Masa Depan Aceh dalam Taruhan: Mampukah Kandidat Gubernur Beradu Gagasan Menjawab Tantangan?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Mufazzal
Mufazzal, Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh semakin dekat. Pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakilnya tinggal beberapa hari lagi. Sudah menjadi lazim, suhu politik semakin memanas, dengan berbagai manuver dan strategi politik. Namun, di tengah hiruk-pikuk politik ini, ada fenomena yang cukup mengkhawatirkan, yaitu hilangnya gagasan dan ide-ide segar dalam membangun Aceh.
Politik Tanpa Visi
Para calon gubernur Aceh tampak lebih sibuk dengan urusan pencitraan dan membangun koalisi politik daripada menawarkan visi yang konkret untuk masa depan Aceh. Padahal, idealnya koalisi politik dibangun atas kesamaan visi antarpartai politik. Sayangnya, yang sering terjadi adalah koalisi politik dibangun bukan atas dasar kesamaan gagasan, tetapi cenderung karena kepentingan yang sifatnya transaksional.
Visi, bukan sekadar kata-kata indah untuk memikat hati pemilih, tetapi sebuah rencana yang jelas untuk membawa perubahan positif bagi Aceh. Pertanyaan pun muncul: bagaimana mungkin seorang pemimpin yang tidak memiliki visi yang konkret bisa membawa Aceh ke arah yang lebih baik? Apalagi saat proses pencalonannya diwarnai oleh praktik transaksional. Praktik transaksional ini sering terjadi dalam bentuk pembagian jatah kursi kepala dinas, alat kelengkapan dewan, atau konsesi izin tambang.
Visi calon kepala daerah seharusnya menjadi cerminan dari tujuan dan langkahlangkah konkret yang akan dilakukan selama masa jabatannya. Bagi masyarakat, ini bukan hanya janji dalam kampanye, tetapi sebuah tolok ukur yang digunakan untuk menilai kelayakan seorang kandidat calon gubernur.
Masyarakat perlu memahami bahwa visi adalah kompas untuk melihat, apakah janji yang diucapkan seorang kandidat itu realistis atau hanya sekadar wacana utopis, yang mustahil bisa diwujudkan. Ketika seorang kandidat akhirnya terpilih, visi inilah yang harus menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kinerjanya. Di sinilah letak kekuatan masyarakat; mereka bisa 'menghukum' politisi yang ingkar janji dengan tidak memilihnya di periode berikutnya.
Namun, dalam Pilkada Aceh 2024 ini, masyarakat sedang menyaksikan kandidat-kandidat yang akan bertarung adalah mereka yang krisis visi. Masyarakat Aceh tidak membutuhkan janji-janji manis yang kosong. Mereka membutuhkan pemimpin yang benar-benar memahami dan mampu menjawab tantangan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, terutama masalah ekonomi yang saat ini menjadi tantangan terbesar di Aceh.
Ekonomi Tanpa Arah
Persoalan ekonomi di Aceh sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang serius dari pemimpin terpilih. Gerak nadi ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) serta dana Otonomi Khusus (Otsus), sementara itu, potensi sumber pendapatan baru belum dimanfaatkan secara optimal.
Lebih parahnya lagi, kemiskinan masih menjadi masalah yang menjerat masyarakat Aceh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 804,53 ribu jiwa atau sekitar 14,23 persen dari total populasi. Ironisnya, meski pun Aceh memiliki APBA terbesar di Sumatera, Aceh juga tercatat sebagai daerah termiskin di pulau ini selama 22 tahun sejak dari 2002.
Kekayaan alam Aceh yang melimpah semestinya menjadi modal besar untuk kemajuan daerah. Namun, kekayaan tersebut belum dikelola dengan baik. Realitas ini seolah menjadi pembenar tesis Richard Auty (1993) yang berpendapat bahwa daerah kaya sumber daya alam ‘dikutuk’ menjadi miskin. Jika tidak ada strategi yang tepat, kemiskinan di Aceh berpotensi semakin memburuk di masa depan. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya lapangan kerja di Aceh.
Rilis data BPS mencatatat, tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada tahun 2023 mencapai 157 ribu jiwa atau 6,03 persen dari angkatan kerja, dengan mayoritas pengangguran berasal dari lulusan SLTA dan perguruan tinggi. Ini menjadi sebuah ironi karena seharusnya mereka yang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.
Jika kondisi ini dibiarkan tanpa upaya serius untuk menciptakan lapangan kerja baru, gelombang pengangguran di masa depan akan semakin besar, terutama dari generasi muda yang saat ini masih berada di bangku sekolah menengah.
Kualitas Pendidikan Rendah
Situasi ini diperparah oleh lemahnya sektor pendidikan yang seharusnya menjadi salah satu kunci utama dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengatasi kemiskinan (Amartya Sen:1999). Pendidikan berkualitas adalah cara paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan, namun sayangnya, kualitas pendidikan di Aceh masih jauh dari harapan.
Keterbatasan daya saing lulusan sekolah di Aceh menjadi cerminan dari lemahnya sistem pendidikan. Hanya sedikit lulusan SLTA Aceh yang berhasil menembus universitas-universitas terbaik di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Lebih jauh lagi, hampir tidak ada lulusan yang berhasil masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Aceh perlu dibenahi secara menyeluruh dan disesuaikan dengan standar terbaik dunia.
Sudah saatnya anak-anak Aceh dibekali dengan pendidikan kualitas terbaik, sehingga mereka mampu melihat dirinya sebagai entitas manusia global, yang bersaing di level global, bukan antar provinsi. Penulis melihat, anak-anak Aceh punya kelebihan yang jarang dimiliki bangsa-bangsa di dunia, yaitu budaya kritis.
Kritis adalah basis utama ilmu pengetahuan. Sehingga jika budaya kritis yang sudah mengakar ini dipadukan dengan sistem pendidikan terbaik, niscaya akan menghasilkan manusia-manusia yang luar biasa.
Pemimpin yang terpilih di Pilkada Aceh 2024 sudah dihadapkan pada masalah yang perlu sesegera mungkin untuk diselesaikan, yaitu masih banyak anak-anak di Aceh yang terpaksa putus sekolah karena berbagai alasan, salah satunya adalah keterbatasan ekonomi.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa ada lebih dari 25 ribu anak yang putus sekolah di Aceh. Angka inimenunjukkan bahwa kesenjangan akses pendidikan masih menjadi masalah besar. Tanpa pendidikan yang layak, anak-anak ini berisiko terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Peran Masyarakat dan Media Masa
Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. Publik Aceh harus lebih kritis dan menuntut para kandidat untuk menawarkan gagasan yang konkret dan terukur. Masyarakat perlu menolak politik pencitraan dan transaksional yang hanya menguntungkan segelintir elit politik.
Dan mereka harus berani meminta pertanggungjawaban dari para calon gubernur atas janji-janji yang diusungnya. Pilkada 2024 adalah saat yang tepat bagi masyarakat Aceh untuk bersuara dan menuntut perubahan yang nyata.
Selain itu, media massa juga memiliki peran penting dalam menciptakan diskusi yang substantif. Media harus menghindari pemberitaan yang hanya berfokus pada sensasi politik, dan sebaliknya lebih mengangkat isu-isu yang relevan dengan kebutuhan rakyat Aceh.
Media harus menjadi jembatan antara para kandidat dan masyarakat, menyampaikan informasi yang benar-benar relevan dan menjawab dan bermakna.
Pilkada momen adu gagasan
Pilkada Aceh kali ini harus menjadi momentum untuk menghadirkan pemimpin yang visioner, yang memiliki komitmen kuat untuk membangun Aceh dengan gagasan yang jelas dan terukur. Tanpa itu, Aceh akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama, tanpa ada perubahan yang signifikan. Para kandidat harus meninggalkan retorika kosong dan mulai menawarkan solusi nyata untuk permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh.
Sekarang bukan lagi saatnya bermain-main dengan menebar pesona, melainkan waktu untuk bertindak dan membuktikan bahwa mereka benar-benar memiliki kapasitas untuk memimpin Aceh menuju masa depan yang lebih baik. [**]
Penulis: Mufazzal (Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro)