DIALEKSIS.COM | Opini - Perkembangan Artificial Inteligence (AI) atau kecerdasan buatan yang semakin pesat membawa dampak besar dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk industri media dan jurnalisme.
Di satu sisi, AI menawarkan peluang efisiensi dan inovasi. Namun di sisi lain, ia menghadirkan tantangan serius terhadap kredibilitas, etika, dan keberlangsungan profesi jurnalis.
Salah satu dampak paling mencolok dari kemajuan AI adalah meningkatnya produksi konten otomatis, baik sifatnya informatif maupun manipulatif.
Dengan kemampuan AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, Siri, Canva, dan berbagai platform lain, siapa pun bisa memproduksi teks yang menyerupai berita hanya dalam hitungan detik.
Seorang jurnalis profesional sekalipun tidak akan mampu mengungguli kecepatan AI dalam menghasilkan sebuah artikel. Konon lagi, jurnalis muda yang kadang kebingungan mencari angle.
Bahkan, AI mampu menciptakan narasi begitu meyakinkan yang mirip tulisan tangan manusia. Jika tanpa pengawasan dan verifikasi ketat, potensi penyebaran misinformasi dan hoaks kian merajalela.
Studi Reuters Institute for the Study of Journalism tahun 2024 mengungkapkan bahwa 59% responden global khawatir tidak bisa membedakan antara konten yang ditulis manusia dan hasil olahan AI.
Kekhawatiran ini kian diperparah dengan berkembangnya teknologi "deepfake" dan "synthetic voice", yang mampu memalsukan omongan tokoh publik secara meyakinkan.
”Deepfake” adalah teknologi AI yang digunakan untuk membuat atau mengubah konten digital baik video, gambar maupun audio agar tampak asli, meskipun sebenarnya hasil rekayasa.
Contoh konkret terjadi awal 2024, ketika sebuah video ”deepfake” menampilkan Joe Biden yang saat itu Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan mobilisasi militer, menyebar luas di media sosial sebelum akhirnya dibantah Gedung Putih.
Investigasi menunjukkan bahwa konten itu dibuat dan disebarkan dengan AI generatif canggih.
Sedangkan, ”synthetic voice” (suara sintetis) atau sering juga disebut ”voice cloning” (kloning suara) merupakan teknologi AI yang secara khusus berfokus pada pembuatan suara manusia.
Teknologi ini bisa menghasilkan suara sangat mirip dengan suara seseorang. Bahkan ia mampu mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah diucapkan orang tersebut sebelumnya.
Automasi vs profesi jurnalis
AI juga menghadirkan dilema ekonomi dan profesional bagi pekerja media. Banyak perusahaan media besar mulai mengintegrasikan AI dalam proses editorial, merangkum laporan keuangan, menulis berita olahraga, bahkan menyusun tajuk rencana.
Kantor berita Associated Press dan Reuters sudah lama memakai kecanggihan AI untuk menulis berita berbasis data.
Pada 2023, BuzzFeed memutuskan untuk memproduksi konten kuis dan artikel hiburan dengan bantuan AI. Dampaknya tentu saja terjadi gelombang pemutusan hukuman kerja (PHK) terhadap staf editorial.
Laporan Pew Research Center tahun 2023 menyebutkan bahwa sekitar 22% pekerja media di AS merasa pekerjaan mereka lebih rentan akan tergantikan AI dibanding lima tahun silam.
Sementara di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa tekanan terhadap jurnalis lokal semakin besar akibat efisiensi biaya melalui digitalisasi dan AI.
Penggunaan AI dalam jurnalisme juga memunculkan pertanyaan tentang etika. Apakah media harus memberi tahu publik jika sebuah berita ditulis AI?
Apakah AI dapat memahami nilai-nilai dasar jurnalistik seperti keberimbangan, empati, atau berpihak pada kebenaran?
Beberapa media seperti The Guardian dan New York Times telah menyusun pedoman internal penggunaan AI, termasuk keharusan transparansi kepada pembaca dan supervisi manusia atas konten yang dihasilkan.
Namun, tidak semua media punya kapasitas untuk menerapkan kebijakan serupa, terutama media kecil dan lokal yang minim sumber daya.
Alat bantu jurnalis
Meski demikian, AI bukan hanya ancaman. Ia sebenarnya juga dapat menjadi alat bantu bagi jurnalis untuk memperkuat kerja mereka jika digunakan secara bijak dan terukur.
AI dapat mempercepat analisis data, membantu verifikasi fakta, dan membuka peluang untuk eksplorasi jurnalisme investigatif berbasis data besar atau ”big data journalism”.
Sebagai contoh, jurnalis ProPublica memakai AI untuk menyaring ribuan dokumen keuangan dalam kasus korupsi pejabat publik.
AI bisa menemukan pola tersembunyi dalam data keuangan yang kompleks, mengidentifikasi tren sosial tak kasat mata, atau bahkan mendeteksi anomali dalam laporan publik, sehingga dapat menjadi titik awal sebuah investigasi mendalam.
AI juga dapat dipakai sebagai alat pendeteksi fakta otomatis, membandingkan silang informasi dari berbagai sumber dalam hitungan detik, atau membantu transkripsi wawancara panjang.
Pekerjaan-pekerjaan repetitif bisa diserahkan ke AI, sehingga jurnalis punya banyak waktu dan energi untuk fokus pada analisis, interpretasi, dan pelaporan investigatif yang butuh sentuhan manusia.
Tapi, tentu saja, pemanfaatan kecerdasan buatan tetap harus dibingkai dalam prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab.
Secanggih apapun teknologi, peran jurnalis dalam menyunting, memverifikasi, dan memberikan konteks tidak akan pernah tergantikan oleh kehebatan mesin. Jurnalis tetap memegang kendali atas nilai berita.
Jurnalis tetap berperan sebagai penyelidik, pewawancara, penulis narasi, dan penjaga etika. Intuisi, empati, dan kemampuan merasakan denyut nadi publik jelas keunggulan manusia yang tak bisa direplikasi oleh algoritma.
AI memang telah mengubah lanskap jurnalisme secara fundamental. Tantangan yang dihadapi tak hanya soal teknologi, tetapi juga menyangkut etika, ekonomi, dan keberlanjutan profesi jurnalis.
Dengan memanfaatkan AI sebagai ekstensi kemampuannya, jurnalis dapat mengoptimalkan efisiensi, meningkatkan kedalaman liputan, dan memperkuat akurasi.
Masa depan jurnalisme kredibel akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan bijaksana para praktisinya dalam beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Di tengah gelombang transformasi yang begitu pesat dan cepat ini, penting bagi pelaku media merumuskan kebijakan, meningkatkan literasi digital, dan memperkuat peran jurnalis.
Mereka harus tetap menjadi penjaga kebenaran di era informasi yang semakin kompleks. Jika tidak, risiko tenggelam dalam lautan misinformasi dan berita dangkal di tengah gelombang AI yang terus membesar akan menjadi kenyataan pahit.
Patut direnungkan pernyataan Emily Bell, profesor jurnalisme digital dari Columbia University: “AI bukan akhir dari jurnalisme. Tapi jurnalisme yang tidak mampu beradaptasi dengan AI, bisa saja lambat laun akan berakhir.”[]
Penulis: Nurdin Hasan, Jurnalis Freelance