DIALEKSIS.COM | Opini - Konflik bersenjata selama hampir 30 tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menewaskan lebih dari 15.000 jiwa dan meninggalkan luka mendalam. Namun, bencana tsunami 2004 yang memporak-porandakan Aceh justru menjadi katalis untuk perubahan dramatis. Tragedi kemanusiaan itu memaksa kedua pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan.
Proses perdamaian yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) dari Finlandia pun dimulai. Hasilnya adalah Perjanjian Damai Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. MoU Helsinki ini diakui dunia internasional sebagai salah satu contoh paling sukses dari resolusi konflik modern. Kesepakatan ini tidak hanya mengakhiri kekerasan tetapi juga menawarkan solusi politik yang komprehensif.
Keberhasilan perdamaian Aceh menjadi studi kasus global, dirujuk dalam konflik di Filipina dan Thailand. Aceh membuktikan bahwa bahkan konflik yang paling berkepanjangan sekalipun dapat diakhiri dengan diplomasi, komitmen politik, dan formula yang tepat, menjadikannya benar-benar sebuah laboratorium perdamaian dunia.
Pascakonflik bersenjata yang berlarut-larut, Aceh kerap dihadapkan pada dua narasi ekstrem: kisah heroik perjuangan bersenjata atau romantisme perdamaian yang dipaksakan. Namun, di antara dua kutub itu, terdapat sebuah proses yang lebih sunyi, subtil, namun sangat menentukan: komunikasi politik yang berlandaskan kearifan lokal dan nilai agama. Inilah jantung dari resep perdamaian Aceh yang sebenarnya, sebuah model yang tidak hanya layak dikaji, tetapi juga ditawarkan kepada dunia.
Disertasi dengan tajuk “Komunikasi Politik Damai Partai Aceh: Integrasi Kearifan Lokal Berbasis Nilai Agama” membidik tepat pada sasaran. Ia mengungkap bahwa stabilitas Aceh pasca-MoU Helsinki 2005 tidak semata-mata dibangun di atas meja perundingan di Finlandia, tetapi justru diperkuat melalui bahasa politik yang dituturkan dalam dialek budaya dan agama masyarakat Aceh sendiri. Partai Aceh, sebagai representasi mantan pejuang GAM, tidak serta-merta beralih dari gerilya ke politik elektoral dengan meninggalkan segala nilai lamanya. Sebaliknya, mereka melakukan transformasi yang cerdas: mengalihkan modal simbolik perjuangan ke dalam arena demokrasi yang baru dengan menggunakan ‘bahasa’ yang dimengerti dan diterima oleh konstituennya.
Data dan Fakta: Dari Teori ke Realitas
Data berbicara nyaring. Berdasarkan survei Lembaga Kajian Konflik dan Perdamaian (LKKP) Aceh pada 2022, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga adat dan agama (dayah/tengku) masih sangat tinggi, mencapai 78,5%, jauh melampaui kepercayaan terhadap institusi politik formal. Partai Aceh, secara pragmatis dan mungkin juga visioner, memanfaatkan modal sosial ini.
Pertama, Integrasi Nilai Adat (Hukum Adat). Partai Aceh tidak berkomunikasi sebagai sebuah partai modern yang steril. Mereka menghidupkan kembali dan memanfaatkan institusi-institusi adat seperti khanduri blang, peusijuek, dan musyawarah keujreun blang. Dalam acara-acara seperti ini, pesan-pesan politik disampaikan bukan dengan retorika kampanye yang menggempur, tetapi melalui simbol-simbol yang akrab dan penuh makna. Sebuah penelitian lapangan oleh ICG (International Crisis Group) pada 2017 mencatat, kandidat Partai Aceh lebih banyak menghabiskan waktu untuk silaturahmi ke meunasah (mushalla) dan menghadiri ritual adat daripada menggelar rally besar-besaran. Pendekatan ini efektif membangun kedekatan emosional dan mengesankan kesantunan, jauh dari kesan konfrontatif.
Kedua, Legitimasi melalui Nilai Agama. Aceh adalah Serambi Mekah. Bahasa agama bukan sekadar simbol, tetapi otoritas. Partai Aceh dengan lihai mengkolaborasikan narasi perjuangan dengan narasi religius. Figur ulama karismatik sering kali dihadirkan dalam setiap momentum politik untuk memberikan doa restu dan legitimasi. Pesan perdamaian dan rekonsiliasi seringkali disampaikan dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an tentang maaf, persatuan umat (ukhuwah), dan keadilan. Ini bukan sekadar pencitraan. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan masyarakat yang diusung Partai Aceh di tingkat grassroot seringkali bekerjasama dengan dayah-dayah, sehingga memiliki dua legitimasi sekaligus: politis dan religius.
Ketiga, Komunikasi sebagai Alat Rekonsiliasi. Pasca-konflik, luka masih membekas. Komunikasi yang salah bisa memicu kembali dendam lama. Di sinilah kearifan lokal seperti peusijuek (ritual permohonan keselamatan dan perdamaian) memainkan peran krusial. Ritual ini sering digunakan sebagai medium untuk merukunkan mantan musuh. Sebuah fakta yang terekam oleh Jurnal Perdamaian dan Konflik Universitas Harvard (2019) mencatat setidaknya ada 47 kasus sengketa lahan pascakonflik yang berhasil diselesaikan melalui mediasi adat yang difasilitasi oleh tokoh-tokoh Partai Aceh dan mantan kombatan, alih-alih melalui pengadilan formal yang seringkali justru memicu ketegangan baru.
Tantangan dan Relevansi ke Depan
Namun, jalan sunyi ini bukan tanpa tantangan. Generasi muda Aceh yang semakin terpapar digital dan globalisasi mungkin mulai menjauh dari nilai-nilai tradisional ini. Selain itu, selalu ada risiko instrumentalisasi nilai-nilai suci adat dan agama hanya dijadikan alat pencitraan dan alat kekuasaan belaka, sehingga kehilangan rohnya yang autentik.
Meski demikian, model komunikasi politik Aceh ini tetap sangat relevan, bukan hanya untuk Aceh tetapi untuk konteks global. Di dunia yang dipenuhi dengan polarisasi politik yang toxic, di mana komunikasi seringkali reductionis dan penuh kebencian, Aceh justru menawarkan sebuah alternatif: politik yang tidak kehilangan rasa kemanusiaan dan spiritualitasnya.
Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia
Perdamaian di Aceh adalah sebuah mahakarya. Ia tidak dibangun hanya dengan kesepakatan teknis tentang senjata dan otonomi, tetapi dengan merajut kembali serat-serat sosial budaya yang sempat tercabik. Partai Aceh, dengan segala kontroversinya, telah menunjukkan bahwa keberhasilan transisi dari gerakan bersenjata ke partai politik terletak pada kemampuannya untuk tidak meninggalkan identitas kultural konstituennya, tetapi justru mengartikulasikan aspirasi politik melalui bahasa budaya dan agama itu sendiri.
Pelajaran dari Aceh amatlah berharga: perdamaian yang berkelanjutan membutuhkan lebih dari sekadar gencatan senjata. Ia membutuhkan sebuah bahasa bersama yang inklusif, respektif, dan bermartabat. Bahasa yang bersumber dari kedalaman kearifan lokal dan nilai-nilai universal agama. Dalam gegap gempita demokrasi elektoral Indonesia, Aceh mengingatkan kita bahwa terkadang, suara yang paling persuasif bukanlah yang paling keras, tetapi yang paling santun dan paling membumi.
Penulis: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh