DIALEKSIS.COM | Opini - Setelah dilantik sebagai Gubernur Aceh hasil Pilkada 2024, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, kian menunjukkan pesonanya. Sosok mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini bukan hanya mencuri perhatian karena latar belakangnya yang unik, tetapi juga karena serangkaian keberhasilan yang nyaris tanpa halangan.
Dalam tempo singkat, sejumlah persoalan krusial yang selama ini seolah buntu, justru terurai dengan mudah di bawah kepemimpinannya.
Fenomena ini tentu bukan sekadar keberuntungan. Ia menyerupai tuah, sebuah berkah yang menyertai perjalanan seorang pemimpin yang telah lama menempuh jalan terjal. Di balik sorotan kamera dan tepuk tangan seremoni, ada dinamika yang menarik dicermati; mengapa hampir semua pintu terasa terbuka bagi Mualem? Mari kita uraikan satu demi satu.
Langkah Mualem menuju tampuk kekuasaan bukanlah perjalanan singkat. Ia bukan pemimpin yang mendadak muncul dalam kontestasi elektoral, melainkan seseorang yang telah lebih dulu membuktikan kapasitasnya dalam dunia politik praktis. Sejak purna konflik, Mualem telah menapaki "sekolah" kepemimpinan demokratis dengan memimpin Partai Aceh partai lokal yang lahir dari rahim perdamaian.
Di situ, ia memainkan peran sentral dalam mengubah bahasa perlawanan menjadi bahasa politik. Ia harus menyatukan mantan kombatan dengan masyarakat sipil, mempertemukan semangat perjuangan dengan semangat pembangunan, tanpa kehilangan jati diri keacehan.
Transformasi ini jelas tidak mudah. Tapi dari situ terlihat bahwa Mualem bukan sekadar simbol sejarah, melainkan arsitek masa depan Aceh yang penuh perhitungan.
Yang menarik, pasca kemenangannya di Pilkada, seolah - olah semesta turut menyambutnya. Konsolidasi politik berlangsung tanpa gejolak. Dukungan dari partai nasional, termasuk restu dari Prabowo Subianto, mengalir deras. Elite Aceh hingga para ulama bersatu menyokong kepemimpinannya.
Tidak berhenti di situ. Berbagai isu pelik yang sebelumnya macet, mulai menemukan jalan keluar. Misalnya polemik empat pulau yang selama ini berpolemik status administratifnya, kini kembali ke pangkuan Aceh. Sebuah kemenangan simbolik yang sarat makna.
Permintaan keberlanjutan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang selama ini mengambang, mendadak disetujui oleh pusat, bahkan dibarengi dengan komitmen revisi UUPA yang selama ini dianggap mandek. Inilah titik balik yang memberi sinyal bahwa langit tengah merestui gerak Mualem.
Tak hanya itu, dalam bidang ekonomi, geliat investasi di Aceh mulai terasa. Pabrik karet di Meulaboh diresmikan. Pabrik minyak goreng dibangun di Aceh Utara. Di Aceh Besar, kabarnya tengah direncanakan pabrik baterai. Bahkan Lhokseumawe, yang pernah menjadi jantung industri, kini kembali dibidik untuk menjadi kawasan eksplorasi migas oleh perusahaan internasional seperti Mubadala.
Jika kita berkaca pada sejarah, Aceh sudah pernah dipimpin oleh banyak orang pandai. Namun tidak semua menghasilkan perubahan berarti. Maka, dalam konteks ini, keberhasilan Mualem tak cukup dijelaskan dengan teori politik atau manajemen publik. Ia lebih menyerupai kehendak langit konsekuensi dari doa para ulama dan jeritan rakyat Aceh yang lama hidup dalam ketimpangan.
“Doa-doa ulama dan rintihan rakyat,” begitulah narasi yang banyak digaungkan. Seakan - akan keberhasilan Mualem menjawab peristiwa spiritual yang selama ini membubung tinggi, menembus langit, lalu turun kembali dalam bentuk mandat dan amanah.
Dalam kosmologi Aceh, ulama bukan hanya pemuka agama. Mereka adalah penjaga nurani publik. Dan dari dahulu, Mualem memang dikenal dekat dengan mereka, baik ulama lahir maupun ulama batin. Hubungan yang tidak transaksional, tetapi spiritual.
Maka tidak heran jika dukungan kepada Mualem tak sekadar lahir dari kalkulasi politik, tapi dari ikatan emosional dan spiritual. Ia bukan sekadar gubernur, tetapi simbol harapan yang menjelma nyata.
Bagi sebagian orang, politik adalah seni kompromi, bahkan tipu daya. Tapi bagi Mualem, politik adalah jalan pengabdian. Ia tidak membangun citra melalui pencitraan, tetapi melalui rekam jejak panjang. Ia tidak mengandalkan kampanye agresif, tetapi konsistensi dan kesetiaan pada nilai-nilai perjuangan.
Maka jangan heran jika kini banyak pihak, dari pusat hingga daerah, dari elite nasional hingga rakyat biasa, seakan berlomba membantu Mualem mewujudkan visinya. Ada aura persatuan yang perlahan tumbuh, menyirami tanah Aceh yang selama ini kering oleh perpecahan dan pesimisme.
Kini, peluang besar telah terbentang. Tapi peluang tak akan menjadi kemajuan tanpa arah dan kendali. Mualem perlu memastikan bahwa seluruh energi yang mendukungnya tidak berhenti sebagai euforia pasca-pelantikan. Ia harus menyalurkannya menjadi gerakan kolektif menuju Aceh yang mandiri, adil, dan bermartabat.
Aceh hari ini bukan sekadar butuh pembangunan fisik, tapi pembangunan jiwa. Bukan hanya jalan dan jembatan, tapi juga sistem pendidikan yang membebaskan, ekonomi yang menyejahterakan, dan budaya yang mengakar.
Dan itu hanya bisa dicapai jika kepemimpinan dijalankan dengan visi, keberanian, dan keikhlasan. Sejauh ini, Mualem telah menunjukkan tanda-tanda ke sana. Tapi perjalanan masih panjang.
Tuah Mualem bukanlah mitos yang tumbuh dari dongeng. Ia hadir dari konsistensi, ketekunan, dan keyakinan bahwa perjuangan tidak pernah sia-sia. Bahwa doa-doa tak pernah berhenti bekerja. Dan bahwa langit memang punya caranya sendiri memilih pemimpin.
Kini, Mualem tengah mengemban mandat bukan hanya dari rakyat, tapi juga dari semesta. Maka sudah seharusnya seluruh elemen rakyat, birokrat, tokoh agama, dan pengusaha bersatu padu membantu mewujudkan mimpi Aceh yang berdaulat di tanah sendiri.
Mari bersatu. Mari bekerja. Karena sejarah tak pernah menunggu orang yang ragu-ragu. [**]
Penulis: Aryos Nivada sebagai Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala