Senin, 20 Oktober 2025
Beranda / Opini / Ketika Program Makan Bergizi Jadi Jalan Kemandirian Aceh

Ketika Program Makan Bergizi Jadi Jalan Kemandirian Aceh

Senin, 20 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Azanuddin Kurnia

Ir. AZANUDDIN KURNIA, SP, MP, IPU (Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh dan Candidat Doktor pada Prodi Doktor Ilmu Pertanian Universitas Syiah Kuala). Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Setiap kepala daerah yang baru dilantik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, umumnya berupaya keras menunaikan janji-janji kampanye dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dengan para pemimpin daerah di Aceh. Beragam langkah ditempuh, termasuk menjajaki peluang investasi, bahkan hingga ke luar negeri.

Namun, keberhasilan sebuah pemerintahan daerah tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar modal dan dukungan politik yang dimiliki, tetapi juga oleh kemampuannya menangkap momentum kebijakan nasional dan menerjemahkannya menjadi program nyata di daerah. Dalam konteks itu, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menjadi prioritas nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sebenarnya menyimpan peluang besar bagi Aceh.

Program MBG tidak hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan gizi pelajar, tetapi juga menjadi instrumen pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah Pusat menyiapkan anggaran hingga ratusan triliun rupiah untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak, mulai dari beras, sayur, ikan, daging, telur, susu, hingga buah-buahan.

Jika dikelola dengan baik, program ini bisa menjadi katalis penggerak ekonomi rakyat, menciptakan rantai nilai baru dari hulu ke hilir. Inilah yang oleh ekonom pembangunan Albert O. Hirschman disebut sebagai backward and forward linkages, yakni keterkaitan ekonomi antar sektor yang saling memperkuat. Dalam konteks MBG, sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan industri pengolahan pangan dapat saling menopang dan menciptakan lapangan kerja baru.

Aceh memiliki potensi besar untuk mengambil peran dalam rantai pasok ini. Pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu melihatnya sebagai peluang strategis, bukan sekadar kebijakan pusat yang berlalu tanpa dampak. Dukungan penuh juga patut diberikan kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang terus membuka ruang investasi dan mendorong kemandirian ekonomi Aceh baik dari dalam maupun luar negeri.

Namun, peluang sebesar apa pun akan sia-sia jika masyarakat Aceh hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Jangan sampai investor luar datang ke Aceh dan kita sekadar menyaksikan mereka bekerja dan menuai hasil di negeri sendiri. Karena itu, masyarakat harus bersiap, memperkuat kapasitas produksi, dan mengambil bagian dalam program pemerintah ini agar kesejahteraan yang dijanjikan tidak hanya menjadi retorika.

Salah satu aspek penting dari keberhasilan MBG terletak pada kemandirian pangan daerah. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kemandirian pangan bukan hanya soal mencukupi kebutuhan konsumsi, tetapi juga menjaga ketahanan ekonomi masyarakat. Seperti dikatakan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pangan bukan hanya persoalan ketersediaan, tapi juga aksesibilitas dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi pangan itu sendiri.

Dalam hal beras, Aceh sebenarnya memiliki posisi yang cukup kuat. Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh (Distanbun) tahun 2024 mencatat, luas baku sawah mencapai 202.553 hektare dengan produktivitas rata-rata 5,6 ton per hektare. Dari luas tersebut, Aceh mampu menghasilkan sekitar 1.659.966 ton gabah atau setara 956.278 ton beras per tahun. Sementara kebutuhan konsumsi beras masyarakat Aceh hanya 660.064 ton, sehingga terdapat surplus sekitar 296.214 ton setiap tahun.

Surplus ini menunjukkan Aceh memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian padi. Namun, seperti diingatkan ekonom klasik David Ricardo, keunggulan komparatif harus diikuti dengan keunggulan kompetitif agar bernilai ekonomi tinggi. Artinya, surplus gabah harus diolah menjadi produk bernilai tambah, bukan sekadar dijual sebagai bahan mentah ke provinsi tetangga.

Berbeda dengan beras, kondisi komoditas lain seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan sumber protein hewani masih menjadi tantangan. Untuk cabai merah, Aceh relatif mampu memenuhi kebutuhan lokal. Namun untuk bawang merah, bawang putih, dan berbagai jenis buah, pasokan masih banyak bergantung dari Sumatera Utara. Begitu pula dengan telur ayam dan susu, yang sebagian besar masih diimpor dari luar provinsi.

Sementara untuk ikan dan daging, Aceh masih bisa mengandalkan sumber daya lokal. Namun sentra produksi sayur dan buah yang ada di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Besar, dan beberapa kabupaten lain belum cukup untuk memenuhi kebutuhan provinsi secara menyeluruh. Padahal, dalam teori food system resilience, ketergantungan antarwilayah seperti ini sangat rentan terhadap gangguan pasokan dan inflasi harga.

Jika program MBG diterapkan secara nasional dan serentak, daerah penghasil pangan akan lebih fokus memenuhi kebutuhan internalnya masing-masing. Dalam situasi seperti itu, Aceh bisa menghadapi risiko kekurangan suplai dari luar. Misalnya, jika telur dari Sumatera Utara diprioritaskan untuk kebutuhan internal, Aceh bisa saja kesulitan memenuhi kebutuhan lokal ” bahkan untuk hal sederhana seperti martabak telur di warung kopi.

Kemandirian pangan, karenanya, bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan strategis agar Aceh tidak terjebak menjadi konsumen di pasar domestik sendiri. Program MBG justru bisa menjadi momentum untuk memperkuat self-reliance di sektor pertanian dan pangan.

Pakar ekonomi pertanian Dr. T. Saiful Bahri, S.P., M.P. Universitas Syiah Kuala sering menekankan pentingnya ekonomi kerakyatan yakni sistem ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama, bukan sekadar objek pembangunan. Dalam konteks MBG, ini berarti melibatkan petani, nelayan, peternak, koperasi, dan UMKM sebagai penyedia bahan pangan untuk program nasional.

Dengan membangun rantai pasok lokal, dana triliunan rupiah dari pusat bisa berputar di ekonomi daerah. Perputaran uang inilah yang nantinya akan menghidupkan pasar, meningkatkan daya beli masyarakat, menekan inflasi, dan pada akhirnya menaikkan pendapatan rakyat.

Konsep ini sejalan dengan teori Multiplier Effect dalam ekonomi regional bahwa setiap peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggandakan pertumbuhan ekonomi lokal jika uang tersebut beredar di masyarakat.

Namun untuk mewujudkannya, pemerintah daerah harus hadir sebagai fasilitator. Reorientasi kebijakan dan anggaran menjadi keharusan. Eksekutif dan legislatif, terutama DPRA dan DPRK, perlu memandang program MBG bukan semata tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan peluang untuk menghidupkan ekonomi rakyat Aceh.

Selama ini, banyak anggaran daerah yang terserap pada belanja rutin dan proyek infrastruktur tanpa multiplier besar bagi rakyat. Padahal, dalam pendekatan public value management, nilai sesungguhnya dari kebijakan publik terletak pada manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Karena itu, reorientasi program dan penganggaran berbasis kebutuhan rakyat menjadi keniscayaan. Dana APBA dan APBK semestinya diarahkan untuk memperkuat sektor produktif seperti pertanian, peternakan, perikanan, serta industri pengolahan hasil bumi yang dapat menunjang program nasional dan menciptakan lapangan kerja lokal.

Sejalan dengan pandangan Joseph Stiglitz, ekonomi daerah yang kuat bukanlah ekonomi yang bergantung pada subsidi atau investasi asing semata, melainkan yang mampu menciptakan produktivitas dari dalam (endogenous growth). Untuk itu, pemerintah daerah harus memfasilitasi ekosistem yang memungkinkan pelaku lokal tumbuh baik melalui dukungan infrastruktur, pembiayaan, maupun kebijakan insentif.

Kemandirian pangan juga membutuhkan sinergi lintas sektor. Pemerintah daerah perlu mendorong dunia usaha lokal untuk berinvestasi pada rantai pasok pangan MBG, mulai dari penyediaan bibit, pakan ternak, logistik, hingga industri pengolahan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberikan ruang partisipasi melalui koperasi, kelompok tani, dan usaha mikro.

Konsep public-private-community partnership menjadi relevan di sini. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat tidak hanya memperkuat kapasitas produksi, tetapi juga menciptakan rasa memiliki terhadap program pembangunan. Sebab, keberhasilan MBG bukan hanya soal gizi anak-anak, melainkan masa depan ekonomi daerah.

Aceh memiliki semua potensi dasar: lahan subur, sumber daya alam melimpah, dan masyarakat dengan etos kerja tinggi. Tantangannya adalah bagaimana mengubah potensi itu menjadi kekuatan ekonomi nyata. Program Makan Bergizi Gratis adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap menjadi pelaku, atau hanya penonton di rumah sendiri?

Jika pemerintah daerah mampu menata kebijakan dan anggaran secara tepat, menggandeng dunia usaha lokal, serta memberdayakan masyarakat, Aceh tidak hanya akan menjadi penopang suksesnya program nasional, tetapi juga contoh daerah yang mandiri dan sejahtera.

Karena sejatinya, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Perekonomian yang merdeka adalah perekonomian yang berdiri di atas kekuatan rakyatnya sendiri.”

Penulis: Ir. AZANUDDIN KURNIA, SP, MP, IPU (Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh dan Candidat Doktor pada Prodi Doktor Ilmu Pertanian Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI