DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh telah diakui oleh hampir semua tokoh Nasional sebagai daerah modal. Dan sejarah panjang telah mencatat Aceh adalah modal Indonesia memerdekakan dirinya.
Harusnya Indonesia membalas budi Aceh dengan sentiasa mengistimewakan Aceh dari daerah lain. Alih - alih mengistimewakan, justru setiap pemimpin bangsa di Indonesia selalu mengkhianati Aceh.
Di mulai dari Soekarno, perjanjiannya dengan pemimpin Aceh Teungku Daud Bereu'eh pertama dilanggar, hingga Teungku Daud Beureu'eh mengobarkan api perjuangan kemerdekaan kembali. Sampai akhir hayatnya, Teungku Daud Beureu'eh masih dalam menggelar perlawanan kepada republik Indonesia.
Dilanjutkan oleh Soeharto, Aceh juga tidak mendapatkan keistimewaan sebagai bentuk balas budi Aceh yang telah memerdekan Indonesia. Beberapa dekade dalam kekuasaan Soeharto Aceh juga tidak merasakan sebagai pemilik modal lahirnya bangsa Indonesia.
Sehingga Teungku Hasan Ditiro menyalakan kembali kobaran api perjuangan. Dan kali ini cukup dahsyat mencapai 3 dekade, bahkan republik hampir dibuat kelelahan jika bencana alam gempa bumi dan tsunami tidak mendera Aceh.
Semenjak membentuk negara kesatuan republik indonesia, Aceh hampir tidak berhenti menyalakan kobaran bara pemberontakan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Sedangkan daerah lain secara merata luruh semenjak berakhirnya perjuangan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1962. Sedangkan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendera dan berkuasa membuat republik kewalahan hingga mencapai 3 dekade lebih.
Kemampuan GAM berperang dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga tidak mampu ditumpaskan berdekade bukan hanya di akui oleh Indonesia, tapi telah di akui oleh dunia. Bahkan sampai hari ini, ada jiran dari Aceh dan Indonesia yang masih mengira GAM masih menguasai Aceh.
Sejarah mencatat, pemberontakan di republik ini yang langgeng adalah pemberontakan yang dilakukan bangsa Aceh. Ini bukan hanya menjadi sejarah pengantar republik, pra terbentuknya Indonesia, calon NKRI adalah tanah jajahan beberapa bangsa eropa dan asia, hanyalah Aceh yang tidak pernah mampu dikuasai secara penuh dan bertahan lama.
Tipikal bangsa dan darah pejuang yang lahir dari semayam fisabilillah dalam diri dan dada bangsa Aceh telah mengubah pandangan dan pengakuan dunia akan kelihaian bangsa Aceh dalam berperang, hingga empire Ottoman menjadikan Aceh sebagai bagian dari wilayah kekuasaan islam yang perlu dilindungi.
Dalam berperang dengan penjajah dan memberontak kepada republik, bangsa Aceh tidak pernah kalah. Tetapi bangsa Aceh selalu mengalah untuk republik karena merasa diri adalah kakak tertua yang perlu mengayomi adik-adiknya.
Namu sejarah republik mengulang-ngulang mengkhianati Aceh.
Kini, pusat melalui lembaga tinggi negara yang mengurusi administrasi dalam negeri republik kembali mengkhianati Aceh dengan memasukkan 4 pulau milik Aceh dalam peta wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Pusat dengan percaya diri mengubah administrasi dua wilayah tanpa melakukan konsultasi dan pembahasan dengan Aceh. Padahal di Aceh telah tertancap tonggak hasil kesepakatan politik dalam bentuk Memorandum of Undestanding (MoU) yang memijahkan Undang - Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat.
Kembali republik harus mengingat, Aceh tidak pernah kalah dari Indonesia. Aceh hanya mengalah karena kemanusiaan saat ratusan ribu nyawa melayang dalam bencana alam 20 tahum silam.
Batang boleh ditebang, tapi akar dan tunas masih bergelora dalam lubuk yang lembab sebagai penjaga keawetan modal bangsa pejuang.
Kembalikan hak kami secara beretika, atau benih konflik tumbuh kembali!
Penulis: Syahril Ramadhan, Pemerhati Sosial Politik Aceh