kip lhok
Beranda / Opini / Leadership: Entrepreneruship atau Politik? Pedagang menjadi Nabi

Leadership: Entrepreneruship atau Politik? Pedagang menjadi Nabi

Senin, 05 Februari 2018 17:05 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Said Muniruddin

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIEM. Peristiwa gua Hira’ di malam ke 17 bulan Ramadhan sekitar tahun 610 Masehi merupakan kejadian spektakuler yang kemudian mengubah dunia. Untuk pertama kalinya Firman Tuhan diucapkan dalam bahasa Arab. Perintah "iqra!" (Bacalah!) tidak hanya menjadi ayat pertama, tapi sekaligus menjadi bai’at kenaikan karier seorang manajer bisnis, menjadi Rasul.

Ini sesuatu yang langka, seorang pedagang Arab asal Mekkah yang tak pernah (bukan tidak bisa) membaca Suhuf Ibrahim atau Sefer Yetzirah, tak pernah melihat Torah atau Pentateuch, tak pernah mengkaji Zabur atau Tehillim, tak pernah membuka Injeel atau Gospel dan mungkin tak mengenal siapa itu Musa, Daud, dan Isa, mengalami suatu kejadian yang mirip dengan pengalaman-pengalaman mereka (K. Armstrong, 2001. Sejarah Tuhan. Jakarta: Mizan).

Modernitas yang Memiskinkan 

Sudah menjadi kebiasaan rutin Muhammad bin Abdullah, setiap tahun pada bulan suci tertentu pergi mengasingkan diri dari kebisingan kota. Ini dilakukan sambil memberikan sedekah dan membagikan makanan kepada fakir miskin dan anak telantar. Muhammad SAAW muda adalah seorang yang selalu gelisah. Ia begitu khawatir terhadap keruntuhan moral yang melanda Mekkah, di tengah pertumbuhan ekonomi yang sedang dinikmati kota itu.

Selama dua generasi sebelumnya, kehidupan orang Arab sangat keras. Tidak hanya miskin, tapi juga terisolir dari adikuasa ekonomi dunia, Romawi dan Persia. Baru di penghujung abad ke-6 terjadi booming ekonomi yang dahsyat. Makkah di masa remaja Muhammad telah menjadi pusat keuangan internasional. Kota ini menjadi tujuan dan lalu lintas dagang. Arus modal mengalir cepat. Masyarakat yang dulunya hidup pas-pasan kini menikmati keuntungan aliran uang yang dahsyat. Jumlah kekayaan mereka telah melampaui imajinasi ketika mereka dulu miskin.

Kemakmuran baru ternyata membawa malapetaka. Gaya hidup ikutan berubah, dari masyarakat sosial menjadi masyarakat kapitalis, yang angkuh dan rakus. Sebagian besar bahkan meyakini kekayaan akan memberi kehidupan abadi. Ketamakan meningkat. Egoisme pribadi dan kesukuan meluas. Hak-hak kelompok lemah telah diabaikan. Fakir miskin dan anak yatim mulai ditelantarkan. Kemerosotan moral semakin menjadi-jadi, diiringi meningkatnya perselisihan.

Gaya hidup kapitalistik baru Mekkah ini jelas bertentangan dengan etos lama mereka, yaitu muruwah. Kata Ini dapat diartikan sebagai "kesetiaan", "dedikasi", "pengabdian", atau "tanggungjawab" terhadap anggota suku. Dalam prinsip lama tersebut, yang miskin dan lemah diproteksi, dimana kedermawanan sebagai karakter kunci. Tidak ada kerakusan terhadap materi, karena semua hak anggota kelompok akan dibagi. Dalam sistem ini, pembelaan dan perlindungan terhadap anggota sangat nyata. Etika inilah yang hilang ketika tsunami kapitalisme melanda Mekkah dan kawasan Hijaz.

Kondisi modernitas Arab ini bermiripan dengan kondisi dunia yang kita rasakan kini. Kondisi ini dikenal sebagai periode jahiliyah atau era "kebodohan". Suku-suku Arab saat itu mulai hampa dari nilai-nilai spiritual. Mereka tertarik untuk menuhankan uang, disamping patung-patung lain sebagai sesembahan.

Artinya, kapan saja ketika suatu kaum terjebak dalam kecintaan kepada materi, maka mereka telah masuk dalam era jahiliyah, bodoh dan kosong dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Pada masyarakat kapitalistik jahiliyah inilah kemudian Muhammad SAAW muncul dan menawarkan sebuah ideologi modern: "keummatan" dan "ketauhidan".

Ajaran baru ini sebenarnya masih memiliki akar kuat dalam tradisi Ibrahim yang hanif, nenek moyang mereka sendiri, yang kini telah dilupakan. Model spiritualitas baru yang diusung Muhammad SAAW ternyata mampu membantu menemukan kembali jati diri dari nilai-nilai kemanusiaan mereka, bahkan dengan konsep yang jauh lebih rasional. Muhammad SAAW memang jenius.

Konsep "ummah" ini mengandung pesan universal masyarakat ideal: "masyarakat taat hukum", "masyarakat adil makmur", atau "masyarakat madani". Masyarakat cita adalah model masyarakat atau negara yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip alQuran, apapun bentuk negaranya.

Tidak ada pesan resmi dalam alQuran terkait bentuk negara. Model masyarakat apapun yang hendak dibangun merupakan wilayah kreatifitas manusia. Apakah mengusung nama negara Islam, republik demokrasi, negara kesatuan, kerajaan dan sebagainya; selama kontennya masih berupa nilai-nilai keadilan dan ihsan, maka termasuk visi "ummah".

Kita tidak sekedar menginginkan jargon-jargon agama dalam kehidupan bernegara. Secara substantif yang kita inginkan adalah masyarakat yang secara sosio kultural islami (baldatun thayyibatun warabbul ghafur) bukan sekedar berlabelkan "Islam" atau "Syariah". 

Membangun Ummah, dari Entrepreneur ke Politisi

Kehidupan Muhammad SAAW sederhananya terbagi dua, sebagai pebisnis dan sebagai politisi. Muhammad SAAW, dua pertiga umurnya, dari kecil hingga usia 40 tahun, digunakan untuk membangun kekuatan karakter dan finansial melalui interaksi sosial dan dagang. Pada fase ini, selama empat puluh tahun pertama dari hidupnya, Muhammad SAAW melakukan "perkaderan diri", baik dari sisi intelektualitas, spiritualitas, kapital dan kredibilitas. 

Sepertiga sisanya, umur 40-63 tahun, dihabiskan untuk membangun "gerakan politik". Pada sisa 23 tahun ini, secara intensif ia dedikasikan nafasnya untuk perjuangan sosial. Ia berhasil mempersatukan suku-suku liar dan terpecah, menjadi sebuah komunitas baru, dalam satu identitas tunggal yang di sebut ummah. Semua harta yang ia miliki termasuk milik Khadijah istrinya habis dalam perjuangan ini.

Demikianlah fungsi dari harta, dicari untuk digunakan pada sebuah misi suci. Bukan untuk diakumulasi tujuh keturunan. Pemimpin-pemimpin yang baik selalu menggunakan hartanya untuk membangun masyarakat, bahkan mereka menjadi miskin karenanya. Para pemimpin, politisi dan birokrat yang tidak bertauhied justru berhasil mengumpulkan harta dan kaya raya karena ia memiliki jabatan. Padahal secara logika sangat tidak memungkinkan bagi mereka untuk kaya dengan tupoksi yang mereka punya.

Demikianlah, bisnis dan politik merupakan jalur dakwah, dua sunnah yang diajarkan Nabi SAAW untuk memenangkan masa depan. Bangsa-bangsa besar di dunia acapkali mendominasi dunia dengan dua kekuatan strategis ini. Namun Muhammad sukses membangun ummah via bisnis dan politik yang dibimbing wahyu. Kita juga mesti memiliki spirit yang sama, berbisnis dan berpolitik dengan bimbingan Alquran. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

Said Muniruddin, dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda