Beranda / Opini / Kebijakan Berbasis Syariah di Aceh Sekedar Formalitas dan Kepentingan Elit.

Kebijakan Berbasis Syariah di Aceh Sekedar Formalitas dan Kepentingan Elit.

Senin, 09 Agustus 2021 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Menguatnya wacana kebijakan populis berbasis agama di berbagai negara menandakan pasang surutnya persaingan antara masyarakat sekuler dan agamis. Sosiolog agama Peter Berger ternyata sudah lama memprediksi bangkitnya agama ditataran politik global. Pandangan Berger, wacana desekulerisasi berhasil menghimpun kembali keberadaan institusi keagamaan sehingga berperan penting dalam ranah sosial-politik. Seiring kegagalan sekulerisasi, semangat beragama pada sebagian masyarakat global semakin semarak.

 Tak terkecuali di Aceh, sebagai provinsi paling barat di Indonesia dan sedari dulu terkenal dengan masyarakat yang fanatis terhadap Islam. Paska perdamaian, Pemerintah Indonesia memberikan hak otonomi khusus perihal kewenangan penerapan Syariat Islam (SI).kepada rakyat Aceh.

Hampir dua dekade ini Pemerintah Aceh gencar melakukan Islamisasi kebijakan, fokus utamanya yakni penerapan hukum pidana Islam (jinayat). Baru belakangan muncul wacana penerapan ekonomi syariah, keuangan syariah, wisata syariah, pendidikan syariah dan lainnya meskipun belum ada bukti capaian yang jelas.

Opini ini jangan salah duga dan artikan, penulis tidaklah bermaksud tendensius atau menolak penerapan Syariat Islam tetapi mencari esensi penting tentang output dari penerapan syariat Islam selama ini yang sudah berjalan, terutama terkait fungsi pemerintah dalam rangka pelayanan publik secara menyeluruh.

Apabila asas Syariat Islam dijadikan sebagai sistem kepemerintahan Aceh untuk tujuan kemajuan pembangunan umat, selayaknya amanah itu harus dijalankan sebenar-benarnya, laksana menjalankan ibadah shalat, berpuasa yang harus dilengkapi kesempurnaan syarat dan rukunnya agar diterima di hadapan Allah.

Implementasi Syariat Islam di Aceh dibingkai dalam bentuk idealis yang berpijak pada realitas dan bernuansa holistik (luas). Kebijakan Pemerintah berbasis Syariat Islam sekiranya perlu dikawal dengan kritikan bersifat objektif bukan saja terus di keramatkan “modal fanatis” dan anti kritik. Lagi pula sistem politik saat ini masuk ke era Kejatuhan: liberal, transaksional, oportunis dan serba permisif, memungkinkan terjadi potensi penyelewengan demi kepentingan nafsu para elit politik dan oligark lokal walaupun ada klaim atas nama penegakkan Syariat Islam.

Syariat Islam Sarat Komoditi Elit

Wacana Kebijakan populis berbasis syariat Islam di Aceh berhasil menjadi komoditi politik elit lokal. Elit lokal di Aceh tahu dan lihai memainkan isu kebijakan berbasis syariat. Syariat Islam merupakan hal yang sakral dalam dimensi kehidupan rakyat Aceh tentu mustahil terjadi penolakan. Karakter orang Aceh yang fanatik dengan agama, rela dan senang hati menerima setiap lahirnya kebijakan berbau Islam.

Otomatis elit lokal sangat diuntungkan elektabilitas politiknya dengan agenda kampanye islamisasi kebijakan. Maka tidak heran di tengah kehidupan masyarakat puritan yang masih kuat., elit cenderung terobsesi membentuk citra kesalehan publik dibandingkan memprioritaskan kesalehan privat.

Elit politik di Aceh cepat membaca psikologis massa: mana yang lebih pragmatis dan mudah diterima karakter masyarakat puritan. Penerapan Syariat Islam di Aceh lebih fokus pada penerapan hukum jinayat sebagai upaya menjaga kesucian publik dari kemaksiatan dibandingkan aktif pada hal kebijakan menyeluruh dalam arti meningkatkan kesejahteraan. Akhirnya terbukti, kendati sudah menerapkan Syariat Islam hampir 20 tahun, pencapaian kesejahteraan belum tercapai. Kelihatannya point of view penerapan syariat Islam tidak menekankan pada aspek keadilan sosial.

Aceh hari ini gagal menunjukan sebagai daerah bersyariah dalam versi progresif. Betapa tidak, penerapan syariat Islam yang sekedar simbolis dan wacana pragmatis mengakibatkan Aceh jauh dari kemajuan. Aceh bahkan lebih populer sebagai daerah kriminal pemasok narkoba, pertumbuhan ekonomi lamban, ketimpangan sosial dan indeks kemiskinan tinggi. Segala aib permasalahan sosial di Aceh menunjukan wajah kontras dengan berbagai wacana kebijakan populisme Syariat Islam yang dimainkan elit lokal di Aceh.

Walaupun saat ini ada usaha mengembangkan kebijakan mengarah kepada perbaikan ekonomi dan keuangan agar terbebas dari praktek riba. Contohnya implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), bentuk realisasi Qanus LKS justru menjadi pro-kontra karena pemberlakuan sistem monopoli oleh perbankan syariah. Banyak warga mengeluh terkait hal pelayanan Bank Syariah di Aceh. Semua pakar kebijakan mungkin tahu dan mengerti, sistem monopoli akan berdampak buruk pada pelayanan.

Jutaan masyarakat Aceh saat ini bergantung pada pelayanan Bank Syariah, justru layanan tidak memadai dan memberatkan; uang di ATM sering kosong. otoritas perbankan syariah sering berdalih itu hanya persoalan teknis. Hal kecil seperti itu tidak siap bagaimana dengan hal terbesar dalam menggapai cita-cita kemajuan ekonomi berbasis syariah di Aceh ?.

Segala kekurangan penerapan kebijakan berbasis Syariat Islam bukan cuma masalah teknis tapi ditentukan moralitas agen yang melahirkan kebijakan dan menggerakkan institusi. Mempermainkan kesakralan Syariat Islam sangat berbahaya, pertanggung jawabannya tidaklah hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Senada yang pernah diungkapkan oleh ulama kontemporer Suriah Syaikh Ramadan Al Buthi.

Di bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Finding Islam: Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam (2002), beliau mengkritik tajam eksistensi kelompok Islamisme di Timur Tengah. Al Buthi memberi kesan, “tidak serta merta orang yang menginginkan formalitas Syariat Islam dalam sistem negara akan tunduk pada esensi keislaman terkait hal peribadatan”.

Kilas balik ke era kemunduran kesultanan Islam, kritik yang sama pernah dilontarkan oleh Said Nursi -sosok ulama besar yang hidup pada era akhir kejatuhan Turki Usmani-. Kalau boleh diparafrasekan kesaksiannya: sebab kejatuhan Pemerintahan Usmani tidaklah bersifat tunggal karena gerakan politik Turki Muda yang beraliran sekuler, tetapi terlebih dahulu akibat keculasan dan despotisme (kezaliman) elit di lingkaran kekuasaan. .

Apakah kita rakyat Aceh menginginkan penerapan Syariat Islam seperti model rigid versi Wahabisme, Taliban, Al Qaeda, ISIS, Boko Haram, Al Shabab, atau kelompok sempalan ekstrimis lainnya ?, konsep mereka hanya menekan formalitas Syariat Islam tetapi tidak menghasilkan sistem layanan, keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Penerapan Syariat Islam akan sangat berarti apabila berhasil mewujudkan nilai keselamatan, keadilan dan kesejahteraan sosial. Selaku muslim, kita sering memanjatkan doa sapu jagat agar baik di kehidupan dunia dan akhirat.

Tatanan Ideal.

Kebijakan berbasis syariah diperlukan konsistensi dan tanggung jawab. Membawa nama Syariat Islam tidaklah mudah : dipastikan berat dan penuh jalan berliku. Jalan syariat adalah jalan ketakwaan. Kehati-hatian jangan sampai tergelincir itulah kunci bersyariat. Siapakah yang sempurna menjadi teladan dalam menjalankan Syariat Islam, tentu Nabi Muhammad dan para Sahabat.

 Kepemimpian Rasulullah di Madinah tidaklah di capai dengan kekuasaan semata, sebelum di kontruksikan dalam sebuah konsepsi, katakanlah “Negara” Nabi Muhammad terlebih dahulu menerapkan mekanisme ilmu dan akhlak ketika tinggal dan berdakwah di Mekkah. Fase Mekkah memberikan teladan bagaimana proses dakwah tidak melulu dengan pemaksaan kekuasaan.

Asghar Ali Engginer seorang intelektual muslim India, dalam bukunya “Islam dan Teologi Pembebasan” menyatakan, Nabi Muhammad sebelum melakukan revolusi sosial untuk menyelamatkan warga Mekkah dari cengkraman kesewenangan saudagar kaya (kapitalis) Mekkah waktu itu, Nabi pertama sekali melakukan pembebasan dengan mengangkat harkat martabat manusia melalui berpikir (ilmu) dan berbuat.

Ilmu dan akhlak Nabi Muhammad kemudian terwarisi kepada sahabat mulia, seperti Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, nama-nama itu kemudian hari menjadi contoh pemimpin umat Islam yang dikenal berlaku adil.

Nilai teladan yang dicontohkan Sahabat misalkan Umar Bin Khatab ketika menjadi Amirul Mukminin, sikap Saidina Umar yang selalu konsisten terhadap kepentingan kolektif dibandingkan keinginan pribadi, di kala itu level kesejahteraan jangankan untuk manusia, hewanpun mendapatkan syafaat dari kebijakannya. Saidina Umar sering melakukan kunjungan untuk meninjau warga yang belum terpenuhi kebutuhan hidup.

Pernah tercatat dalam sejarah peradaban Islam tentang bukti keteladanan sosok Saidina Umar. Beliau mengambil kebijakan menangguhkan hukuman kepada warga yang melanggar jinayah atas pertimbangan: pada waktu itu terjadi kekeringan, kondisi masyarakat sedang melarat.

Intinya penerapan jinayat bisa didiskresikan (memberikan kemudahan diluar aturan) atas pertimbangan darurat: bencana alam, kondisi ekonomi dan sosial yang tidak stabil. Penegakkan Syariat agar tidak ngawur perlu meninjau secara komprehensif melalui pendekatan sejarah kehidupan para Salafus Salih agar terwujud hukum yang tidak diskriminatif.

Demikian tantangan kedepan mampukah para elit lokal di Aceh membawa pembangunan berbasis Syariat Islam pada tatanan nilai ideal yang berakar dari kepemimpinan Islam di Madinah ?. Keinginan rakyat Aceh untuk bertranformasi menuju ke dalam sebuah tamaddun Islam tidaklah mudah tanpa didukung perangkat ilmu dan akhlak setiap lapisan masyarakat. Karena menurut Al Attas dalam “Islam dan Sekulerisme”, mewujudkan masyarakat tamaddun berarti bermakna membentuk peradaban dan perbaikan lintas sektor sosial.


Penulis: Akhsanul Khalis S.IP. M.P.A / Staf pengajar di Fisip UIN  Ar Raniry Banda Aceh 


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda