DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh memiliki potensi besar untuk tumbuh sebagai wilayah yang unggul dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, Aceh justru mengalami stagnasi di berbagai sektor. Indikator pembangunan manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, dan kualitas layanan publik belum menunjukkan kemajuan signifikan jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Salah satu akar persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pemerintahan, serta minimnya kolaborasi antara institusi pendidikan tinggi—terutama Universitas Syiah Kuala (USK) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry—dengan Pemerintah Aceh dalam merancang dan melaksanakan agenda pembangunan.
Kualitas pendidikan dasar dan menengah di Aceh masih menghadapi banyak tantangan. Padahal, USK dan UIN Ar-Raniry memiliki program studi di bidang keguruan dan ilmu pendidikan yang dapat berperan besar dalam meningkatkan kualitas pengajaran. Sayangnya, kemitraan strategis antara fakultas-fakultas ini dengan Dinas Pendidikan Aceh belum dimanfaatkan secara optimal.
Teori Triple Helix yang dikemukakan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (2000) menekankan pentingnya sinergi antara akademisi, pemerintah, dan sektor industri dalam pembangunan. Jika pemerintah membuka ruang kolaboratif bagi akademisi untuk terlibat dalam penyusunan kurikulum, pelatihan guru, hingga evaluasi sistem pendidikan, maka transformasi pendidikan Aceh bisa lebih terarah dan berkelanjutan.
Di sektor pertanian, Aceh menyimpan potensi besar untuk menjadi lumbung pangan nasional. Namun, ketiadaan sinergi antara Fakultas Pertanian USK dan pemerintah daerah membuat hasil riset pertanian sulit diaplikasikan di lapangan. Masih dominannya praktik pertanian tradisional dan rendahnya adopsi teknologi menunjukkan terputusnya alur pengetahuan dari kampus ke masyarakat.
Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999) menegaskan bahwa pembangunan bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi, melainkan perluasan kemampuan masyarakat. Tanpa penerapan hasil riset akademik, petani lokal tidak memiliki akses terhadap pengetahuan modern yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup mereka.
Di bidang kesehatan, angka stunting yang tinggi, rendahnya kesadaran sanitasi, serta terbatasnya layanan kesehatan dasar menunjukkan bahwa intervensi kesehatan belum berbasis pada data ilmiah yang kuat. Padahal, Fakultas Kedokteran di USK dan UIN memiliki kapasitas untuk memberikan dukungan riset dan pengabdian masyarakat secara langsung.
Ketidakhadiran akademisi dalam perumusan kebijakan kesehatan di tingkat provinsi menciptakan jurang antara ilmu dan kebijakan. Konsep Evidence-Based Policy Making (Nutley et al., 2007) menjadi sangat relevan di sini—kebijakan yang didasarkan pada data dan riset akan lebih efektif dan efisien dalam menjawab kebutuhan publik.
UMKM di Aceh memegang peran penting dalam menggerakkan ekonomi lokal. Namun, penguatan sektor ini masih sporadis dan minim pendampingan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK seharusnya dapat berperan sebagai katalisator pengembangan UMKM melalui riset, pelatihan, dan pendampingan kewirausahaan. Namun, tanpa kolaborasi yang kuat dengan pemerintah, potensi ini hanya akan tinggal di atas kertas.
Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) menekankan pentingnya menciptakan ekosistem inovatif yang melibatkan pendidikan, pemerintah, dan komunitas kreatif. Kolaborasi seperti ini dapat memantik pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan dan kewirausahaan di Aceh.
Sudah saatnya pemerintah Aceh memandang institusi pendidikan tinggi sebagai mitra strategis dalam pembangunan, bukan hanya sebagai lembaga pencetak lulusan. Pemerintah perlu membuka ruang formal kolaborasi melalui forum bersama yang melibatkan akademisi dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi kebijakan publik.
Pemberian insentif seperti dana riset terapan, hibah pengabdian masyarakat, dan dukungan implementasi hasil penelitian akan menjadi langkah positif yang memperkuat kontribusi akademik. Sebaliknya, institusi pendidikan tinggi juga harus lebih proaktif dalam menawarkan solusi dan inovasi kepada pemerintah daerah.
Kegiatan seperti seminar kebijakan, lokakarya multisektor, hingga program pengabdian berbasis komunitas (community-based development) bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan dunia akademik dan kebutuhan masyarakat.
Melibatkan mahasiswa dalam program pembangunan juga menjadi langkah strategis. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN), pengabdian masyarakat, hingga magang di pemerintahan dapat menjadi sarana belajar sekaligus kontribusi nyata. Mahasiswa dari Fakultas Kedokteran dapat melaksanakan edukasi kesehatan di desa-desa, sementara mahasiswa pertanian dapat membantu petani menerapkan sistem pertanian modern. Pendekatan ini selaras dengan konsep service learning, yakni pembelajaran yang menggabungkan akademik dan aksi sosial secara langsung.
Kolaborasi tidak hanya harus berhenti di tingkat lokal. Aceh perlu membangun jejaring nasional dan internasional. Pertukaran dosen dan mahasiswa, program riset bersama dengan universitas ternama, hingga kolaborasi dengan lembaga internasional dapat membuka cakrawala baru dalam pembangunan Aceh. Transformasi berbasis ilmu pengetahuan akan lebih kuat jika diperkuat oleh koneksi global dan adaptasi terhadap praktik terbaik dunia.
Pembangunan Aceh membutuhkan lompatan besar, dan pendidikan tinggi adalah salah satu kunci utama untuk melompat lebih jauh. Tanpa kolaborasi yang erat antara pemerintah dan perguruan tinggi, potensi akademik akan terbuang sia-sia, dan pembangunan akan berjalan tanpa fondasi ilmiah yang kokoh.
Jika kolaborasi ini terwujud secara konkret dan berkelanjutan, kita tidak hanya mempercepat pembangunan Aceh hari ini, tetapi juga membangun fondasi kuat bagi generasi masa depan. Aceh memiliki semua modal untuk bangkit—yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk bersinergi dan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah mitra sejati pembangunan.
Penulis: Dr. Nasrul Zaman, Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Akademisi USK