Selasa, 10 Juni 2025
Beranda / Opini / Keniscayaan Pengawalan Perubahan UUPA

Keniscayaan Pengawalan Perubahan UUPA

Senin, 09 Juni 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Amrizal J. Prang

Dr. Amrizal J. Prang, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh dan Kepala Biro Hukum Setda Aceh 2018-2023. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pada 21 Mei 2025 lalu telah menyepakati melakukan perubahan (revisi) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sebagaimana, disampaikan oleh Ketua Tim Revisi UUPA DPRA, Tgk Anwar Ibrahim, bersama Tim bersepakat mengubah sebanyak 8 (delapan) pasal dan menambah 1 (satu) pasal. Selanjutnya, draf tersebut diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). (Serambi, 22/5/2025).

Secara legal formal, berdasarkan konstitusi dan legislasi, prosedur pembentukan dan perubahan UU, termasuk UUPA dilakukan oleh DPR RI dan dibahas bersama Presiden. [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan UU No.12/2011]. Lalu kenapa proses awal perubahan UUPA ada draf dari DPRA? Hal ini dikarenakan, adanya kewenangan atribusi Pasal 269 ayat (3) UUPA, disebutkan, rencana perubahan UUPA dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Selain itu, sebagaimana Pasal 8 ayat (2) UUPA, terhadap pembentukan UU lain yang terkait Pemerintahan Aceh, DPR RI wajib juga berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.

Selanjutnya, tata cara konsultasi dan pertimbangan ditetapkan dengan Perpres No.75/2008 tentang Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur dan DPRA [8 ayat (4) UUPA]. Meskipun ada 4 (empat) daerah khusus atau istimewa, yang diatur dengan UU tersendiri, seperti, DKI Jakarta [UU No.29/2007] - sekarang menjadi UU No.2/2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, yang pelaksanaannya menunggu Keputusan Presiden, - Papua [UU No.21/2001 jo. UU No.35/2008 jo. UU No.2/2021], DI. Yogjakarta [UU No.13/2012], dan Aceh [UUPA dan UU No.44/1999], tetapi DPRD-nya tidak memiliki kewenangan sebagaimana DPRA.

Pendekatan Pengawalan

Merefleksi keberadaan UUPA sejak dibentuk 19 tahun lalu (2006-2025), terdapat kelebihan dan kekurangannya baik secara formil (proses pembentukan) dan materiil (substansi), maupun implementasinya. Oleh karenanya, ada beberapa alasan hukum (legal reasoning) diperlukan perubahan UUPA, antara lain: i) pengaturan alokasi dana otsus Aceh berakhir tahun 2027. [Pasal 183 ayat (2) UUPA]; ii) sebagian pasal-pasal UUPA sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seperti, Pasal 67 ayat (2) huruf g dan Pasal 256. Bahkan, saat ini sedang berproses di MK permohonan judicial review terhadap Pasal 115 ayat (3), terkait masa jabatan keuchik; iii) sebagian substansinya tidak lagi up to date, termasuk peraturan pelaksanannya, seperti, Perpres No.11/2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri. Bahakan, pelaksanaannya selama ini merujuk PP No.28/2018 tentang Kerjasama Daerah. Sehingga, menimbulkan ketidakpastian hukum UUPA. Oleh karenanya, niscaya perlu dilakukan perubahan sesuai dengan konteks kekinian Aceh.

Sebagaimana, disampaikan Sudikno Mertokusumo: ”...peraturan perundang-undangaan atau peraturan hukum itu setiap saat berubah, dan tidak mungkin tidak, karena tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap. Selain itu, berkembang menurut waktu dan tempat, sehingga tidak mengatur secara lengkap dan jelas. Oleh karena, kepentingan manusia setiap saat berubah, maka undang-undang atau peraturan hukum juga harus diubah untuk disesuaikan dengan kepentingan dan perkembangan waktu”. (Teori Hukum, 2012:58)

Namun demikian, tanpa pengawalan berpotensi kewenangan yang sudah ada akan direduksi, apalagi yang beririsan dengan kepentingan Pemerintah Pusat. Untuk itu, paling tidak pengawalannya dapat dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan: pertama, secara legal formal, dilakukan oleh DPRA, melalui proses konsultasi dan pemberian pertimbangan kepada DPR RI dan Presiden. Sebagaimana diatur Pasal 269 ayat (3) UUPA dan Putusan MK No.61/PUU-XV/2017 dan Putusan MK No.66/PUU-XV/2017.

Putusan ini, implikasi permohonan judicial review oleh anggota dan Ketua DPRA (Periode 2014-2019) terhadap Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d UU No.7/2017 tentang Pemilu, karena membatalkan Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA terkait KIP dan Panwaslih Aceh. Sementara, dalam pembahasannya DPR RI dan Presiden tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA, sebagaimana Pasal 8 ayat (2) UUPA. Konsekuensinya, MK membatalkan pasal-pasal UU No.7/2017 tersebut, karena kontradiksi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, akibat tidak adanya kepastian hukum UUPA.

Kedua, secara politik, DPRA dan Pemerintah Aceh perlu melibatkan stakeholders baik di dalam maupun luar Aceh, antara lain: suprastruktur politik, seperti: 1) anggota DPR RI dan DPD RI yang mewakili Aceh (Forbes Aceh); 2) Menteri yang berasal dari Aceh. Kemudian, infrastruktur politik, seperti: partai politik nasional dan lokal; fraksi-fraksi di DPR RI, terutama fraksi pemerintah; ulama; akademisi; LSM, ormas, media dan mahasiswa. Infrastruktur politik ini, bisa melakukan pressure baik di Aceh maupun Jakarta. Ketiga, secara teknis, berdasarkan pengalaman pengawalan RUU PA tahun 2005, juga melibatkan stakeholders baik mewakili secara personal maupun lembaga, seperti, LSM Yappika, Kontras, LBH Jakarta, Forum LSM, Unimal, Unsyiah (USK), IAIN (UIN) Ar-Raniry, untuk bediskusi dan memberikan masukan kepada fraksi-fraksi dan Pansus RUUPA.

Proses pengawalan penyusunan UUPA menjadi momentum konsolidasi komponen masyarakat sipil saat itu, baik di Aceh maupun di Jakarta sebagai pendukung advokasi UUPA. Konsolidasi ini melahirkan Tim Kerja dengan tugas memberi masukan dan argumentasi bahkan berdebat dengan para perumus di DPR baik secara langsung maupun melalui media, untuk memastikan pasal-pasal dalam RUUPA versi rakyat Aceh diadopsi oleh Pansus DPR. (Mengawal Demokrasi, Pengalaman Jaringan Demokrasi Aceh dan RUUPA, 2007:100).

Pengalaman pendekatan secara politik dan teknis ini, perlu dilakukan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh, untuk memberi masukan kepada komisi atau pansus DPR RI yang akan melakukan perubahan UUPA. Bahkan, untuk kepentingan DPRA yang akan memberi pertimbangan kepada komisi atau pansus tersebut. Dikarenakan, salah satu yang berpengaruh secara signifikan dan menjadi kunci perubahan UUPA, adalah konsultasi dan pemberian pertimbangan DPRA, yang proses dan mekanismenya diatur dalam Perpres No.75/2008.

Mekanisme Konsultasi dan Pertimbangan

Sebagai peraturan organik UUPA, Perpres No.7/2008 mengatur tata cara atau mekanisme konsultasi. Jika yang berhubungan dengan kebijakan administratif Pemerintah Pusat di Aceh, berkonsultasi dan mendapat pertimbangan gubernur. Sedangkan, terkait pembentukan dan perubahan UU yang berhubungan langsung dengan pemerintahan Aceh dan perubahan UUPA, yang dilakukan oleh DPR RI dan Presiden, berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.

Sebagaimana Pasal 1 angka 13 Perpres 75/2008, yang terkait dengan kewenangan DPRA disebutkan, konsultasi merupakan proses komunikasi dalam bentuk surat menyurat antara DPR RI dengan Pimpinan DPRA untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap suatu Rencana Pembentukan UU yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Sementara, Pasal 1 angka 14, Pertimbangan adalah pendapat secara tertulis dari DPRA kepada DPR RI, untuk digunakan sebagai masukan terhadap suatu Rencana Pembentukan UU.

Selanjutnya, Pasal 6 ayat (2), menyebutkan, tata cara konsultasi dan pertimbangan dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR. Namun, sejak dibentuk UUPA dan Perpres 75/2008, tidak pernah diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI. Bahkan, dalam Perturan DPR RI No.1/2020 jo. Peraturan DPR RI No.1/2024 tentang Tata Tertib DPR, juga tidak ada pengaturan tata cara/mekanisme konsultasi dan pertimbangan DPRA.

Perlu diketahui proses konsultasi dan pertimbangan, bukan saja pengajuan perubahan 8 pasal dan tambahan 1 pasal, sebagaimana disampaiakan oleh DPRA. Melainkan, lebih dari itu, dari 40 bab dan 273 pasal UUPA, kecuali pasal keistimewaan Aceh, berpotensi diubah jika beririsan dengan kepentingan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, dikhawatirkan perubahan UUPA ini akan terjadi seperti pembentukan UU No.7/2017, di mana proses konsultasi dan pertimbangan hanya sesuai kehendaak DPR. Apalagi, selama ini bargaining Pemerintahan Aceh dengan pusat, belum kelihatan kekuatannya. Ditambah, lagi apatisme rakyat Aceh saat ini terhadap keberadaan UUPA. Oleh karenanya, untuk penguatan pengawalan perubahan UUPA, konsolidasi antara DPRA, Pemerintah Aceh, dan stakeholders menjadi niscaya. Semoga.

Penulis: Dr. Amrizal J. Prang, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh dan Kepala Biro Hukum Setda Aceh 2018-2023

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI