Minggu, 06 Juli 2025
Beranda / Opini / Diskresi Bukan Jalan Pintas, Golkar Aceh Bukan Gerbong Politik Sewa

Diskresi Bukan Jalan Pintas, Golkar Aceh Bukan Gerbong Politik Sewa

Minggu, 06 Juli 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Kemal Fasya

Teuku Kemal Fasya Pengamat Politik Universitas Malikussaleh (Unimal)


DIALEKSIS.COM | Opini - Wacana pengangkatan Bustami Hamzah sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Aceh melalui jalur diskresi Ketua Umum memicu reaksi keras dari internal partai. Reaksi ini bukan tanpa dasar, sebab isu tersebut menyentuh jantung organisasi: soal etika kepemimpinan, marwah kaderisasi, dan konsistensi terhadap aturan main partai.

Sebagai sosok non-kader yang tak pernah berproses dalam struktur organisasi Golkar, kehadiran Bustami Hamzah dalam bursa Ketua DPD I melalui “karpet merah” diskresi menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Golkar Aceh masih menjadi partai kader, atau telah berubah menjadi gerbong politik sewaan?

Memang, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar mengatur secara legal kewenangan diskresi Ketua Umum. Namun, diskresi bukanlah kekuasaan tanpa batas. Kewenangan ini hanya diperbolehkan dalam tiga kondisi: menjaga soliditas partai, mengatasi kebuntuan organisasi, dan menetapkan kebijakan strategis. Tidak ada satu pun pasal yang membenarkan diskresi untuk menunjuk Ketua DPD, apalagi dari kalangan luar yang belum pernah mengabdi dalam partai.

Jabatan Ketua DPD di seluruh tingkatan harus diperoleh melalui mekanisme Musyawarah Daerah (Musda), sebagai forum demokrasi internal partai untuk menguji kapasitas dan integritas kader. Ketua Umum hanya memberikan persetujuan akhir terhadap hasil Musda, bukan mengambil alih seluruh prosesnya secara sepihak.

Diskresi Ketua Umum pun harus dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) resmi, bukan sekadar wacana verbal atau klaim dari pihak-pihak yang mengaku dekat dengan Ketua Umum.

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi ataupun SK Ketua Umum Bahlil Lahadalia yang membuka ruang diskresi bagi pihak eksternal untuk mencalonkan diri sebagai Ketua DPD I Golkar Aceh. Maka, setiap manuver yang mengatasnamakan diskresi tanpa dasar hukum formal adalah bentuk penyalahgunaan tafsir organisasi.

Kenyataannya, Golkar Aceh tidak kekurangan kader potensial. Di internal partai masih banyak figur yang mumpuni, loyal, dan telah terbukti berjuang sesuai garis kebijakan partai. Memaksakan figur eksternal seperti Bustami Hamzah, yang tidak memiliki rekam jejak di tubuh Golkar, justru akan merusak tatanan yang selama ini dibangun dengan susah payah.

Jika Bustami Hamzah memang ingin berkontribusi, seharusnya ia mengikuti proses sebagaimana mestinya bergabung sebagai anggota, mengabdi dalam struktur, dan bertarung secara fair dalam Musda mendatang. Bukan melompat langsung ke pucuk kepemimpinan dengan dalih pragmatis seperti Pilkada atau kekuatan finansial.

Golkar Aceh bukan partai ecek-ecek yang bisa mengubah AD/ART sesuai selera kekuasaan sesaat. Golkar adalah partai besar yang kenyang pengalaman, serta mampu bertahan dari godaan politik pragmatis.

Lebih jauh lagi, penunjukan Ketua DPD I dari kalangan eksternal yang secara politik berseberangan dengan Gubernur Aceh saat ini, Muzakkir Manaf, justru berpotensi memecah soliditas partai. Saat ini, Fraksi Golkar di DPR Aceh merupakan bagian dari koalisi pendukung pemerintah. Jika Ketua DPD berasal dari kalangan oposisi, maka akan terjadi dualisme politik: satu sisi mendukung pemerintah, sisi lain menjadi oposisi.

Persoalan ini bukan hanya soal jabatan Ketua DPD, tetapi juga menyangkut arah politik partai secara keseluruhan. Jika tidak hati-hati, Golkar Aceh bisa kehilangan konsistensi, terjebak dalam kebingungan arah perjuangan, dan dicap sebagai partai oportunis yang hanya mengejar kekuasaan tanpa fondasi ideologis yang kokoh.

Partai Golkar dibangun di atas semangat kaderisasi, bukan transaksi kekuasaan. Di Aceh, kader-kader Golkar telah berjuang dengan berbagai keterbatasan, menghadapi tantangan sosial-politik yang kompleks, dan membesarkan partai dari bawah. Mengorbankan mereka demi kepentingan politik jangka pendek merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan kader akar rumput.

Secara nasional, Golkar adalah partai yang konsisten mendukung pemerintahan yang sah. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Golkar telah menyatakan komitmennya untuk menjaga stabilitas nasional. Di Aceh, pemerintahan yang sah saat ini dipimpin oleh Gubernur Muzakkir Manaf yang juga mendapat dukungan dari Fraksi Golkar di DPR Aceh. Maka, menjadi aneh jika justru di Aceh, Golkar hendak berpindah haluan menjadi oposisi hanya karena kepentingan pribadi seorang calon gubernur 2029.

Bustami Hamzah, atau siapa pun, jika ingin membangun karier di Golkar, masuklah melalui pintu depan, bukan meloncat pagar. Hormatilah kader-kader yang lebih dahulu berjuang. Hormatilah mekanisme partai yang menjadi benteng integritas organisasi.

Golkar Aceh membutuhkan kepemimpinan yang kuat, solid, dan setia pada prinsip kaderisasi. Bukan yang pragmatis, oportunis, dan semata-mata berorientasi pada kontestasi Pilkada.

Di bawah kendali Bahlil Lahadalia, Golkar nasional diharapkan tetap menjadi partai kader, bukan partai yang kursinya bisa dibeli. Jika Golkar Aceh ingin besar dan disegani, marwah itu harus dijaga. Jangan gadaikan partai demi ambisi sesaat.

Aceh butuh Golkar yang kokoh, bukan Golkar yang goyah karena ambisi pribadi.[]

Penulis: Teuku Kemal Fasya, Pengamat Politik dan akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI