kip lhok
Beranda / Opini / Kesaktian Pancasila dan Indonesia Hari Ini: Akan Kemana?

Kesaktian Pancasila dan Indonesia Hari Ini: Akan Kemana?

Kamis, 30 September 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Dr. Wiratmadinata sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh. [Foto: IST]


Setiap tahun, pada 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Karena itulah upacara kenegaraan secara militer maupun sipil diselenggarakan oleh setiap lembaga negara, yang intinya merayakan Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Uniknya, sejarah kelahiran Hari Kesaktian Pancasila, secara kontekstual-historis, terkait dengan hari bersejarah lainnya, yaitu peringatan peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, yang resmi disebut dengan “G30 S/PKI. Peristiwa ini merujuk suatu momentum pada tanggal 30 September 1965, dimana Partai Komunis Indonesia (PKI), melakukan upaya kudeta, dengan cara melakukan serangkaian pembunuhan terhadap enam jenderal aktif, serta beberapa orang lainnya yang jadi korban. 

Dalam sejarah resmi pemerintah disebutkan, upaya kudeta PKI dimaksudkan untuk mengubah ideologi dan Dasar Negara RI, yaitu; Pancasila, menjadi ideologi negara dengan haluan komunisme. Singkat cerita, kudeta PKI digagalkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga Ideologi Pancasila berhasil diselamatkan.

Kita mengenal kisah diatas dengan baik, sejak membaca buku Sejarah Indonesia, bahkan ketika di bangku Sekolah Dasar (SD). Kemudian kita juga memahami bahwasanya, pertarungan ideologi negara telah terjadi sejak awal-awal proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebelum tahun 1945.

Tetapi perdebatan ideologi Pancasila sebenarnya sudah selesai pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berjumlah 67 orang itu menuntaskan rapat-rapatnya yang panjang sejak sidang pertama pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua pada tanggal 10 hingga 17 Juli 1945.

Sidang pertama BPUPKI dilakukan untuk merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia, yang sekarang kita kenal sebagai Pancasila. Ada beberapa rumusan berbeda tentang Dasar Negara Republik Indonesia (RI) yang muncul dalam sidang pertama BPUPKI sehingga tidak ada kesepakatan akhir mengenai hal itu. Oleh karenanya, kemudian dibentuklah “panitia sembilan” yang dipimpin Ir. Soekarno, yang bertugas merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia.

Dari tangan Panitia Sembilan ini munculah apa yang dikenal dengan istilah “Piagam Jakarta 22 Juni” yang secara prinsipil isinya adalah rumusan “Pancasila” awal, namun belum sempurna bentuknya karena ada perbedaan pendapat terkait rumusan poin pertama yang bunyinya; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam”. 

Namun setelah perdebatan panjang antara “golongan kebangsaan” dan “golongan Islam”, akhirnya disepakatilah perubahan poin pertama “Piagam Jakarta 22 Juni” yang bunyinya menjadi ; “Ketuhanan yang maha esa”, sebagaimana yang kita kenal sekarang, yaitu rumusan Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai yang tercantum di dalam alinea keempat, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian diberi nama; Pancasila.

Selanjutnya, setelah BPUPKI berhasil menyepakati Dasar Negara Pancasila, ia dibubarkan pada 7 Agustus 1945, dan digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 18 Agustus 1945, maka UUD 1945 pun disahkan. Dengan demikian maka setelah Proklamasi Kemerdekaan, lengkaplah negara Indonesia yang baru saja merdeka itu kini telah pula memiliki Ideologi dan Dasar Negara Pancasila dan juga UUD-1945, sebagai; Akta kelahiran (Modus Vivendi) Bangsa dan Negara Indonesia

Ingatan sejarah diatas itulah, yang membayangi pikiran setiap warga negara Indonesia pasca gagalnya pemberontakan PKI pada tahun 1965. Masih segar dalam ingatan para pelaku sejarah pada waktu itu, bagaimana pahit dan getirnya usaha-usaha mencapai kemerdekaan RI baik melalui perlawanan bersenjata atau diplomasi. 

Bagaimana intens dan tegangnya para founding fathers merumuskan Ideologi dan Dasar Negara dalam forum BPUPKI, bagaimana beratnya merumuskan UUD-1945 dalam forum PPKI, dan bagaimana menegangkannya suasana Jum’at pagi, jam 10, 17 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta membacakan teks-teks Proklamasi. 

Tetapi tepat 20 tahun kemudian, pada 1965 PKI berusaha mengubah alur sejarah itu, dengan melakukan pembantaian keji terhadap enam jenderal garda terdepan kekuatan Angkatan Bersenjata RI, terutama terhadap Jenderal Ahmad Yani sebagai Komandan TNI Angkatan Darat. 

Kudeta itu secara simbolik dimaknai sebagai upaya menegasikan Pancasila dan UUD-1945, yang begitu sakral bagi eksistensi Bangsa Indonesia, yang baru saja menikmati dua dekade kebebasan dari Kolonialisme Barat, khususnya Belanda.

Gagalnya Pemberontakan G.30.S/PKI, dalam perspektif kultural pada dasarnya menjadi momentum yang mengingatkan kita betapa pentingnya simbol sebagai kekuatan budaya dalam kosmologi budaya Bangsa Indonesia, dalam hal ini Pancasila. Bahwa Pancasila sebagai suatu rumusan falsafah juga seakan-akan merupakan “mantra”, dimana kekuatan spiritual bangsa melekat pada sebutannya. 

Kekuatan utama terletak pada sila pertama, Pancasila, yang berbunyi; “Ketuhanan yang maha Esa”, sila ini adalah sebuah “mantra” yang menepis segala kemungkinan ideologi yang masuk ke wilayah NKRI, yang didalamnya terdapat warganegara yang menganut asas ketuhanan, terlepas dari apapun agamanya. Sementara itu, ideologi PKI identik dengan spirit anti-Tuhan, atau A-theisme karena berbasis pada “antroposentrisme” vis a vis dengan “Theisme” di Indonesia. 

Itulah sebabnya, Pancasila disebut “Sakti”. Demikian pula sila-sila Pancasila lainnya, yang rumusannya sedemikian kuat mengakomodasi abstraksi kebatinan bangsa yang terdiri dari ratusan suku bangsa, adat dan budaya ini, tetapi diikat dengan spirit “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam konteks inilah Pancasila menemukan kesaktiannya, karena ia berhasil membangkitkan kekuatan perlawanan baik dari dalam maupun di luar diri, dalam menghempang ideologi lainnya, pada tahun 1965.

Lalu apakah makna kesaktian Pancasila untuk Indonesia pada hari-hari ini, ditengah semakin lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Kita melihat, bahwa nilai-nilai Pancasila semakin jauh dari cita-cita hukum (Rechtsidee) bangsa Indonesia. 

Misalnya dalam Undang-Undang Politik yang menganut sistim "one man, one vote", yang secara langsung menegasaikan asas "Musyawarah dan Mupakat" yang terdapat dalam sila keempat Pancasila, yaitu; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dan dalam praktiknya kita juga sama-sama paham, dengan model pemungutan suara "one man one put", terjadi liberalisasi dalam proses pemilihan pemimpin, terutama di tingkat desa, dimana pemilihan Kepala Desa pun sudah sangat liberal, tidak lagi merujuk pada "local wisdom", dimana aspek keteladanan, hikmah, kebijaksanaan dan permusyawaratan menjadi dasar dalam seleksi kepemimpinan khas budaya Indonesia.

Ada banyak contoh lain, dimana produk-produk hukum di Indonesia, ternyata tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai Paradigma. Secara umum paradigma hukum di Indonesia semakin hari semakin liberalis, individualis, dan tidak memberikan keadilan bagi rakyat miskin atau rentan. 

Salah satu revolusi bidang hukum yang harus dilakukan di Indonesia adalah dengan menegaskan kembali pendekatan; Paradigma Negara Hukum Indonesia, agar kesaktian Pancasila bisa terus dipertahankan sejalan dengan perjalanan sejarah bangsa ini. 

Model penyelenggaraan negara hukum Indonesia yang tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai paradigmanya, akan membuat hukum semakin tidak adil, dan tidak relevan dengan kebutuhan warga bangsanya.

Misalnya dalam kebijakan di bidang eknomi; terdapat sejumlah regulasi yang membolehkan pihak swasta memegang sebagian atau penuh aset negara menjadi milik mereka. Peraturan perundang-undangan untuk kebijakan privatisasi itu juga dikuatkan oleh sejumlah Keputusan Presiden. Salah satu di antaranya adalah PP. No. 33 /2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan. 

Pada Pasal 9 disebutkan ada beberapa bentuk persero yang tidak boleh diprivatisasi, antara lain; Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan hanya boleh dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara; Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh Pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Tapi dalam praktiknya, sejumlah sumber daya alam yang menjadi hajar hidup orang banyak ikut diprivatisasi. 

Memang persero yang mengelola sumber daya alam tersebut tidak diprivatisasi, tetapi sumber daya alamnya yang kemudian dibolehkan negara untuk dimiliki pihak swasta. Misalnya air. Kepres No. 96/2000 menyatakan bahwa saham perusahaan air minum dapat dimiliki oleh badan hukum swasta. 

Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan UUD-1945 yang mengamanahkan agar cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal 33 ayat 2 & 3).

Privatisasi aset-aset negara merupakan kebijakan yang diambil negara atau pemerintah untuk memberikan kepemilikan pengelolaan sebagian atau semua aset kepada institusi swasta. Artinya bukan hanya aset yang dialihkan tetapi juga kewenangan pengelolaannya. 

Perubahan ini akan mempengaruhi pola kinerja perusahaan maupun tindak tanduknya di dalam memproses atau memproduksi barang atau jasa yang dibutuhkan publik. Tentu saja kebijakan ini menimbulkan perlawanan maupun penentangan di kalangan masyarakat tak terkecuali di Indonesia. 

Ada pihak yang setuju dengan privatisasi dengan alasan dapat memperbaiki manajemen atau kualitas pelaksanaan perusahaan. Sebaliknya kaum nasionalis menolak keras kebijakan privatisasi negara karena apa yang dikelola oleh perusahaan negara merupakan upaya mewujudkan barang kebutuhan publik secara murah demi memenuhi hak rakyat.

Contoh lain lagi, adalah PP. No. 33/2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) yang menjadi legitimasi atas kebijakan pelepasan sejumlah aset negara tersebut, meskipun dalam beberapa perusahaan hanya sebagian saja yang diberikan kepada pihak swasta. 

Kebijakan ini merupakan kebijakan turunan untuk melaksanakan Pasal 83 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, yang menyatakan perlunya menetapkan PP tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) BUMN.

Memang harus diakui sejumlah undang-undang di Indonesia yang berwatak rezim privatisasi sebagaimana yang telah diketahui umum, memiliki semangat paham ekonomi neoliberalisme. Selain regulasi tadi yang paling familiar merupakan Undang-Undang Migas Nomor 22 tahun 2001 yang memberikan keleluasaan bagi pihak swasta untuk menguasai sumber daya alam berupa minyak dan gas. 

Kebijakan ini memberi ruang yang luas bagi penguasaan investasi asing di Indonesia dengan sedikit sekali memberikan perlindungan kepada kepentingan nasional dan warnanegara asli. 

Kecenderungan pengaruh globalisasi yang sangat liberal sangat kuat, oleh karenanya aturan ini jelas-jelas bertentangan dengan amanah Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, yang mengamanahkan agar seluruh kekayaan negara diperuntukkan bagi seluruh kepentingan rakyat.

Tulisan ini tidak hendak mengkaji satu persatu produk Perundang-undangan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD-1945, tapi hanya memberikan latar historis, filosofis dan eksistensi Pancasila dalam konteks sejarah dan kehidupan bangsa dan negara ini, pada momen Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2021. Pesannya sederhana: Kesaktian Pancasila terletak pada sejauh mana bangsa ini memberi makna hakiki pada nilai-nilai Pancasila dan UUD-1945, sebagaimana kita menolak Komunisme pada 30 September 1965. 

Tetapi apabila kita gagal memberi makna pada konteks kekinian dengan menempatkan Pancasila sebagai Paradigma Negara Hukum Indonesia, maka mungkin Pancasila akan kehilangan kesaktiannya. Wallahu’alam.

Penulis: Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H (Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda