kip lhok
Beranda / Opini / KEK SEGERA RAMPUNG?

KEK SEGERA RAMPUNG?

Selasa, 04 Desember 2018 17:55 WIB

Font: Ukuran: - +


Kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus KEK Arun Lhokseumawe di Aceh diarahkan untuk menghidupkan kembali kawasan industri di pantai utara Aceh. Tidak hanya untuk keperluan sektor minyak, gas dan petrokimia, tapi juga logistik, agroindustri dan pariwisata. Karena itu, kawasan ini adalah hilir bagi kawasan pendukung lainnya yang terletak di wilayah utara dan tengah Aceh sehingga produksi komoditas unggulan masyarakat dapat diolah dan memperoleh nilai tambah di pasar internasional. 

Dengan pendekatan pengembangan KEK, berbagai fasilitas dapat diberikan untuk investor potensial. Kegiatan komersial yang maju di kemudian hari diharapkan dapat mengukuhkan posisi Kota Lhokseumawe sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan mengandalkan Kawasan Industri Lhokseumawe yang termasuk ke dalam salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN). Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, yaitu untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional serta mewujudkan kemandirian ekonomi melalui sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Secara umum pengembangan KEK Lhokseumawe dibagi dalam tigatahapan lima tahunan. Tahap awal; (2016-2020) akan tertuju pada revitalisasifasilitas yang ada, Tahap Pengembangan (2021-2025); pembangunan industri manufaktur dan Tahapan ekstensifikasi (2026-2030); pengembangan industrihilir. Tiga tahapan ini akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi,perdagangan dan ketenaga kerjaan di Lhokseumawe serta beberapa kawasan sekitar yang menjadi penyangga ekonomi. Kontribusi sektor pertambangan dan industri semakin mengecil dalam perekonomian di Aceh. Sementara sektor-sektor lainnya seperti pertanian, perdagangan dan jasa-jasa memiliki komposisi semakin besar dalam perekonomian. Penetapan fondasi dan arah perekonomian yangkuat dalam masa transisi menjadi semakin penting untukmenjaga momentum tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik (Bappeda, 2015).

Harapan Percepatan

Kita sedang dalam posisi menunggu, bagaimana kondisi Kawasan Ekononi Khusus KEK Arun Lhokseumawe. Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah PP no 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekononi Khusus KEK Arun Lhokseumawe hingga sekarang masi menjadi pertanyaan penting kita, sejauh manakah progres kawasan tersebut yang spekulasinya bahwa akan ada ribuan pekerja Aceh khususnya akan bekerja dan memanfaatkan kawasan tersebut, mulai dari pengusaha kecil hingga investor maca Negara.

Tetapi kita juga tidak menafikan bahwa KEK Arun ini tergolong unik, kawasan yang ditetapkan sebanyak 2,622,48 Ha bukanlah kawasan kosong melainkan sudah beroperasi beberapa industri di sekitar kawasan KEKLhokseumawe. Persisnya, PT Aceh Asean Fertilizer (AAF) seluas 236,4 ha yang akan menghasilkan industri petrokimia, PT Pertamina (151,3 ha) juga menghasilkan petrokimia, PT Pelindo I (38,18 ha) menyediakan pelabuhan dan logistik, PT Pupuk Iskandar Muda (307,15 ha) juga menghasilkan petrokimia, eks PT Arun (1.689,8 ha) akan kembali menghasilkan minyak, gas, dan energi, serta PT Kertas Kraft Aceh (KKA) seluas 199,6 ha yang nantinya kembali akan menghasilkan pulp (bubur kertas) dan kertas (Serambi, 2/3/2017).

Namun di sisi lain ada banyak kemajuan tentang rencana Kawasan Ekonomi Khusus, terhitung sejak keluarnya PP KEK Arun pada 17 Februari 2017 kemajuannya sudah banyak terlihat, mulai terbentuknya BUPP, Dewan Kawasan KEK, dan Bisnis Plan serta Master Plan yang telah disiapkan oleh BUPP atau PT Patna (perusahaan konsorsium). Kemajuan ini bukanlah akhir dari semua perjuangan untuk mengestablishnya KEK, tetapi hanya sebagai output bersama pemerintah Aceh dan stakeholder lain.

Dalam hal ini, penulis menilai perlu adanya rekomendasi tentang tugas-tugas pokok Stakeholder untuk KEK Arun percepatan proses pembentukan antaranya,

1. Merumuskan kebijakan dan strategi percepatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.

2. Penguatan PDPA sebagai anggota konsorsium pengusul dan pengelola Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe, dalam hal ini perlu percepatan perubahan dari PDPA menjadi PT serta melakukan penyertoran modal oleh Pemerintah Aceh untuk BUMD (PT) sesuai peraturan yang berlaku.

3. Melakukan pembentukan Lembaga Kerja Sama Khusus dan Dewan Pengupahan di Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.

4. Penyiapan regulasi tentang penetapan dan pemberlakuan Upah Minimum di Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.

5. Menyiapkan kebijakan tentang pemberian fasilitas dan kemudahan usaha di Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.

6. Melakukan Kerja sama dengan mitra strategis dalam rangka mempercepat proses pembangunan dan pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.

7. Membangun sarana pendukung di KEK, seperti Bandara, Pelabuhan, dan Rel Kereta Api.

8. Perlu melakukan segera komunikasi dengan Kementrian terkait, misalnya BUMN untuk mempercepat penyertaan modal kepada PT Patna oleh anggota konsorsium.

9. Perlu memperjelas kendala/alasan angota konsorsium terkait belum dilakukan penyertaan modal.

10. Membahas kejelasan pengelolaan kawasan Eks-Arun yang selama ini dikelola oleh LMAN. Dipandang perlu segera untuk dikelola oleh PT. Patna sebagai BUPP konsorsum.

  Rekomondasi tersebut lahir dari hasil dialektika dan analisa penulis selama dua tahun terakhir. Di sisi lain penulis juga melakukan identifikasi beberapa persoalan yang juga segera harus diselesaikan diantaranya. Pertama, lahan dan asset yang di kuasai LMAN belum sepenuhnya diserahkan penngelolaannya kepada BUPP-PT Patriot Nusantara Aceh (PT Patna), maka pemerintah Aceh bisa melakukan percepatan pembahasan tentang kejelasan tersebut dengan LMAN sekalu pengelola aset Negara. Kedua, PT Pertamina dan PT Pelindo belum menyerahkan penyertaan modalnya kepada BUPP dalam hal ini PT Patna sebagai perusahaan konsorsium. Persoalan ini sama dengan yang sebelumnya, perlu adanya komunikasi politik dengan BUMN agar penyertaan modal bisa segera dilakukan.

Ketiga, infrastruktur pendukung. Misalkan pembangunan luar kawasan KEK Arun seperti bandara, jalan dan beberapa infrastruktur lainnya belum mendapat prioritas baik dari APBN atau ABPA. Keempat adanya permasalahan sengkata tanah yang belum selesai dengan masyarakat sekitar (IKBAL:Ikantan Keluarga Blang Lancang), ada sekita 60 ha lebih lahan masih belum ada kejelasan, di sini kita juga perlu proaktif masyarakat dan pemerintah Kabupaten Kota untuk menyelesaikan masalah ini. Persoalan sengketa tanah memang tergolong cukup klasik, namun saat menghadapi masyarakat kita dituntut untuk mengambail langkah yang kongrit serta solutif.

Ke lima, belum ada perencanaan dan strategi untuk penyiapan SDM lokal yang akan terlibat dalam KEK. Persiapan SDM lokal sudah bisa dilakukan segera agar saat KEK mulai beroperasi kita manpu bersaing. Persoalan ini menjadi PR terpenting bagi stakeholder KEK yang harus ditindaklanjuti dalam waktu terdekat.

Terakhir kita menaruh harapan yang cukup besar, dengan adanya kawasan ekonomi khusus Lhokseumawe, kita percaya laju pertumbuhan ekonomi di perkirakan akan meningkat cukup signifikan di masa yang akan datang. Kawasan ekonomi khusus ini akan bertitik tolak pada tiga komponen utama, yaitu, sebagai kawasan yang memiliki industri pengolahan migas dan energi, industri pengolahan pupuk dan produk pertanian, serta industri logistik. Ketiga komponen ini akan menjadi sumber mesin pertumbuhan ekonomi di kawasan Aceh Utara dan Lhokseumawe. Namun kesiapan kita juga tidak boleh diabaikan, kita perlu mempersiapkan apa saja mulai dari SDM dan partisipasi yang aktif maka mari bergerak bersama untuk mempercepat beroperasinya kawasan KEK.

Oleh,  Shaivannur M. Yusuf 

Pengajar Ekonomi Politik Internasional, Peneliti Centra Politik. 


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda