Ketika Nyak Sandang bertandang ke Istana
Font: Ukuran: - +
Penulis : Nezar Patria
Oleh Nezar Patria*
Nyak Sandang, 91 tahun, tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, tapi dia mencintai Indonesia sampai ke tulang sumsumnya.
Sandang muda terkagum-kagum dengan Bung Karno yang datang ke Banda Aceh pada 1948, dan meminta rakyat Aceh menyumbang kepada republik muda untuk membeli pesawat. Demikianlah, Sandang menjual sepetak tanahnya dan 10 gram emas, untuk disumbangkan kepada pemerintah Soekarno. Pada 1950, dia juga membeli obligasi pemerintah, yang masih disimpannya dengan baik sampai hari tuanya.
Hari ini, 21 Maret 2018, Nyak Sandang dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara, Jakarta. Presiden Jokowi menyambutnya dan duduk bersimpuh berbicara dengan Nyak Sandang yang duduk di atas kursi roda. Ini bentuk penghargaan luar biasa seorang presiden republik dari generasi baru terhadap warga senior yang telah membaktikan dirinya buat negara.
Dengan sumbangan rakyat Aceh, termasuk Nyak Sandang, terkumpul duit sebesar SGD 120 ribu plus 20 kg emas murni untuk membeli dua pesawat terbang yang diberi nama Seulawah R-001 dan Seulawah R-002. Dengan pesawat itu Presiden Soekarno menjalankan perjuangannya di masa-masa genting RI.
Di Istana, Nyak Sandang tak meminta banyak. Dia hanya ingin masjid di kampungnya dibantu Presiden Jokowi, dan kalau ada kesempatan dia ingin bisa naik haji. Presiden Jokowi mengangguk tanda setuju, dan tersenyum melihat surat obligasi keluaran 1950 itu didekap erat oleh Nyak Sandang, sebuah kertas yang buram dimakan zaman tapi ketikannya masih jelas terbaca.
Memang, Aceh dan Indonesia yang pernah dan terus dibelanya tak selalu punya hubungan manis, tapi juga bukan sebuah cinta yang gampang hilang dari ingatan. Semoga republik makin kuat, dan Aceh makin hebat.[]
* chief editor of The Jakarta Post