Makmeugang, Tradisi Masyarakat Aceh Menyambut Bulan Suci Ramadan
Font: Ukuran: - +
Penulis : Assauti Wahid
Aceh memiliki tradisi unik di saat menyambut bulan suci Ramadan. Masyarakat menyebutnya "uroe makmeugang" atau meugang. Tradisi sudah turun-temurun dilakukan di tanah Rencong. Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun, yaitu meugang puasa, meugang uroe raya puasa (menjelang hari raya idul fitri) dan juga meugang uroe raya Haji (menjelang hari raya Haji/iduladha).
Tradisi meugang juga disebut tradisi makan daging sapi, kerbau dan kambing. Bagi masyarakat Aceh, menyambut bulan Ramadan atau Hari Raya/Lebaran tanpa tradisi meugang akan terasa hambar dan patut dipertanyakan ke-Acehannya. Itu sudah sebuah kewajiban, sehingga jarang dijumpai pada masyarakat Aceh yang tidak makan daging kerbau atau sapi menjelang tiba bulan suci Ramadan. Hari meugang sudah menjadi wadah untuk saling silahturahmi sesama masyarakat Aceh atau silahturahmi kekeluargaan.
Lebih-lebih bagi pengantin baru yang baru nikah. Itu kalau tidak beli daging kerbau/sapi di hari meugang, rasa-rasanya malu tinggi seperti hilang martabat atau marwah di mata mertua dan keluarga. Sebab itu, tidak sedikit pada hari meugang, orang Aceh yang merantau jauh pulang ke gampong halaman untuk berkumpul dengan saudara menikmati daging meugang bersama-sama yang dimasak oleh Ibu/Mak tercinta. Menunggu kepulangan sang anak yang sedang menuntut ilmu, bekerja dan lain sebagainya di perantauan orang.
Ada perasaan sedih dan menetes air mata pada hari meugang apabila anak tidak pulang gampong untuk meugang bersama-sama untuk merasakan daging yang dimasak Ibu/Mak tercinta. Lahir ungkapan yang familiar seperti "uroe geut, beuleun geut, leumang mak peuget hana meuteume rasa". Yang artinya hari baik, bulan baik, leumang tidak bisa rasa.
Leumang merupakan salah satu kuliner yang turun-temurun dilakukan masyarakat Aceh menjelang bulan Ramadan. Yang terbuat dari santan kelapa, beras ketan, ubi talas, singkong dan daun pisang muda serta bambu muda sebagai wadahnya menjadi bahan utama membuat lemang atau orang Aceh menyebutnya Leumang.
Jika masih anak-anak, kita diajak oleh ayah ke pasar atau ketempat penyembelihan hewan meugang yang biasa dibuat khusus di bantaran sungai atau dekat sungai untuk hari meugang saja, tidak ada hari lain. Ini bisa kita jumpai atau temukan di Kabupaten Aceh Barat Daya yang sampai saat ini masih dilakukan di bantaran Sungai Krueng Beukah.
Sekadar untuk membeli minimal 1 kilogram hingga 2 kilogram daging kerbau atau sapi beserta dengan rempah-rempah dapur seperti cabe, kunyit, jahe dan lain sebagainya. Kemudian dibawa pulang untuk dimasak oleh Ibu/Mak dan juga pihak keluarga lainnya membantu bersama-sama memasak daging meugang.
Sebagian dimasak gulai kari, rendang dan juga digoreng pakai sambal. Di siang harinya, keluarga sudah terkumpul, semua daging meugang yang masak ditaruh di atas meja, membaca doa baru makan bersama-sama. Perasaan senang, bahagia dengan dibalut suasana meugang menjelang tiba masuk bulan Ramadan sangat kental terasa pada saat itu.
Alangkah bahagia dan senang kita, kaya dan miskin, penjabat dan yang bukan penjabat, sama-sama merasakan suasana tanpa kelas sosial, berbaur dalam setara kekeluargaan dan kebersamaan untuk menyantap makan daging bersama-sama.
Sejarah Meugang/Mak Meugang di Aceh
Tradisi Meugang/Mak Meugang lahir sejak masa era kepemimpinan Sultan Aceh Darussalam pada masa Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam pada tahun 1607-1636 di Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada saat itu Sultan mengadakan acara penyembelihan secara massal dengan menyembelih sapi/kerbau dalam jumlah besar kemudian dibagikan dagingnya kepada seluruh rakyatnya tanpa kecuali siapa ia, darimana berasal dan semua sama pembagiannya.
Ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur Sultan kepada Allah SWT atas kemakmuran dan nikmat rezeki yang diberikan, serta kesejahteraan rakyatnya. Selain itu juga dilakukan sebagai rasa terima kasih Sultan kepada rakyatnya yang telah mengabdi dan terus mendukung pemerintahannya.
Proses aturan meugang tersebut telah tertuang dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-Undang Kesultanan Aceh). tata cara pelaksanaan meugang di masa era Kesultanan ialah dengan cara mendata jumlah rakyatnya atau warga miskin dan anak yatim. Sebulan menjelang tiba masuk bulan Ramadan, data tersebut kemudian diverifikasi oleh lembaga resmi Kesultanan atau Qadhi, yang selanjutnya memilih penerima daging meugang yang layak, dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima tanpa nepostisme.
Di dalam buku Prof H. Ali Hasjmy dengan judul Sejarah Kebudyaan Islam di Indonesia, 1990 halaman 151 mengatakan, terjadi pada sehari sebelum bulan Ramadan 30 atau 29 Syakban. Di Kraton Darud Dunia diadakan upacara atau ada acara khusus, yang dihadiri oleh Sultan, para menteri, para pembesar istana, para perwira dan pemimpin rakyat, para ulama dan cerdik pandai.
Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Tama Setia mempersembahkan bungong jaroe kepada Sultan berupa pakaian untuk dipakai raja dalam upacara itu. Syahbandar juga menyediakan karangan bunga untuk dibawa ke “kandang” makam para raja-raja.
Pada hari itu Sultan memerintahkan Imam Baitul Fakir/Miskin mengumpulkan orang lumpuh dan janda-janda. Dana disediakan oleh Qadli Mu’adhdham sebagai bendahara Khazanah Balai Silahturahmi. Seiring waktu atau lambat laun, hingga kini tepatnya di tahun 1442 H bertepatan dengan tahun 2021 Masehi, Meugang menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh yang mayoritas muslim atau beragama Islam.
Meski modelnya berbeda dengan waktu era Sultan Iskandar Muda, makna terkandung di baliknya sama, tidak ada berubah sedikitpun. Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan masyarakat Aceh dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.
Jauh hari sebelum datang bulan suci bulan Ramadan, masyarakat sudah mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut bulan suci Ramadan penuh berkah ini, diantaranya melakukan gotong-royong secara massal baik tua dan muda, maupun secara pribadi. Baik itu, di sekitar rumah, di meunasah atau di masjid. Sedangkan kaum ibu biasa main arisan untuk persiapan perlengkapan alat dapur seperti tepung, gula dan lain sebagainya, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.
Penulis: Assauti Wahid (Peneliti Junior di Icaios/Alumnus Sekolah Muharram Journalism College).