Kemenangan Mualem dan 20 Tahun Aceh Pasca Damai
Font: Ukuran: - +
Penulis : Jabal Ali Husin Sab
Jabal Ali Husin Sab. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang 20 tahun pasca berakhirnya konflik bersenjata di Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem yang merupakan mantan panglima GAM dan Ketua Umum Partai Aceh, terpilih sebagai gubernur.
Ia berpasangan dengan Fadhlullah, ketua umum DPD Gerindra Aceh yang juga mantan kombatan GAM. 2024 bisa dikatakan menjadi titik klimaks bagi eksistensi eks kombatan dalam politik Aceh pasca damai.
Selain karena kemenangan Pilkada yang diraih oleh Mualem-Dekfadh, Partai Aceh sebagai partai lokal hasil transformasi eks kombatan juga masih memenangkan pemilu di Aceh dengan perolehan 20 kursi DPRA. 2024-2029 adalah momentum emas eks kombatan dan Partai Aceh dengan peraihan kemenangan politik di Pemilu dan Pilkada. Kemenangan ini juga telah mematahkan tesis bahwa Partai Aceh hanya bertahan atau “diberikan kesempatan untuk menang” hanya beberapa periode saja setelah damai. Beberapa momen perubahan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, telah mematahkan tesis lama itu.
Partai Aceh telah bertahan dan mampu tetap tampil sebagai pemenang sampai pada tahun ke-20 pasca damai. Setidaknya hingga 25 tahun setelah konflik, Partai Aceh dan tokoh-tokoh eks kombatan masih menjadi nakhoda untuk menentukan arah Aceh ke depan.
Akankah para mantan kombatan ini menoreh sejarah di usia emas dan penghujung usia karir politiknya untuk mewujudkan Aceh yang sejahtera? Atau mungkin setelah 25 tahun, narasi keacehan yang identik dengan perjuangan GAM akan berakhir dan berganti dengan wacana baru seiring dengan gerak sejarah? Mungkin terlalu dini untuk memprediksi kondisi Aceh lima sampai sepuluh tahun mendatang. Namun yang jelas, bagaimana kondisi Aceh ke depan bergantung pada kepiawaian Mualem-Dekfadh dalam memimpin Aceh.
Persebaran Dukungan Mualem dan Partai Aceh
Apabila kita melihat pada persebaran perolehan suara Mualem-Dekfadh di Pilkada 2024 ini, Aceh Utara masih menjadi basis penyumbang suara terbesar bagi Mualem. Namun yang menarik bahwa Mualem bisa kalah di tiga kabupaten yang dulunya merupakan basis utama perjuangan GAM: Pidie, Pidie Jaya dan Bireuen. Ada yang menganggap kalahnya Mualem di tiga kabupaten ini disebabkan irisan emosional Bustami Hamzah dengan ketiga kabupaten tersebut. Bustami adalah orang Pidie dan menikah dengan perempuan yang merupakan anak dari tokoh masyarakat Bireuen.
Kekalahan Mualem di ketiga kabupaten tersebut, juga di Aceh Besar dan Banda Aceh, berhasil diimbangi dengan kemenangan Mualem di seluruh kabupaten/kota di wilayah barat-selatan Aceh. Juga di seluruh wilayah tengah-tenggara kecuali Bener Meriah. Hal ini merupakan fakta yang sangat menarik untuk diamati.
Mualem memang mengalami kekalahan di beberapa wilayah yang dulunya masih masuk ke dalam wilayah basis GAM, beretnis dan berbahasa Aceh dan masuk dalam wilayah rawan dengan intensitas kekerasan yang tinggi di saat konflik. Uniknya Mualem malah mendapatkan kemenangan di wilayah Barat-Selatan Aceh yang sebagiannya adalah warga etnis Jamee dan turut meraih suara tengah-tengggara yang merupakan wilayah etnis Gayo dan Alas.
Dari fakta menarik hasil perolehan suara Pilkada ini dapat disimpulkan bahwa ketokohan Mualem tidak lagi sebatas akumulasi ingatan dan kesan masa lalu tentang masa konflik dan perjuangan GAM yang dulunya terkonsentrasi di wilayah timur Aceh. Bagi masyarakat barat-selatan dan tengah-tengggara, Mualem adalah tokoh Aceh masa damai yang paling populer dan paling dikenal di seluruh Aceh. Ia juga merupakan pimpinan partai lokal terkuat di Aceh yang basis kepengurusan partai dan massa akar rumputnya paling terkonsolidasi di Aceh.
Dari hasil perolehan suara Mualem di luar basis GAM masa konflik, kita juga dapat menyimpulkan bahwa Mualem berhasil meraih kepercayaan masyarakat Aceh dari lintas etnis dan lintas wilayah. Mereka yang memilih Mualem agaknya tidak lagi melihat Mualem hanya sebatas mantan panglima GAM di masa konflik. Lebih dari itu, Mualem hari ini dilihat sebagai tokoh yang diharapkan mampu memperjuangkan pembangunan dan kesejahteraan di Aceh secara merata bagi setiap lapisan masyarakat.
Narasi Baru untuk Aceh
Untuk memastikan bahwa pasca 20-25 tahun Partai Aceh bersama eks kombatan bisa melalui fase baru, di saat generasi baru masyarakat Aceh semakin berjarak dengan narasi konflik dan perjuangan GAM, Partai Aceh dan eks Kombatan dituntut untuk memproduksi narasi baru dalam mengindentifikasi visi politiknya.
Kedepan, ikatan emosional dengan narasi perjuangan akan bergeser seiring perjalanan waktu. Partai Aceh dan eks Kombatan perlu mereproduksi narasi dan konsep perjuangan untuk tetap bisa eksis ke depan.
Salah satu prasyarat mutlak dalam produksi narasi tersebut adalah bahwa Partai Aceh perlu merumuskan narasi baru yang mampu mempersatukan seluruh wilayah Aceh dalam sebuah ide yang diterima semua pihak. Narasi tersebut harus dapat dipastikan dapat menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan seluruh lapisan masyarakat, hal ini penting untuk mempertahankan dukungan yang didapat di Pilkada 2024 kali ini sekaligus menjadikan wilayah-wilayah di luar basis GAM masa konflik ini menjadi basis dan lumbung suara baru.
Salah satu ide besar yang perlu dijadikan narasi baru pasca perjuangan GAM tentunya harus mampu memberikan jawaban bagi masalah kesejahteraan, menciptakan keadilan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hal-hal yang menyangkut perbaikan ekonomi masyarakat.
Narasi baru itu juga akan dilihat bersamaan dengan performa pemerintahan Mualem-Dekfadh dalam waktu lima tahun ke depan. Ide-ide tentang kedaulatan teritorial masa konflik, bisa diarahkan menjadi narasi baru tentang masyarakat yang berdaulat secara ekonomi, sosial dan politik melalui kebijakan pemimpin baru Aceh yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh: Jabal Ali Husin Sab sebagai Pengamat Politik