Selasa, 26 Agustus 2025
Beranda / Opini / Manuver Cerdas Gubernur Aceh: Mengembalikan Tanah Wakaf Blang Padang Lewat Fatwa MUI

Manuver Cerdas Gubernur Aceh: Mengembalikan Tanah Wakaf Blang Padang Lewat Fatwa MUI

Selasa, 26 Agustus 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aryos Nivada

Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi


DIALEKSIS.COM | Opini - Blang Padang, lapangan luas di jantung Banda Aceh, selama ini dikenal sebagai ruang publik tempat warga berolahraga, upacara, hingga rekreasi. Namun di balik keteduhan pepohonan dan hiruk pikuk aktivitas, tersimpan kisah panjang yang getir pertarungan antara hak wakaf umat, kepentingan militer, dan tarik-menarik politik.

Puluhan tahun persoalan ini berjalan di tempat. Gugatan demi gugatan mentok, protes masyarakat seakan terhenti di tembok kekuasaan. Hingga satu langkah tak terduga dari Gubernur Aceh membuka jalan, caranya ia meminta fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Sebuah manuver yang, dengan tenang namun tegas, mengurai simpul kusut sejarah, hukum, dan politik.

Menurut dokumen sejarah, Blang Padang adalah tanah wakaf Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), dikenal sebagai Oemong Sara. Hasil wakaf itu diperuntukkan bagi imam, khatib, dan bilal Masjid Raya Baiturrahman.

Namun pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan, lahan itu perlahan berubah fungsi. Paska kemerdekaan, sebagian besar dikuasai TNI dan dijadikan lapangan militer. Dari sinilah bermula pertentangan tanah wakaf beralih ke tangan negara tanpa dasar yang sah.

Protes ulama dan masyarakat bergema sejak dekade 1970 - an, tetapi berulang kali terhenti di hadapan kekuatan militer. Sengketa ini lalu memasuki ranah hukum, namun jalurnya berliku. Banyak upaya formal justru terhenti karena “benturan” dengan institusi negara.

Bagi rakyat Aceh, persoalan ini lebih dari sekadar sengketa lahan. Ia menyangkut martabat syariat Islam dan kedaulatan sejarah Aceh. Mengembalikan Blang Padang sama artinya mengembalikan marwah peradaban Islam di Serambi Mekkah.

Secara formal, Aceh memiliki Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). MPU adalah lembaga resmi dengan kewenangan memberi fatwa di tingkat provinsi. Tetapi sang gubernur memilih jalur lain: ia meminta fatwa MUI Pusat di Jakarta.

Sekilas langkah ini mengundang tanda tanya. Namun jika ditelaah, keputusan tersebut adalah strategi politik yang jitu mencerminkan bacaan sebagai legitimasi nasional. Hal ini dikarenakan, sengketa ini menyangkut aset TNI institusi yang berada langsung di bawah pemerintah pusat. Dengan fatwa MUI, gubernur memperoleh legitimasi yang berlaku secara nasional, tidak terbatas di Aceh. Fatwa itu sekaligus menjadi tameng moral dan hukum ketika berhadapan dengan militer.

Selain itu memiliki bacaan dimata publik, dimana rekomendasi dari MUI menunjukan cara Muzakir Manaf selaku gubernur untuk menghindari friksi lokal. Potensi gesekan politik tinggi di lokal tidak terjadi, apalagi isu sebesar Blang Padang. Fatwa dari MPU bisa memicu tarik-uluran kepentingan internal. Dengan menggandeng MUI, gubernur menghindari risiko konflik domestik.

Catatan lain dikeluarkan MUI sebagai otoritas entitas tertinggi lembaga keulamaan. MUI Pusat memiliki otoritas dalam kasus keagamaan yang menyangkut aset negara. Fatwanya tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mengikat secara politik, sehingga lebih relevan dalam perkara ini.

Akhirnya, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan tanah Blang Padang adalah wakaf Sultan Iskandar Muda yang harus dikembalikan ke Masjid Raya Baiturrahman.

Fatwa ini menjadi titik balik. Bukan hanya sekadar opini keagamaan, melainkan alat legitimasi yang meneguhkan posisi gubernur. Dengan fatwa di tangan, ia punya alasan kuat untuk menuntut pengembalian hak umat.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana politik dan agama berpadu. Dalam politik Aceh, ulama bukan hanya simbol, tetapi aktor kunci yang dapat mengubah jalannya sejarah.

Langkah ini diperkuat dengan surat resmi Gubernur Aceh kepada Presiden Republik Indonesia. Surat bernomor 400.8/7180, bertanggal 17 Juni 2025, menegaskan permintaan agar Blang Padang dikembalikan sebagai tanah wakaf.

Surat itu bukan sekadar formalitas. Di dalamnya tertuang dokumen sejarah yang kaya mulai dari catatan Van Langen (1888) dan Snouck Hurgronje, peta Belanda 1875 dan Koetaradja 1915, sertifikat tanah wakaf Blang Punge, laporan hasil pemeriksaan BPK RI 2024, kwitansi kontribusi Blang Padang untuk Masjid Raya, dan testimoni ulama, akademisi, serta keturunan Sultan.

Diplomasi ini menegaskan bahwa perjuangan bukan sekadar lokal, melainkan bagian dari dialog Aceh dengan negara.

Pengembalian tanah Blang Padang bukan hanya soal aset. Ia adalah simbol kedaulatan agama di Aceh, provinsi yang sejak awal memiliki kekhususan dalam menjalankan syariat Islam.

Bagi rakyat, keberhasilan ini menjadi bukti bahwa negara mengakui kembali sejarah Aceh. Bahwa tanah yang diwakafkan Sultan berabad lalu kini kembali ke pangkuan umat.

Di titik inilah, manuver gubernur berubah menjadi simbol politik. Ia bukan hanya menyelesaikan sengketa lahan, tetapi juga merawat ingatan kolektif tentang marwah Islam di Aceh.

Gerakan ini juga memperoleh legitimasi sosial. Ulama, akademisi, dan keturunan Sultan ikut menandatangani pernyataan bersama, menegaskan Blang Padang adalah wakaf Sultan Iskandar Muda.

Dukungan ini mengubah isu Blang Padang dari sekadar urusan pemerintah menjadi aspirasi publik. Gubernur dengan lihai memposisikan diri bukan hanya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai pelayan umat yang memperjuangkan hak masyarakat.

Apa arti kemenangan ini bagi Aceh? Setidaknya ada tiga dampak penting. Dari sudut pandang kepastian hukum dengan fatwa MUI dan bukti sejarah, posisi tanah wakaf tak lagi samar. Ini bisa jadi preseden untuk kasus wakaf lain yang masih diperebutkan. Dari perspektif penguatan syariat, Aceh semakin kokoh sebagai provinsi yang menjalankan syariat Islam. Simbol pengembalian tanah wakaf ini mempertegas keistimewaan Aceh. 

Terakhir ketiga cara Mualem menunjukan kredibilitas politik dari seorang pemimpin. Sehingga penilaian dan kesan dimata masyarakat Aceh manuver ini menaikkan pamor gubernur sebagai pemimpin yang berani, cerdas, dan berpihak pada umat. Ia bukan hanya birokrat, tetapi negarawan yang mampu menyelesaikan sengketa panjang dengan jalan elegan.

Kasus Blang Padang adalah cermin bahwa persoalan pelik tak selalu bisa diurai dengan jalur hukum semata. Dibutuhkan kecerdikan membaca peta kekuasaan, memanfaatkan legitimasi ulama, dan menempatkan isu lokal dalam kerangka nasional.

Seperti pepatah: menarik rambut dalam tepung, rambut terambil, tepung tak berserak. Sengketa Blang Padang terselesaikan, umat mendapatkan haknya kembali, negara tidak kehilangan wibawa, dan gubernur meneguhkan dirinya sebagai pemimpin dengan manuver cerdas.

Penulis: Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
17 Augustus - depot
sekwan - polda
bpka