari di dalam masyarakat, seperti aktivitas ekonomi.
kebijakan pengendalian corona kerap harus berhadapan dengan sikap penganut mahzab anti corona yang tetap bersikeras bahwa virus ini tidak ada. segala kebijakan pelarangan kerumunan serta penerapan prokes ketat dianggap sebagai kebijakan yang tidak adil, mengada ada bahkan ada yang mengira cuma sekedar kebijakan berbasis proyek kesehatan. Dilematis memang.
Masker Sebagai “Nyawa Kedua”
Penolakan paling jelas terhadap corona adalah menolak menggunakan masker sebagai standar minimal penegakan prokes pada masa pandemi. Untuk konteks Aceh, data dilansir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia pada Rabu (12/5/2021), mengumumkan hasil laporan survei terkait tingkat kedisiplinan penerapan protokol kesehatan (Prokes) dan tingkat kesediaan masyarakat dalam mengikuti program vaksinasi Covid-19.
Dimana ternyata ditemukan fakta bahwa kesadaran menggunakan masker di Aceh termasuk rendah. Perlu dicatat, bahwa dalam situasi negara sedang dalam kondisi kegentingan, maka akan ada nyawa kedua yang menjadi andalan bertahan dalam situasi genting.
Bila dalam situasi era konflik Aceh ketika darurat sipil, KTP Merah putih merupakan nyawa kedua bagi orang Aceh. Maka di orde pandemi, masker merupakan nyawa kedua. kini Bepergian keluar tanpa mengenakan masker, sama seperti tidak mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor.
Mengutip praktisi gaya hidup sehat, Ade Rai, minimal terdapat dua protokol kesehatan yang perlu dijaga di masa pandemi. Yang pertama protokol kesehatan dari luar seperti menjaga jarak, mencuci tangan dan mengenakan masker.
Kedua yang tak kalah penting, adalah menjaga imunitas tubuh dengan menerapkan tiga kunci pola hidup sehat : pola makan, pola istirahat dan pola olahraga.
Meski sudah ditemukan vaksin. Namun efektifitas vaksin juga akan berkurang seiring dengan meningkatnya laju mutasi virus. Otomatis vaksin lama berkurang efektifitasnya ketika berhadapan dengan varian mutasi virus baru. Maka tiap tahun akan ada vaksin baru untuk berhadapan dengan variasi mutasi virus baru.
Lalu kalau begini kapan akan berakhir pandemi? Tidak ada yang tahu kapan.
Berkaca dari sejarah, perlu belasan bahkan puluhan tahun dimana wabah pandemi yang melanda pada akhirnya berakhir dan manusia hidup normal kembali. Melihat trend gejala dan mutasi virus corona,penulis berkeyakinan bahwa manusia akan hidup berdampingan dengan pandemi virus ini untuk waktu yang tidak sebentar. Bahkan mungkin bisa satu dekade.
Kita dituntut untuk beradaptasi di orde pandemi dengan memulai pola hidup baru yang berdampingan dengan virus. Akan banyak penyesuaian terhadap pola hidup kita di tatanan dunia baru ini.
Mulai aktivitas pekerjaan hingga pola interaksi komunikasi sehari hari. Sekolah daring akan menjadi kelaziman. Bekerja dari rumah menjadi keharusan. Hidup dengan interaksi terbatas secara fisik menjadi bagian dari pola hidup baru di orde pandemi.
Mengenakan Masker- mau tidak mau - adalah standar minimal gaya hidup baru di orde pandemi.
sejarah sudah membuktikan bahwa mereka yang survive dan bertahan adalah bukan hanya yang paling kuat secara fisik, namun juga yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman.[]
*Teuku Harist Muzani; Alumni S2 Kepemiluan Universitas Padjadjaran