Kini, Gudang Hikayat Itu Nyaris Kosong
Font: Ukuran: - +
T.A. Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh. [Foto: Istimewa]
UU. Hamidy, pakar Hikayat Aceh asal Unri, Pekanbaru-Riau; yang setahun penuh meneliti hikayat di Aceh tahun 1974 menyebutkan, bahwa jumlah hikayat Aceh tempo dulu hampir 1000 (seribu) judul (Baca: Aceh Gudang Hikayat Nusantara; Serambi Indonesia, Minggu, 12 Agustus 2007/Budaya).
Dr. Snouck Hurgronje, orientalis Belanda dalam bukunya, tahun 1894; yang sejak tahun 1985 sudah diterjemahkan,: “Aceh di Mata Kolonialis” menyebutkan, bahwa ia telah mengkaji 98 judul hikayat (sebagian besarnya mungkin masih tersimpan di Belanda). Penyalinan hikayat ke dalam huruf Latin serta penterjemahannya ke dalam bahasa Belanda adalah dalam upaya Belanda mencari strategi untuk menaklukan rakyat Aceh yang tak takut mati.
Pustaka Ali Hasjmy dan Museum Aceh, Banda Aceh juga masing-masing menyimpan puluhan judul hikayat Aceh. Bila yang tersimpan di Aceh dijumlahkan ternyata tidak sampai 200 judul.
Dulu, di tahun 1974 sewaktu UU. Hamidy sedang meneliti hikayat; kita ketahui pula bahwa Teungku Anzib Lamnyong juga punya koleksi hikayat 200 judul;“ sekarang entah dimana naskah hikayat itu setelah beliau almarhum!(?).
Dan saya yakin pula, masih ada pribadi-pribadi warga Aceh yang menyimpan hikayat; walaupun tak pernah dibaca lagi. Beginilah gambaran umum penyebaran naskah hikayat Aceh di NAD dewasa ini!. Sehingga sekarang, tepatlah digelar “Aceh Bekas Gudang Hikayat Nusantara”.
Hikayat adalah hasil kebudayaan Aceh masa lalu. Kejayaannya pun telah berlalu. Kini, hanya serpihannya tinggal berserakan di sana-sini dalam masyarakat Aceh.
Sekiranya ada pihak (terutama Pemerintah Aceh) yang mau sungguh-sungguh membangkitkannya kembali, hikayat Aceh pasti bersinar lagi, walau tak semeriah dulu!!!.
Dalam tradisi Aceh, hikayat terbagi dalam tiga nama, yaitu Hikayat, Nadham/nazam dan Tambeh.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat, sebab sebagian orang menyebutkan Nazam dan Tambeh bukanlah Hikayat. Tetapi kitab tentang agama Islam dalam bentuk syair Aceh.
Namun, penulis banyak mendapati, bahwa dalam naskah Nazam dan Tambeh itu sendiri tersurat penyebutan dirinya sebagai Hikayat, yang biasa dijumpai di bagian penutupnya, dan malah kadang-kadang di pembukaannya.
Sebagai contoh yang paling menyolok adalah Hikayat Akhbarul karim karya Teungku Syik Seumatang “ yang langsung pada judulnya tertera nama : Hikayat Akhbarul Karim. Padahal isinya melulu masalah agama Islam. Begitu pula dengan Nadham Teungku di Cucum yang berjudul “Akhbarul Na’im”. Masyarakat Aceh Besar menggelarnya Nazam Akhbarul Na’im atau Nazam Teungku Di Cucum, sementara sang penulis , yaitu Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum melakapnya Hikayat Akhbarul Na’im.
Dalam Hikayat terkandung beberapa hal, diantaranya perihal sejarah, adat-istiadat, tuntunan hidup, petuah-petuah dan lain-lain.. Sementara dalam Nazam dan Tambeh yang boleh dinamakan “Hikayat Agama” isinya terdiri dari masalah hukum, tauhid, akhlak, sejarah, tasawuf dan filsafat; yang semuanya terkait dengan agama Islam.
Hikayat, Nazam serta Tambeh semuanya tertulis dalam bahasa Aceh dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Bahasa Aceh: Harah Jawoe). Jumlah hasil karya hikayat bila dibandingkan dengan naskah-naskah Nazam dan Tambeh memang jauh berbeda.
Diantara ketiga jenis sastra Aceh itu, ternyata hikayat yang sempat beredar sampai beratus-ratus judul naskahnya. Dipihak lain, Nazam dan Tambeh memiliki judul naskah yang amat sedikit dibandingkan Hikayat (Dari tahun 1992 s/d 2022; 40 judul hikayat/tambeh/nazam dan 3 naskah bentuk prosa bahasa Melayu; sudah saya salin/transliterasikan dari huruf Arab Melayu/Jawoe ke aksara Latin, namun sebagian besarnya belum diterbitkan/dicetak).
Akibat peredaran waktu dan perkembangan zaman, jumlah judul hikayat yang tersisa sekarang memang tidak banyak lagi; sebagaimana diungkapkan di atas. Apalagi dengan naskah Nazam dan Tambeh. Timbul pertanyaan, mengapa Hikayat lebih banyak ditulis? Hal ini menyangkut masalah kepopuleran atau” permintaan pasar” saat itu.
Di mana sepanjang sejarah Aceh Hikayatlah yang lebih populer dalam masyarakat dibandingkan Nazam dan Tambeh. Pada era Aceh belum dibanjiri sarana hiburan produksi teknologi; seperti koran, radio, tivi, internet dan sebagainya; hikayat termasuk sumber hiburan paling utama.
Saat itu, hikayat digemari kaum tua dan muda . Selain itu, untuk mengarang naskah Nazam atau Tambeh juga perlu keahlian khusus dalam seluk-beluk agama Islam, Jadi tidak sekedar memiliki bakat “Penyair” dan melek huruf Arab Melayu; seperti syarat yang harus dipunyai pengarang Hikayat.
Penulis, memang belum pernah menyaksikan sendiri jumlah judul Hikayat yang beratus-ratus buah itu. Hanya dalam buku Prof. Dr. Aboebakar Atjeh (lihat: “Aceh dalam Sejarah Kebudayaan Sastra & Kesenian”, pt. alma’arif, halaman 21), yang pernah menyebutkan hal itu.
Di dalamnya disebutkan bahwa Prof. Hoessein Djajadiningrat (asisten Snouck Hurgronje) dulu memiliki 600 judul Hikayat yang merupakan hasil alih aksara (transliterasi)) dari huruf Arab Melayu (Aceh: Jawoe) ke huruf Latin.
Usaha penggantian aksara itu dilakukan Tgk. Syekh Moh. Noerdin serta dibantu oleh Aboebakar Atjeh sendiri yang disponsori Pemerintah Penjajahan Belanda di Aceh dalam rangka menuntaskan Penaklukan Aceh yang tidak mulus!.
Setelah Hoessein Djajadiningrat meninggal, koleksi Hikayat itu dibeli oleh Mr. Mohd. Yamin, Pelopor Sumpah Pemuda 1928 dan tersimpan dalam perpustakaan pribadinya di Jakarta.
Sejak itu, Prof. Dr. Aboebakar Atjeh sudah berkali-kali mengajak pemimpin-pemimpin Aceh untuk membeli kembali Hikayat-hikayat itu guna dibawa pulang ke Aceh. Tetapi usulnya selalu sia-sia.
Cukup lama cerita naskah itu tak pernah terdengar lagi. Baru pada tanggal 31 Juli 1994 termuat kabar (-tulisan Nab Bahany As-) dalam Harian Serambi Indonesia, bahwa koleksi Hikayat Aceh telah berada di Perpustakaan Pertamina, Jakarta; dalam keadaan lapuk dan dimakan rayap.
Kini tahun 2022, setelah seperempat abad lebih berlalu; seandainya masih bersisa dari 600 Hikayat itu, mungkinkah PEMERINTAH ACEH yang punya DANA OTSUS menebusnya kembali?. Anggaplah itu sebagai “Bungong jaroe” tahun 2022.
Menstransliterasikan 600 judul Hikayat dari huruf Arab Jawoe ke aksara Latin; termasuklah karya raksasa!. Dan kini tidak mungkin lagi diwujutkannya; di era PEMDA ACEH kurang peduli budaya. ApalagI naskah hikayat pun amat langka, mau cari dimana (???).
Begitulah periode kejayaan Hikayat telah menoreh sejarah yang amat panjang di Aceh. Hikayat ditulis dan disalin dari generasi ke generasi. Dalam pandangan masyarakat Aceh zaman itu, Hikayat adalah kisah kehidupan masyarakatnya sendiri.
Malah, sebagian tokoh-tokoh dalam cerita Hikayat telah dianggap sebagai orang-orang dari kalangan warga Aceh sendiri. Selain itu, mereka juga yakin bahwa peristiwa-peristiwa yang dikisahkan Hikayat adalah benar-benar terjadi, bukan hasil khayalan penyair/pengarang.
Kini, segalanya telah berubah. Hikayat Aceh telah ditinggalkan peminatnya. Bahkan, sudah pada tingkat ‘dibenci’ terutama dikalangan generasi muda.
Seorang remaja Aceh sekarang, sangat merasa malu sekiranya terpergok temannya sedang membeli Hikayat di sebuah toko buku. Sebab, Hikayat sekarang dianggap sebagai ’lambang kekolotan dan kemunduran’.
Masih adakah jalan menciptakan “rasa bangga” memiliki Hikayat bagi generasi muda Aceh?.
Para pemimpin Aceh lah yang mampu mewujudkannya!!!
Saran-saran:
(1) Pemerintah Aceh yang punya DANA OTSUS perlu mengumpulkan sisa-sisa Hikayat, Nazam dan Tambeh yang masih dimiliki masyarakat dan di luar negeri, lalu menyimpannya di sebuah Museum Hikayat.
(2) Hikayat-hikayat itu perlu direproduksi dengan menstransliterasikannya ke dalam huruf Latin. Kemudian, mencetak/menerbitkannya agar generasi muda Aceh dapat membaca kembali Hikayat-hikayat tersebut.
(3) Setiap tahun Pemerintah Aceh yang pegang DANA OTSUS perlu menyelenggarakan sayembara mengarang dan membaca Hikayat Aceh, baik dalam aksara Latin maupun dalam huruf Arab Melayu/Jawoe. Sayembara itu perlu diikuti oleh peserta mulai kalangan anak-anak sampai kakek dan nenek dengan jumlah hadiah yang menggiurkan.
(4) Pemda Aceh yang miliki DANA OTSUS perlu menciptakan sejenis “rasa bangga” atau rasa kagum dan rasa memiliki terhadap Hikayat bagi kalangan remaja di Aceh. Sekurang-kurangnya citra Hikayat sebagai simbol kekolotan atau lambang kemunduran dapat terhapuskan.
(5) Bahasa dan sastra Aceh perlu diajarkan secara sungguh-sungguh di lembaga pendidikan; mulai dari Dayah, SD/MIN sampai SMU/MAN dan Perguruan Tinggi. Pengadaan buku pelajaran yang cukup dan bermutu merupakan pendukung utama keberhasilannya.
(6) Pelajaran menulis/membaca huruf Arab Melayu/Jawoe perlu ditingkatkan semaksimal mungkin di sekolah-sekolah. Pengadaan buku pedoman penulisan yang seragam merupakan kebutuhan yang sudah mendesak.
(7)Perlu dibentuk sebuah ’Fakultas Budaya’ yang mengajarkan masalah kebudayaan Aceh. Atau paling kurang sebuah program studi bahasa dan Sastra Aceh yang mendidik calon-calon guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Aceh di sekolah-sekolah.
(8) Pemerintah Aceh yang mempunyai DANA OTSUS perlu memiliki sebuah majalah “Bahasa dan Sastra Aceh” yang berkualitas dan bergengsi. Bahasa pengantar majalah itu tentunya dalam Bahasa Aceh.
(9) Perlu dibentuk sebuah organisasi para penulis Bahasa dan Sastra Aceh.
(10) Ada baiknya, dalam jangka tertentu Pemerintah Aceh yang punya DANA OTSUS mengumpulkan para pengarang Hikayat dari seluruh Aceh. Dalam pertemuan antar generasi pengarang Hikayat itu diharapkan timbul saling tukar pengalaman tentang ketrampilan mengarang Hikayat.
Sebab, pengarang Hikayat generasi muda hanya mengarang berdasarkan ’bakat’ semata-mata, “ termasuk penulis sendiri -, sementara generasi tua mengarang Hikayat juga dilengkapi dengan “Ilmu Mengarang Syair Aceh”.
(11) Pada setiap acara perlombaan yang diadakan oleh lembaga atau sekolah-sekolah, selain jenis lomba yang dilombakan selama ini; eloklah pula dimasukkan lomba membaca/menulis Hikayat atau lomba melukis cerita/isi Hikayat.
(12) Pemerintah Aceh yang memiliki DANA OTSUS diharapkan menyediakan dana abadi untuk membayar pemuatan hikayat setiap hari di sebuah koran lokal yang pemuatannya serupa “iklan harian” sepanjang tahun.
Upaya ini perlu dilakukan untuk membumikan kembali Hikayat Aceh di bumi Aceh sendiri.
(13) Berbagai lembaga lain, baik NGO/LSM dan perorangan juga dihimbau menyumbang demikian!!!.
(T.A. Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh)